Sabtu, 25 Juli 2015

Hukum Pidana; Penganiayaan

Dalam kehidupan sehari-hari tentulah kita tidak bisa memungkiri bahwa sering terjadi berbagai kejadian yang kita hadapi, dan diantara berbagai kejadian tersebut tidak lepas pula masalah pidana. Beberapa kejadian pidana mungkin dengan tidak sengaja kita lihat secara langsung maupun kita tonton di media, baik media elektronik maupun media cetak.
Sebelum jauh kita bicara tentang pidana maka akan lebih baik jika kita tahu dulu pengertian dari hukum pidana itu, menurut POMPE hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan diatur pidananya.[1]

 
1.   Pengertian Penganiayaan
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata penganiayaan berasal dari kata aniaya yang artinya perbuatan bengis, penindasan, sadis dan sebagainya; sewenang-wenang.[2]
Pneganiayaan merupakan salah satu tindak kejahatan. Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen het lijf) ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.
Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua macam, ialah :
1.)  Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kulifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 s/td 358. (akan dibahas pada pembahasan, “Undang-Undang yang mengatur tentang tindak kejahatan, penganiayaan).
2.)  Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.[3]
Bagaimana pengertian penganiayaan yang dianut dalam praktik hukum?  Walaupun pandangan dalam doktrin itu ada juga dianut dalam praktik hukum, seperti tampak dalam arrest Hoge Raad (HR) tanggal 25 Juni 1894 yang dinyatakan bahwa penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211). Tetapi dalam arrest lainnya pandangan dalam doktrin yang mendasarkan pada sejarah pembentukan pasal yang bersangkutan dianut tidak secara utuh, hal ini berhubung karena pengertian menurut doktrin terlalu luas. Berdasarkan pengertian dalam doktrin tadi, maka perbuatan seperti seorang guru atau orang tua yang memukul anak, atau dokter yang melukai sebagian tubuh pasien dalam rangka pelaksanaan operasi untuk menyembuhkan suatu penyakit adalah termasuk juga pada pengertian penganiayaan.
Arrest HR lainnya yang memberikan penafsiran secara lebih sempurna yang dapat menghilangkan kelemahan pandangan dalam doktrin tadi, adalah seperti arrest HR (10-2-1902) yang menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak” (Soenarto Soeradibroto, 1994:212). Arrest HR lainnya (20-4-1925) menyatakan bahwa “dengan sengaja melukai tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar.” (R. Tresna, 1959:222).
Berdasarkan doktrin dan pendapat dari arrest-arrest HR yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan perihal arti penganiayaan, ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atay luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak[4].
Pengertian seperti yang baru disebutkan di atas itulah yang banyak dianut dalam praktik hukum selama ini. Dari pengertian itu, maka penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a.   Adanya kesengajaan;
b.   Adanya perbuatan;
c.    Adanya akibat perbuatan (dituju) yakni :
1.)  Rasa sakit, tidak enak pada tubuh;
2.)  Lukanya tubuh;
d.   Akibat mana menjadi tujuan satu-satunya.
Disebutnya unsur luka dalam arrest-arrest HR tersebut di atas sebagai alternative dari rasa sakit, dirasa berlebihan, oleh karena menjadikan luka pada tubuh, menurut akal pikiran dan dalam kebiasaan yang wajar berlaku dalam masyarakat sudah dengan sendirinya menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Unsur a dan d adalah bersifat subyektif. Sedangkan unsur b dan c bersifat objektif. Walaupun unsur-unsur itu tidak ada dalam rumusan pasal 351, akan tetapi harus disebutkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan dalam persidangan.[5]


2.   Jenis-jenis kejahatan terhadap tubuh
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa kejahatan terhadap tubuh terbagi menjadi dua macam, yaitu kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja dan kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dan berikut akan dijelaskan tentang kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja:

A.   Kejahatan Terhadap Tubuh Dengan Sengaja (Penganiayaan)
Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dibedakan menjadi enam macam.[6] Yakni :
1.   Penganiayaan biasa
Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa (gewone mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok atau bentuk standard  terhadap ketentuan pasal 351 sungguh tepat, setidak-tidaknya untuk membedakannya dengan bentuk-bentuk penganiayaan lainnya.
Dilihat dari sudut cara pembentuk Undang-Undang dalam merumuskan penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan. Apabila pada rumusan kejahtan-kejahatan lain, pembentuk Undang-Undang dalam membuat rumusannya adalah dengan menyebut unsur tingkah laku dan unsur-unsur lainnya, seperti kesalahan, melawan hukum, atau unsur mengenai objeknya, mengenai cara melakukannya dan sebagainya, tetapi pada kejahatan yang diberi kualifikasi penganiayaann pasal 351 ayat (1) ini, dirumuskan dengan sangat singkat, yaitu dengan sangat singkat, yaitu dengan menyebut menyebut kualifikasinya sebagai penganiayaan (mishandeling) sama dengan judul dari Bab XX, dan menyebutkan ancaman pidananya. Suatu rumusan kejahatan yang amat singkat.
Pasal 351 merumuskan sebagai berikut :
(1)  Penganiayaan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.
(2)  Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun.
(3)  Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
(4)  Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5)  Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Oleh Karena kejahatan penganiayaan yang dirumuskan pada ayat 1 hanya memuat kualifikasi kejahatan dan ancaman pidananya saja, maka dari rumusan itu saja tidak dapat dirinci unsur-unsurnya, yang oleh karena itu juga sekaligus tidak diketahui dengan jelas tentang pengertiannya.
Mengenai latar belakang mengapa pembentuk Undang-Undang membuat rumusan yang sangat singkat demikian itu, dapat diketahui dari sejarah pembentukan pasal yang bersangkutan dari KUHP (WvS) Belanda.
Pada mulanya dalam rancangan dari pasal yang bersangkutan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman Belanda ke Parlemen, terdapat 2 rumusan yakni :
a.   Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit/penderitaan pada tubuh orang lain.
b.   Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain (Satochid Kartanegara : 507, Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 70)
           Oleh karena terdapat keberatan dari sebagian anggota Parlemen berhubung dengan tidak terang atau kaburnya pengertian tentang rasa sakit/penderitaan tubuh, maka Parlemen itu, maka Menteri Kehakiman mengubah rumusan yang pertama dengan hanya menyebutkan/merumuskan kata penganiayaan (mishandeling) saja, atas dasar pertimbangan bahwa semua orang sudah memahami artinya. Sedangkan pengertian dari rumusan yang kedua ditempatkan dalam ayat (4) dari pasal yang bersangkutan, yang dapat dianggap sebagai perluasan  arti dari kata penganiayaan.
           Oleh karena rumusan kejahatan ini hanya disebut kualifikasinya saja, maka untuk mencari arti dari istilah itu, terpaksa orang harus menafsirkan tentang apa arti dari kata penganiayaan.
           Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan sebagaimana yang diterangkan diatas, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain (Satochid Kartanegara: 509).
           Ternyata dalam doktrin penganiayaan diberi arti yang tidak jauh berbeda dengan pengertian yang dirumuskan pertama pada rancangan dari pasal yang bersangkutan sebagaimana yang sudah diterangkan diatas.
           Jadi menurut doktrin penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut[7]:
a.   Adanya kesengajaan;
b.   Adanya perbuatan;
c.    Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni :
1.    Rasa sakit pada tubuh, dan atau
2.    Luka pada tubuh.
Unsur yang pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif.
Kesengajaan disini berupa sebagai maksud atau opzet als oogmerk (Wirjono Prodjodikoro, 1974: 71), disamping harus ditujukan pada akibatnya. Sifat kesengajaan yang demikian lebih nyata lagi pada rumusan pada ayat 4.
Mengenai unsur tingkah laku sangatlah bersifat abstrak, karena dengan istilah/kata perbuatan saja, maka dalam bentuknya yang kongkret tak terbatas wujudnya, yang pada umumnya wujud perbuaatan-perbuatan itu mengandung sifat kekerasan fisik dan harus menimbulkan rasa sakit tubuh atau luka tubuh.
Luka diartikan terdapatnya/terjadinya perubahan dari tubuh, atau menjadi lain dari rupa semula sebelum perbuatan itu dilakukan, misalnya lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak pada pipi dan lain sebagainya.
Sedangkan rasa sakit tidak memerlukan adanya perubahan rupa pada tubuh, melainkan pada tubuh timbul rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan.
Dalam hal penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan pada dasarnya juga percobaan dapat terjadi, dan sudah ada kepentingan hukum yang dibahayakan, tetapi bahaya terhadap suatu kepentingan hukum di sini dipandang oleh pembentuk Undang-Undang tidak sebesar bahaya pada kejahata lain seperti pembunuhan (Pasal 338), pemdurian (pasal 362) dan lain sebagainya. Bahaya yang ditimbulkan merupakan bahaya yang dipandang sebagai bahaya yang belum patut untuk dipidana. Oleh karena itu terhadap percobaan penganiayaan biasa dan ringan tidak diancam pidana oleh Undang-Undang.

2.   Penganiayaan Ringan
           Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan (lichte michandeling) oleh Undang-Undang ialah penganiayaan yang dimuat dalam pasal 352, yang rumusannya sebagai berikut:
1)    Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau larangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai pengaiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500
2)    Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.[8]
          Penganiayaan bentuk tingan tidak terdapat dalam WvS Belanda. Dengan dibentuknya penganiayaan ringan ke dalam KUHP kita (Hindia Belanda) adalah sebagai perkecualian dari asas Concordantie.
a.   Mengenai batasan dan ancaman pidana bagi penganiayaan ringan.
b.   Alasan pemberat pidana pada penganiayaan ringan.
Batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang :
a.   Bukan berupa penganiayaan berencana (353);
b.   Bukan penganiayaan yang dilakukan:
1)    Terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya;
2)    Terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
3)    Dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan unutk dimakan atau diminum (pasal 363);
c.    Tidak (1) menimbukan penyakit atau (2) halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau (3) pencaharian.
Tiga unsur itulah, di mana unsur b dan c terdiri dari beberapa alternative, yang harus dipenuhi untuk menetapkan suatu penganiayaan sebagai penganiayaan ringan.
Dengan melihat unsur penganiayaan ringan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penganiayaan bencana (pasal 353) dan penganiayaan terhadap orang-orang yang memiliki kualitas tertentu dalam pasal 365, walaupun pada penganiayaan berencana itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.

3.   Penganiayaan Berencana
          Pasal 353 mengenai penganiaan berencana merumuskan sebagai berikut:
(1)  Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun;
(2)  Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun;
(3)  Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.[9]
Ada tiga macam penganiayaan berencana, yakni :
a.   Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian;
b.   Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat;
c.    Penganiayaan berencana yang berakibat kematian.
          Kejahatan yang dirumuskan pasal 353 dalam praktik hukum diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berencana, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voorbedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan. Direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah bentuk khusus dari kesengajaan (opsettelijk) dan merupakan alas an pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subyektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (pasal 340).
          Di dalam Memorie van Toelichting (MvT) ada sedikit kterangan tentang direncanakan lebih dulu, ialah “suatu saat (tijdstip) untuk menimbang dengan tenang (Hermien HK, 1984: 41). Keterangan itu belum jelas tentang segala sesuatu yang perlu dalam hubungannya dengan saat untuk menimbang dengan tenang, selain sekedar menunjukkan arti bahwa di dalam istilah itu terdapat suasana (batin) yang tenang, bukan suasana (batin) yang menggambarkan tentang timbulnya kehendak secara tiba-tiba.
          Di dalam doktrin, banyak dibicarakan oleh para ahli tentang istilah direncanakan lebih dulu, yang pada dasarnya istilah ini mengandung pengertian yang harus memenuhi syarat-syarat yakni:
a.   Pengambilan keputusan untuk berbuat atas suatu kehendak dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang, (kebalikan dari pengambilan kepurusan secara tiba-tiba atau tergesa-gesa tanpa dipikirkan maupun atas dirinya sendiri).
b.   Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuaran ada tenggang waktu yang cukup. Dalam jarak tersedianya waktu yang cukup itu, dapat digunakan olehnya untuk berpikir-pikir/memikirkan, yakni antara lain:
1.    Perihal apakah perbuatan yang telah menjadi keputusannya itu akan dilaksanakan dengan suatu resiko/akibat yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, ataukah ia tidak akan meneruskannya atau membatalkan niat jahatnya itu;
2.    Apabila ia sudah berketepatan hati untuk melaksanakan kehendak yang telah menjadi keputusannya, bagaimana cara dan dengan alat apa serta bilamanakah saat yang tepat untuk melaksanakannya;
3.    Sebagaimana cara untuk menghilangkan jejak, dan lain sebagainya, yang segala hal/sesuatu yang dipikirkannya itu adalah segala sesuatu yang dapat diputuskannya sendiri berhubungan dengan adanya suasana yang tenang tadi.
c.    Dalam melaksanakan perbuatan (yang telah menjadi keputusannya tadi) dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang. Maksudnya ketika melaksanakan perbuatan itu suasana hati, pikiran (batin) tidak dikuasai oleh perasaan seperti emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.
4.   Penganiayaan Berat
          Penganiayaan yang oleh Undang-Undang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam pasal 354 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
(1)  Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun;
(2)  Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.[10]
          Dengan mengingat pengertian penganiayaan seperti yang sudah diterangkan dibagian depan, dengan menghubungkannya pada rumusan penganiayaan berat diatas, maka pada penganiayaan berat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a.   Kesalahannya : kesengajaan (Opzettelijk);
b.   Perbuatan : melukai berat;
c.    Objeknya: tubuh orang lain;
d.   Akibat : luka berat.
Perbuatan melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga, menjadikan luka berat pada tubuh orang lain haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan (Opzettelijk) disini haruslah diartikan secara luas, artinya termasuk dalam tiga bentuk kesengajaan. Pandangan ini didasarkan pada keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dirumuskan unsur kesengajaan, maka kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan.
Penganiayaan berat hanya ada dua bentuk, yakni :
a.   Penganiayaan berat biasa (ayat 1), dan
b.   Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2).

5.   Penganiayaan Ringan
          Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam pasal 355, yang rumusannya sebagai berikut :
(1)  Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan penjara paling lama 12;
(2)  Jika perbuatan itu menimbulkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.[11]
Dipandang dari sudut untuk terjadinya penganiayaan berat berencana ini, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dengan penganiayaan berencana (pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana. Kedua berntuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

6.   Penganiayaan Terhadap Orang-Orang Berkualitas Tertentu atau dengan Cara Tertentu yang Memberatkan
          Macam penganiayaan yang dimaksudkan adalah penganiayaan sebagaimana yang dimuat dalam pasal 356, yang rumusannya adalah sebagai berikut :
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 352, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga :
1.    Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya;
2.    Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
3.    Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kejahatan untuk dimakan atau diminum.[12]
Bahwa bagi bentuk khusus dari penganiayaan tersebut di atas, sifat yang memberatkan pidana pada penganiayaan biasa (pasal 351), penganiayaan berencana (pasal 353), penganiayaan berat (pasal 354) dan penganiayaan berat berencana (pasal 355) terletak pada 2 hal, ialah :
a.   Pada kualitas pribadi korban sebagai :
1)    Ibunya;
2)    Bapaknya yang sah;
3)    Istrinya;
4)    Anaknya;
5)    Pegawai negeri (a) ketika atau (b) karena menjalankan tugasnya yang sah.
b.   Pada cara melakukan penganiayaan, yakni dengan memberikan bahan untuk dimakan atau diminum yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan.

3. Contoh Kasus Penganiayaan
          Tindak penganiayaan dengan menggunakan barang tajam yang dilakukan oleh seorang lelaki tersangka atas nama Darma terhadap seorang laki-laki korban yang bernama Ape, dimana laki-laki tersangka tersebut menganiaya lelaki korban dengan menggunakan barang tajamdan mengena pada bagian pergelangan tangan kanan sebanyak 1 (satu) kali, sehingga korbang mengalami luka potong dan mengeluarkan banyak darah, yang terjadi pada hari senin 10 september 2012, sekitar jam 10.00 WITA, tepatnya di Kel. Paniki Bawah Lk. X Kec. Mapanget Manado.[13]
          Pelaku dijerat Pasal 351  ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Pasal 2 ayat (1)  Undang-undang Darurat No. 12 tahun 1951.
Masing-masing Pasal tersebut berbunyi :
Pasal 352 ayat (1) KUHP :  Penganiayaan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.
Pasal 2  ayat (2) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 : Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.


Kesimpulan
·         penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka. arrest HR (10-2-1902) yang menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak” (Soenarto Soeradibroto, 1994:212). Arrest HR lainnya (20-4-1925) menyatakan bahwa “dengan sengaja melukai tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar.” (R. Tresna, 1959:222).
·         Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dibagi menjadi 6 macam, yakni :
1.    Penganiayaan biasa;
2.    Penganiayaan ringan;
3.    Penganiayaan berencana;
4.    Penganiayan berat;
5.    Penganiayaan berat berencana;
6.    Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu yang memberatkan.





[1] Bambang Purnomo, Hukum Pidana, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1982, hlm. 9
[2] Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Amelia, Surabaya; 2005; hlm. 32
[3] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT RajaGrafindo Persada; Jakarta; 2004, hlm. 7
[4] Ibid, hlm. 12
[5]Ibid, hlm. 13
[6] Ibid, hlm. 7
[7] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakata; 2012, hlm. 105
[8] R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, cet. 16, Jakarta: Rajawali Pers, 2012 , hlm. 216
[9] Ibid, hlm. 217
[10] KUHP dan KUHAP beserta penjelasannya; Citra Umbara, 2006, hlm. 109
[11] Ibid, hlm. 110
[12] Ibid, hlm. 110
[13]  Berkas Perkara, No.Pol. BP/22/X/2012/Reskrim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar