Sabtu, 25 Juli 2015

Shalat Sunnah

Shalat merupakan ibadah yang di dalamnya terdapat perkataan dan gerakan-gerakan tertentu. Shalat di awali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan ucapan salam.
Kedudukan shalat dalam Islam itu tidak ada suatupun yang dapat menandingi kedudukannya. Oleh karena itu, shalat adalah tiang agama.
Tegakkanlah agama dengan shalat. Shalat adalah ibada pertama yang diwajibkan oleh Allah SWT. Kewajiban shalat itu diwakilkan kepada Nabi Muhammad SAW pada waktu Isra Mi’raj tanpa perantara.
Shalat yang harus kita ketahui bukan hanya shalat fardhu saja, melainkan juga kita harus mengetahui dan mendirikan shalat sunnah.


A.   Pengertian Shalat Sunnah
     Salat sunah atau salat nawafil (jamak: nafilah) adalah salat yang dianjurkan untuk dilaksanakan namun tidak diwajibkan sehingga tidak berdosa bila ditinggalkan dengan kata lain apabila dilakukan dengan baik dan benar serta penuh ke ikhlasan akan tampak hikmah dan rahmat dari Allah SWT yang begitu indah. Salat sunah menurut hukumnya terdiri atas dua golongan yakni:
  • Muakad, adalah salat sunah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti salat dua hari raya, salat sunah witr dan salat sunah thawaf.
  • Ghairu Muakad, adalah salat sunah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti salat sunah Rawatib dan salat sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).[1]

B.   Landasan Syari’at Shalat Sunnah
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyari’atkan shalat sunnah untuk meningkatkan amal manusia dan menutupi segala kekurangan dan kelalaian yang ada, sebagaimana hal itu diperintahkan oleh Allah dalam Kitab-Nya yang agung, Allah SWT berfirman:

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." [Huud/11: 114
]
Dan Allah SWT juga berfirman:
"Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap." [Al-Insyirah/94: 7-8]
Shalat sunnah disyari’atkan dengan tujuan agar menjadi penambal kekurangan yang barang kali terjadi dalam shalat-shalat fardhu yang telah dilakukang oleh seorang muslim. Shalat sunnah juga disyariatkan karena memiliki keistimewaan yang tidak sama dengan ibadah-ibadah lainnya.
          Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
          “Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang  ada pada amalan wajib dengan amalan sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud no. 864, Ibnu Majah no. 1426 dan Ahmad 2: 425. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Abu Umamah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Allah tidak mendengarkan (bacaan seorang hamba) yang lebih utama daripada (bacaannya didalam) dua rakaat (shalat sunnah) yang ia kerjakan sesungguhnya kebaikan yang ditaburkan di atas kepala seorang hamba selama ia masih sedang mengerjakan shalatnya.”
Di dalam Muwaththa’ , Malik berkata, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Nabi SAW bersabda :
Istiqamalah kalian, kalian tidak akan dapat menghitung (segala amal yang shaleh dan kalian tidak akan dapat beristiqamah dalam segala hal) beramallah, dan amal ibadah kalian yang paling baik adalah shalat hanya orang mukmin yang selalu berwudhu.”
Muslim meriwayatkan bahwa Rabi’ah bin Malik al-Aslami berkata, “Rasulullah SAW. Bersabda (kepadaku), ‘Mintalah.’
Aku berkata, ‘Aku meminta dapat menemanimu di surga.’
Beliau bersabda, ‘Apa ada permintaan yang lain?’
Aku menjawab, ‘Hanya itu.’
Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, bantulah aku dengan cara memperbanyak sujud.’

C.   Anjuran melaksanakan shalat sunnah di rumah
Berikut ini merupakan dalil-dalil yang berisi anjuran pelaksanaan shalat sunnah di rumah.
1.    Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi SAW bersabda :
“Apabila seseorang dari kalian telah mengerjakan shalat di masjid berikanlah kepada rumahnya bagian dari shalatnya (kerjakanlah shalat sunnah di rumah). Hal itu karena Allah menjadikan di rumahnya lantaran ia mengerjakan shalat di dalamnya.”

2.    Di dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Ummar bahwa Nabi SAW bersabda :
“Shalat tathawwu’ (sunnah) seseorang di rumahnya merupakan cahaya. Barang siapa menginginkan (cahaya ketentraman), hendaknya ia menerangi rumahnya (dengan mengerjakan shalat tathawwu’ di dalamnya).”

3.    Abdullah bin Ummar berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Kerjakanlah sebagian dari shalat-shalat kalian di rumah kalian. Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan (karena tidak pernah ada shalat dalam rumah).”

4.    Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang sahih, dari Zair bin Tsabit, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Shalat seseorang di rumahnya lebih utama daripada shalat yang ia kerjakan di masjidku ini, kecuali shalat fardhu.”

Hadist-hadist di atas merupakan dalil-dalil yang menjelaskan bahwa shalat tathawwu’ di sunnahkan untuk dikerjakan di rumah. Selain itu, hadist-hadist itu menjelaskan bahwa shalat tathawwu’ yang dikerjakannya di rumah lebih utama daripada shalat tathawwu’ yang dikerjakan di masjid.
Nawawi berkata, “Disunnahkan (bagi seorang muslim) mengerjakan shalat sunnah di rumahnya, karena, dengan demikian, berarti ia mengerjakan secara sembunyi sehingga jauh dari kemungkinan riya’. Disamping itu, segala amal ibadahnya dapat selamat dari berbagai hal yang dapat menjadikannya sia-sia. Rumah juga akan mendapatkan keberkahan dan rahmat; malaikat turun di dalamnya dan setan akan berlari dari rumah itu.”[2]

D.   Jenis-jenis shalat sunnah
          Shalat sunnah terbagi menjadi sunnah mutlak (tidak terikat) dan sunnah mughaiyyad (terikat). Shalat sunnah mutlak sah dikerjakan dengan niat mengerjakan shalat (tanpa menyebut bilangan rakaat dan nama shalat). Nawawi berkata, “apabila musalli telah memulai shalat sunnahnya, sedang ia tidak menyebut bilangan rakaat tertentu dalam niatnya, maka ia dibolehkan melakukan salam setelah mengerjakan satu rakaat. Dibolehkan juga baginya menambah rakaat shalatnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu atau berapapun. Apabila ia mengerjakan shalat sunnah dengan rakaat yang banyak dan ia tidak mengetahui jumlahnya, lalu ia melakukan salam, maka shalatnya sah. Hal ini tidak diperdebatkan. Para sahabat kami (murid-murid Imam Syafi’I) menyepakatinya. Syafi’I mencantumkan itu dalam kitab al-Imla.[3]
          Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Abu Dzar menginjakkan shalat sunnah dengan jumlah rakaat yang sangat banyak. Setelah ia mengucapkan salam, Ahnaf bin Qais berkata, “Apakah engkau mengetahui, engkau menyelesaikan shalat itu pada rakaat ganjil atau pada rakaat genap?”
          Abu Dzar menjawab, “Jika aku tidak mengetahuinya, sesungguhnya Allah mengetahuinya. Aku mendengar kekasihku Abul Qasim (Muhammad SWA) bersabda.”
          Abu Dzar kemudian menangis, lalu berkata, “aku mendengar kekasihku, Abu Qasim (Muhammad SAW) bersabda :
          “Apabila seorang hamba melakukan sujud sebanyak satu kali, maka Allah akan mengangkat derajatnya satu derajad dan satu kesalahan dihapuskan.”
          Shalat sunnah mugayyad (terikat) tebagi menjadi shalat-shalat sunnah yang dikerjakan mengikuti shalat-shalat fardhu yang disebut sebagai shalat-shalat sunnah ratibah (atau rawatib) yang mencakup shalat sunnah fajar, shalat sunnah dzuhur, shalat sunnah shar, shalat sunnah magribh, dan shalat sunnah isya’. Shalat sunnah mugayyad juga terbagi menjadi shalat-shalat sunnah yang lain (selain shalat-shalat sunnah rawatib). Berikut ini adalah penjelasan tentang berbagai macam shalat sunnah mugayyad :

1.   Shalat Tahiyatul Masjid
Rasulullah SAW bersabda :
“Ketika salah seorang diantara kalian memasuki masjid, janganlah duduk sebelum shalat 2 rakaat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2.   Shalat dhuha
Jumlah minimal rakaat dalam shalat dhuha adalah 2 rakaat, sedangkan maksimalnya 8 rakaat.
Abu Hurairah berkata, “Kekasihku, Abu Al Qasim SAW, berpesan 3 hal kepadaku; berpuasa selama tiga hari setiap bulan, shalat dhuha 2 rakaat dan shalat witir sebelum tidur.”
Riwayat lain menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah berfirman, “Hai anak Adam! Shalatlah kepadaku empat rakaat sejak awal siang, maka aku akan menjagamu dari keburukan yang timbul pada akhir hari itu.” (HR. Ahmad, Abu Dau, At-Tirmidzi). Sanad jayyid.
Riwayat lain dari Ummu Hani menyebutkan bahwa Nabi SAW shalat di rumah beliau pada hari pembebasan kota Mekah sebanyak 8 rakaat pada waktu dhuha. (HR.Al-Bukhari)

3.   Shalat Tarawih
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan dengan iman dan ikhlas (mengharapkan pahala dari Allah), maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Hr. Al-Bukhari)
Shalat tarawih berjumlah 11 rakaat, sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW berdasarkan riwayat Aisyah ra., “Rasulullah SAW tidak melebihi pada bulan Ramadhan atau pada bulan lainnya dari sebelas rakaat.”
Jika melebihi sebelas rakaat, maka tidak apa-apa, karena Rasulullah SAW ketika ditanya tentang shalat malam, beliau menjawab, “Shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat.” (Hr. Al-Bukhari)
Rasulullah SAW tidak menentukan batasan jumlah rakaat.
Imam Ibnu Abdul Barr berkata, “Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan yang ditentukan sehubungan dengan shalat malam, dan shalat malam hukumnya sunnah. Siapa yang mau, dapat memperlama shalatnya dan mengurangi jumlah rakaatnya. Atau memperbanyak rukuk dan sujudnya.” Al-Istidzkaar (5/244).
Bahkan beliau bersabda, “jika kamu khawatir (masuk waktu) subuh, maka shalatnya satu rakaat, yang dia berwitir dengan satu rakaat tersebut.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan beberapa penyusun kitab sunnah)
4.    Shalat dua rakaat setelah wudhu
Rasulullah bersabda :
“Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian melakukan shalat dua rakaat dengan hati yang khusyu’, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
“Siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu shalat dua rakaat, yang hati dan wajahnya menghadap Allah SWT, maka surga wajib untuknya.”(HR. An-Nasa’i)
“Hai Bilal, bagaimana kamu dapat mendahuluiku ke surga? Tidaklah aku masuk surga sama sekali melainkan aku mendengar suara sendalmu didepanku. Semalam aku (bermimpi) masuk surge dan mendengar suara sandalmu didepanku. Lalu didatangkan kepadaku sebuah istana emas bersegi empat (murabba’) yang mempunyai teras. Aku kemudian bertanya, ‘milik siapa istana ini?’ mereka menjawab, ‘milik seorang lelaki dari suku Qurasy’. Aku berkata, ‘aku dari suku Qurasy’. Mereka berkata, ‘milik seorang lelaki dari umat Muhammad’. Aku berkata, ‘akulah Muhammad. Milik siapa istana ini?’ mereka menjawab, ‘milik Ummar bin Khathab’.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)

5.   Shalat Taubat
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak ada seorang yang telah melakukan dosa, lalu berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian melakukan shalat dua rakaat, kemudian beristigfar kepada Allah atas dosanya tersebut, kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR.Ahmad dan empat Imam penyusun kitab sunan)
Dalam riwayat lain disebutkan,”Rasulullah SAW lalu membaca ayat,

Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia  memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. An-Nisaa’ [4] : 110)

6.   Shalat Istikhara
Rasulullah SAW bersabda, “Ketika salah seorang diantara kalian menginginkan suatu hal, shalatlah dua rakaat, setelah itu berdo’a, ‘ Yaa Allah, aku meminta pilihan kepadamu dengan ilmumu. Aku meminta kemampuan dengan kuasaMu. Aku meminta dari anugerahMu yang agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui hal-hal ghaib. Yaa Allah jika Engkau telah mengetahui bahwa masalah ini baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir masalahku, maka takdirkanlah dia untukku, lalu berkahilah aku dalam hal itu. Jika Engkau mengetahui bahwa masalah ini tidak baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir masalahku, maka palingkanlah aku darinya dan palingkan ia dariku, serta takdirkanlah untukku darimana saja kebaikan itu berada, lalu jadikan jadikan aku orang yang ridha dengan hal itu’.” (HR. Al-Bukhari)

Ketika sampai pada kata hadzal amra, hendaknya menyebutkan apa yang menjadi hajatnya. Do’a tersebut dibaca ketika tasyahud sebelum salam.

7.   Shalat Hajat
Seorang muslim –dalam kondisi memerlukan sesuatu— hendaknya  berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat, setelah itu meminta apa yang diinginkannya.[4]
Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu shalat dua rakaat dengan sempurna, maka Allah akan memberi apa yang dimintanya, depat atau lambat.” (HR. Ahmad)


8.   Shalat Ied
Shalat Idul Fitri dan Idul Adha hukumnya fardhu kifayah.
Sebagian Ulama mengatakan bahwa shalat Idul Fitri dan Idul Adha hukumnya fardhu ain, berdasarkan hadist Ummu Athiyah ra berikut ini :
“Kami perintahkan membawa keluar wanita-wanita yang baligh dan wanita-wanita yang sedang haid dalam dua hari raya. Mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim. Wanita-wanita yang haid hendaknya menjauh dari tempat shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dengan perintah Rasulullah SAW tersebut, hukum shalat Ied adalah wajib.
Allah berfirman,

 sesungguhnya, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar [108] : 1-2)
Allah telah mengaitkannya dengan kebahagiaan orang-orang beriman, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

 Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (QS. Al-A’laa [87] : 14-15)
Shalat Ied merupakan salah satu bentuk syair Islam yang menunjukkan ikatan pesaudaraan sesame muslim dan anugerah illahi yang memperkuat ikatan persaudaraan.

9.   Shalat Gerhana Matahari
Shalat gerhana matahari hukumnya sunah muakkadah bagi laki-laki dan wanita.
Rasulullah SAW memerintahkan dalam sabda beliau :
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena matinya seseorang, juga bukan karena lahirnya seseorang. Jika kalian melihat (mengalami) gerhana, maka sgerhana bulan terhalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pelaksanaan shalat gerhana sama dengan pelakasanaan shalat Ied. Waktunya dimulai sejak mulai gerhana hingga keadaan kembali normal. Jika gerhana matahari terjadi pada petang hari, yang saat tersebut telah dimakruhkan untuk melakukan shalat sunah, maka shalat gerhana dapat diganti dengan berzikir, beristigfar dan berdo’a.
Pada saat gerhana, disunahkan memperbanyak takbir, istigfar, do’a bersedekah, memerdekakan budak, berbuat kebaikan, dan bersulaturrahim.

10.Shalat Gerhana Bulan
Gerhana bulan terjadi saat purnama pada malam ke-15. Saat gerhana bulan terjadi, masyarakat dapat melakukan shalat gerhana, baik berjamaah maupun sendiri-sendiri. Masalah ini cukup luas (sehingga mungkin timbul perbedaan pendapat).

11.Shalat Istisqa’
Shalat Istisqa’  hukumnya sunah muakkad. Shalat ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau mengumumkan kepada masyarakat dan mengajak mereka keluar menuju tempat shalat.
Istisqa’ artinya meminta hujan dari Allah untuk negeri dan penduduknya dengan cara melakukan shalat, berdo’a, dan memohon ampunan saat terjadi kemarau.





                [1] http://id.wikipedia.org/wiki/Salat_sunah
                [2] Sabiq Sayyid, Fiqih Shalat; Bandung; Jabal, 2009 hl. 169
                [3] Sabiq Sayyid Muhammad, Fiqih Sunnah; Jakarta;Pena Ilmu dan amal, 2011 hl. 327
                [4] Yasin Amin Ibnu, FIkih Shalat Lengkap; Jakarta; Pustaka Azzam, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar