Putusnya perkawinan yang
dibina oleh pasangan suami-istri, sapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti
kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, cerai
berarti pisah atau putus pertalian[1].
Perceraian merupakan saat dimana kedua pasangan suami-istri memutuskan untuk
tidak hidup bersama lagi, baik merupakan keputusan bersama maupun digugat oleh
salah satu pihak. Perceraian pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu cerai talak dan cerai gugat.
Saat kedua pasangan tak
ingin melanjutkan kehidupan
pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah
untuk memutuskan hubungan pernikahan mereka. Pernikahan yang dibubarkan dengan
cara seperti ini harus melalui tahapan untuk memutuskan hak asuh atas anak
(jika memiliki anak dari pernikahan mereka) dan pembagian harta yang dimiliki
saat dalam ikatan pernikahan.
A.
Pengertian
Peceraian
Perceraian adalah
penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.[2]
Pengertian Perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna, 1999).
Perceraian
merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan
untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya
sebagai suami istri.[3]
Pengertian
Perceraian menurut para ahli Hurlock (1996), perceraian merupakan
kalminasi dari penyelesaian perkawinan yang buruk, dan yang terjadi bila antara
suami-istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat
memuaskan kedua belah pihak, perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak
membuahkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian. Hal ini karena
perkawinan tersebut dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan agama, moral,
kondisi ekonomi, dan alasan lainnya. Perpisahan atau pembatalan perkawinan
dapat dilakukan secara hukum maupun dengan diam-diam dan kadang ada juga kasus
dimana salah satu pasangan (istri/suami) meninggalkan keluarga (minggat).[4]
Emery (1999) mendefinisikan perceraian
sebagai peristiwa berpisahnya pasgan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan
perkawinan karena tercapainya kat sepakat mengenai masalah hidup bersama. Emery
(1999) mengemukakan bahwa perpisahan suami istri seringkali terjadi karena
tidak bisa menyelesaikan konflik intern yang fundamental. Kinflik yang timbul
sejalan dengan umur kebersamaan suami istri, baik masalah yang datang dari
dalam atau masalah dari luar keluarga.[5]
B.
Alasan
Perceraian
Undang-undang tidak
memperbolehkan perceraian dengan pemufakatan saja antara suami dan istri,
tetapi juga harus dengan alas an yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam :
a.) Zina
(overspel);
b.) Ditinggal
dengan sengaja (kwaadwillage verlating);
c.) Penghukuman
yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan dan
d.) Penganiayaan
berat atau membayakan jiwa.[6]
Undang-undang perkawinan menambahkan dua
alasan :
a.) Salah
satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagaimana suami/isteri;
b.) Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[7]
Tuntutan untuk mendapat
perceraian diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata,
tetapi harus didahului dengan meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menggugat. Sebelum izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan
percobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparirie).
Selama perkara
bergantung, Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan kererapan-ketetapan
sementara, misalnya dengan member izin kepada si isteri untuk bertempat tinggal
sendiri terpisah dari suaminya, memerintahkan supaya si suami member nafkah tiap-tiap
kali istrinya serta anak-anaknya yang turut pada isterinya itu dan sebagainya.
Kekayaan bersama disita agar jangan sampai dihabiskan oleh suami selama perkara
masih bergantung.
Larangan untuk bercerai
atas pemufakatan, sekarang ini sudah lazim diselundupi dengan cara mendakwah si
suami telah berbuat zina. Pendakwaan itu lalu diakui oleh suami. Dengan begitu
alasan sah untuk memecahkan perkawinan telah dapat “dibuktikan” di muka hakim.
Gemeenchap hapus dengan
perceraian dan selanjutnya dapat diadakan pembagian kekayaan gemeenchap itu (scheiding endeling). Apabila ada
perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan.
Hal
ihwal putusnya pernikahan menurut syari’at islam
Salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan suami-istri
karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suam-istri
meneruskan hidup berumah tangga disebut thalaq. Menurut ajaran Islam, thalaq
adalah perbuatan halal yang tidak disukai Allah. Sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu Daud. Karena itu, asal hukum thalaq
adalah haram, tapi karena ada illatnya, maka hukumnya menjadi dibolehkan.
Dalam syari’at Islam terdapat empat permasalahan mendasar
yang perlu diperhatikan dalam relevansi dengan thalaq. Keempat masalah mendasar
tersebut dilengkapi dengan dalil naqli. Pertama, apabila istri telah dijatuhi
thalaq tiga oleh suami, maka perempuan itu menjadi haram dinikahi lagi sebelum
ia kawin/menikah lagi sesuai dengan dalil naqli, yaitu :
“Jika dia menceraikan perempuannya (sesudah thalak dua kali), maka
tiadalah halal perempuan itu baginya kecuali jika perempuan itu telah kawin
dengan lelaki yang lain. Dan jika dicraikan pula oleh lelaki lain itu, tiada
berdosa keduanya kalau keduanya rujuk kembali, jika keduanya menduga akan
menegakkan bata-batas Allah. Demikian itulah batas-batas Allah, diterangkannya
kepada kaum yang akan mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah : 230).
Adapun maksud dari dalil naqli tersebut adalah : perempuan
yang telah dijatuhi thalak tiga harus sudah menikah dengan laki-laki lain
kemudian bercerai. Dalam keadaan demikian perempuan yang tadi tidak dilarang
dinikahi lagi oleh laki-laki bekas suami pertama; hukum perkawinan tersebut
tetap halal. Beberapa halnya apabila terjadi seorang yang diupah oleh bekas
suami pertamanya tadi menikah dengan bekas istrinya, kemudian menthalaknya dan
oleh karena sudah dithalak oleh laki-laki yang diberi upah itu, bekas suami
pertaman (yang mengupah) mengawini perempuan itu lagi. Keadaan seperti ini
tidak dibenarkan dalam syari’at Islam.[8]
Kedua, apabila seorang istri dithalak suami, maka sebaiknya
ketika ia dalam keadaan suci dari haidh dan belum dicampuri. Demikian pula penjatuhan
thalak tersebut sebaiknya dilakukan setelah istri diketahui jelas hamil atau
tidaknya; yaitu sudah suci dari haidh kemudian digauli dan mendatangkan
kehamilan. Apabila keadaan istri belum jelas keadaannya (apakah ia hamil atau
tidak), maka seyogyanya thalak tersebut tidak dijatuhkan. Ketiga, memerlukan
adanya dua saksi pada waktu menjatuhkan thalak dan syarat-syarat sebagai
berikut : Islam, akil baligh, laki-laki dan adil.
Beberapa ketentuan
tentang saksi tersebut sesuai dengan dalil naqli, yaitu :
“Apabila ‘iddahnya (hampir) sampai habis, hendaklah kamu pegang (rujuki)
mereka kembali dengan secara ma’ruf (baik) atau kamu ceraikan mereka dengan
ma’ruf, dan hendaklah kamu persaksikan (yang demikian) kepada dua orang yang
adil diantaramu dan hendaklah kamu bayarkan kesaksian itu karena Allah. Itulah
yang diajarkan kepada orang yang beriman kepada Allah, maka Allah akan
mengadakan baginya tempat yang keluar (dari kesulitan)” (QS. Ath-Thalaq: 2)
Keempat, apabila seorang suami/istri-istri telah dijatuhkan
thalak oleh suami, maka penjatuhan thalak tersebut menimbulkan
kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami terhadap istri. Apabila
maskawin (mahar) belum dilunasi sewaktu akad nikah maka maskawin (mahar)
tersebut wahib dibayar sebagian atau seluruhnya. Di samping itu suami
berkewajiban member nafkah kepada anak-anaknya untuk biaya pemeliharaan dan
kepentingan pendidikan dengan tetap mengingat kemampuan suami sesuai dengan
Nash Al-Qur’an surat Ath-Thalaq ayat 6.
Menurut ketentuan surat Al-Baqarah ayat 241, suami wajib
member mut’ah kepada istri yang dithalak, yakni : suatu yang menggembirakan
sesuai dengan kedudukan dan kemampuan suami. Adapun bunyi QS. Al-Baqarah : 24,
yaitu :
“Untuk perempuan yang dithalak itu kegembiraan (pemberian dari suaminya)
secara ma’ruf, sebagai suatu kewajiban atas orang-orang yang takwa.”
Kewajiban yang lain yang harus ditunaikan oleh suami adalah
memberikan nafkah kepada istri yang telah dithalak selama masa ‘iddah sesuai
dengan ketentuan Nash Al-Qur’an surat Ath-Thalaq : 6, yaitu :
“Suruh diamlah mereka (perempuan-perempuan yang dalam ‘iddah di rumah
tempat diam kamu, menurut tenagamu dan janganlah kamu member melarat kepada
mereka, sehingga kamu menyempitkannya (menyusahkannya). Jika
perempuan-perempuan itu dalam hamil. Jendaklah kamu beri nafkah, sehingga
mereka melahirkan kandungannya, dan jika mereka menyusukan ank itu, hendaklah
kamu beri upahnya (gajinya). Dan bermufakatlah sesame kamu secara ma’ruf
(baik). Jika kamu kedua-duanya dalam kesulitan, maka nanti perempuan yang lain
akan menyusakannya.”
Menurut hukum Islam masalah thalak dapat dibagi dalam
beberapa jenis dan bentuk sesuai dengan aspek tinjauannya, yaitu :
1. Tinjauan
dari segi waktu menjatuhkan thalak;
2. Tinjauan
dari segi jumlah penjatuhan thalak;
3. Tinjauan
dari segi keteladanan Nabi Muhammad SAW;
4. Tinjauan
dari segi larangan Rasulullah SAW.[9]
Adapun
jenis-jenis talak, diantaranya talak raj’i, talak ba’in shugraa, talak ba’in
kubra, talak sunni, talak bid’i.[10]
Berikut adalah masing-masing pengertiannya :
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 118 :
1. Talak
Raj’i
Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami
berhak rujuk selama masa ‘iddah.
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 119 :
2. Talak
Ba’in Shugra
(1) Talak
Ba’in Shugra adalah talak yang tidak boleh di rujuk tapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun ‘iddah.
(2) Talak
Ba’in Shugraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. Talak
yang terjadi qobla al dukhul;
b. Talak
dengan tebusan atau khuluk;
c. Talak
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 120 :
3.
Talak Ba’in Kubra
Talak Ba’in Kubra adalah talak untuk yang ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikan itu dilakukan setelah bekas istri
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan
masa ‘iddah.
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 121 :
4.
Talak Suni
Talak suni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut.
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 122 :
5.
Talak Bid’i
Talak Bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang
dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haidh, atau istri dalam keadaan suci
tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
C.
Prosedur
Perceraian
Sebagai mana telah disebutkan diawal bahwa perceraian dapat
dibedakan menjadi dua macam, cerai talak dan cerai gugat.
Adanya pembagian cerai
itu, akan berbeda pula prosedur dalam prosedur pengajuan cerai tersebut. Pasal
14 sampai dengan pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur prosedur perceraian,
yang dijatuhkan oleh suami terhadap istri adalah sebagai berikut.
1. Suami
yang akan menjatuhkan talak pada istri mengajukan permohonan baik lisan maupun
tulisan ke pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan
alasan meminta agar diadakan siding untuk keperluan itu.
2. Pengadilan
mempelajari permohonan dan memanggil para pihak.
3. Mengadakan
siding untuk menyaksikan ikrar talak.
4. Perceraian
mengesahkan perceraian tersebut.
5. Pengadilan
mengeluarkan keterangan perceraian rangkap.
6. Pengadilan
dihitung terjadi sejak perceraian dinyatakan di depan persidangan pengadilan.[11]
Prosedur yang
rinci tentang cerai talak dapat dibaca dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 148
Kompilasi Hukum Islam. Tata cara cerai talak adalah sebagai berikut.
1. Seorang
suami yang akan mengajukan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan siding untk keperluan
itu.
2. Pengadilan
Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan tersebut dan dalam waktu yang
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta
penjelasan tentang sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
3. Setelah
Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup
alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup
rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan putusannya tentang ijin
bagi suami untuk mengikrarkan talak.
4. Setelah
putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya didepan
sidang Pengadilan Agama dihadiri istri atau kuasanya.
5. Bila
suami tidak mengikrarkan talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak
putusan Pengadilan Agama tetap tentang izin ikrar talak baginya mempunyai
kekuatan hukum maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan
perkawinan tetap utuh.
6. Setelah
sidang menyatakan ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang
terjadinya talak, dalam rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi
bekas suami-istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan
pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami-istri
dan helai keempat disimpan di Pengadilan Agama.
7. Gugatan
cerai talak ini dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan Agama.[12]
Prosedur untuk mengajukan gugatan cerai oleh istri
dikemukakan berikut ini.
1. Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat tinggal
kediaman diluar negeri Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut
melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
2. Gugatan
perceraian karena alasan :
a. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya
dapat diajukan setelah lampau 2 tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan
rumah, gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama;
b. Antara
suami –istri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama
mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengarkan
pihak keluarga serta orang-orang -yang dekat dengan suami-istri tersebut;
c. Suami
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat setelah
perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti
penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara
disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
3.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
4. Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan Agama dapat:
a. Menentukan
nafkah yang harus ditanggung suami;
b. Menentukan
hal-hal yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi
hak suami atau barang-barang yang menjadi hak-hak istri.
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau
istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan
perceraian tersebut.[13]
D.
Akibat-akibat
Perceraian
Karena perceraian, perkawinan dibubarkan,
sehingga juga gugurlah semuah akibat dari perkawinan itu.
Demikianlah, kalau disitu ada kebersamaan
harta-perkawinan, kebersamaan itupun bubar (bandingkan p.287) dan gugurlah
kekuasaan marital dari suami, tentu saja demikian juga dengan kewahiban untuk
tinggal bersama dalam saru rumah.
Selanjutnya perceraian itu mempunyai
beberapa akibat dalam bidang financial, juga terhadap anak-anak yang
dilahirnkan dalam perkawinan itu. Ada yang disebut kewajiban memelihara di dalam p.280. –pasal-pasal 158-162 berhenti
berlaku karena perceraian itu –dari mana di antara lain ternyata, bahwa
pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh pengadilan adalah fakultatif. Dalam hubungan dengan
kewajiban memelihara itu selanjutnya hendaknya diperbandingkan pasal-pasal umum
470-472, pemberian sejumlah uang. Pemberian sejumlah uang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 280 menurut pendapat Hoge Raad juga dapat dilakukan apabila –hal
mana memang ada kalanya terjadi juga – telah diputuskan perceraian oleh kedua
berlah pihak. Selanjutnya mahkamah yang tertinggi itu berpendapat, bahwa, jika
salah satu pihak dengan sukarela memberikan biaya hidup kepada pihak lainnya,
hal itu hendaklah merupakan hal yang bertentangan dengan kesusilaan.[14]
Hak atas biaya hidup adalah mengenai ketertiban
umum, sehingga mengenai itu orang tidak dapat melepaskannya. Pembayaran
sejumlah uang itu bersifat pribadi semata-mata; hal itu gugur karena dengan matinya salah satu
pihak (suami atau isteri) (p.282), tetapi tidak hilang dalam hal pihak yang menikmatinya
kawin lagi.
Perceraian sangatlah akan berdampak
terhadap nanak-anak. Semenjak Undang-Undang anak tahun 1901 berlaku, pada
bubarnya perkawinan berhentilah kekuasaan orang tua dan muncullah sebagai
penggantinya yang disebut perwalian. Hal ini boleh saja bersifat lebih formal,
tetapi bagaimanapun juga adalah bersifat material suatu perubahan yang diadakan
dalam tahun 1901.
Dahulu misalnya berlaku system, bahwa
sepanjang pengadilan tidak menentukan lain, anak-anak tinggal dengan pihak yang
tidak bersalah dalam perceraian itu.
Pada dewasa ini, pengadilan yang menjatuhkan putusan
sesudah pendengaran para orang tua dan dalam hal ini juga para sanak keluarga
lain-lain sebagainya, adalah sama sekali bebas dan semua keadaan dapat dipakai
sebagai pertimbangan.[15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar