Dalam kehidupan
sehari-hari tentulah kita tidak bisa memungkiri bahwa sering terjadi berbagai
kejadian yang kita hadapi, dan diantara berbagai kejadian tersebut tidak lepas
pula masalah pidana. Beberapa kejadian pidana mungkin dengan tidak sengaja kita
lihat secara langsung maupun kita tonton di media, baik media elektronik maupun
media cetak.
Sebelum jauh kita bicara
tentang pidana maka akan lebih baik jika kita tahu dulu pengertian dari hukum
pidana itu, menurut POMPE hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan
hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan diatur pidananya.[1]
1.
Pengertian
Penganiayaan
Dalam kamus Bahasa
Indonesia, kata penganiayaan berasal dari kata aniaya yang artinya perbuatan
bengis, penindasan, sadis dan sebagainya; sewenang-wenang.[2]
Pneganiayaan merupakan
salah satu tindak kejahatan. Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen het lijf) ini ditujukan
bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa
penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit
atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan
kematian.
Atas dasar unsur
kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua macam, ialah :
1.) Kejahatan
terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini
diberi kulifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling),
dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 s/td 358. (akan dibahas pada pembahasan,
“Undang-Undang yang mengatur tentang tindak kejahatan, penganiayaan).
2.) Kejahatan
terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal
dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.[3]
Bagaimana
pengertian penganiayaan yang dianut dalam praktik hukum? Walaupun pandangan dalam doktrin itu ada juga
dianut dalam praktik hukum, seperti tampak dalam arrest Hoge Raad (HR) tanggal
25 Juni 1894 yang dinyatakan bahwa penganiayaan adalah “dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dicantumkan dalam surat
tuduhan” (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211). Tetapi dalam arrest lainnya
pandangan dalam doktrin yang mendasarkan pada sejarah pembentukan pasal yang
bersangkutan dianut tidak secara utuh, hal ini berhubung karena pengertian
menurut doktrin terlalu luas. Berdasarkan pengertian dalam doktrin tadi, maka
perbuatan seperti seorang guru atau orang tua yang memukul anak, atau dokter
yang melukai sebagian tubuh pasien dalam rangka pelaksanaan operasi untuk
menyembuhkan suatu penyakit adalah termasuk juga pada pengertian penganiayaan.
Arrest
HR lainnya yang memberikan penafsiran secara lebih sempurna yang dapat
menghilangkan kelemahan pandangan dalam doktrin tadi, adalah seperti arrest HR
(10-2-1902) yang menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh
bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan
yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang
diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak” (Soenarto Soeradibroto,
1994:212). Arrest HR lainnya (20-4-1925) menyatakan bahwa “dengan sengaja
melukai tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya
untuk mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar
bahwa ia melewati batas-batas yang wajar.” (R. Tresna, 1959:222).
Berdasarkan
doktrin dan pendapat dari arrest-arrest HR yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan perihal arti penganiayaan, ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa sakit atay luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana
semata-mata merupakan tujuan si petindak[4].
Pengertian
seperti yang baru disebutkan di atas itulah yang banyak dianut dalam praktik
hukum selama ini. Dari pengertian itu, maka penganiayaan mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut :
a. Adanya
kesengajaan;
b. Adanya
perbuatan;
c. Adanya
akibat perbuatan (dituju) yakni :
1.) Rasa
sakit, tidak enak pada tubuh;
2.) Lukanya
tubuh;
d. Akibat
mana menjadi tujuan satu-satunya.
Disebutnya
unsur luka dalam arrest-arrest HR tersebut di atas sebagai alternative dari
rasa sakit, dirasa berlebihan, oleh karena menjadikan luka pada tubuh, menurut
akal pikiran dan dalam kebiasaan yang wajar berlaku dalam masyarakat sudah
dengan sendirinya menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Unsur
a dan d adalah bersifat subyektif. Sedangkan unsur b dan c bersifat objektif.
Walaupun unsur-unsur itu tidak ada dalam rumusan pasal 351, akan tetapi harus
disebutkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan dalam persidangan.[5]
2.
Jenis-jenis
kejahatan terhadap tubuh
Sebagaimana telah
disebutkan diatas bahwa kejahatan terhadap tubuh terbagi menjadi dua macam,
yaitu kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja dan kejahatan
terhadap tubuh karena kelalaian, dan berikut akan dijelaskan tentang kejahatan
terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja:
A.
Kejahatan
Terhadap Tubuh Dengan Sengaja (Penganiayaan)
Kejahatan
terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dibedakan
menjadi enam macam.[6]
Yakni :
1.
Penganiayaan
biasa
Pemberian
kualifikasi sebagai penganiayaan biasa (gewone
mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok atau
bentuk standard terhadap ketentuan pasal
351 sungguh tepat, setidak-tidaknya untuk membedakannya dengan bentuk-bentuk
penganiayaan lainnya.
Dilihat
dari sudut cara pembentuk Undang-Undang dalam merumuskan penganiayaan,
kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan. Apabila pada rumusan
kejahtan-kejahatan lain, pembentuk Undang-Undang dalam membuat rumusannya adalah
dengan menyebut unsur tingkah laku dan unsur-unsur lainnya, seperti kesalahan,
melawan hukum, atau unsur mengenai objeknya, mengenai cara melakukannya dan
sebagainya, tetapi pada kejahatan yang diberi kualifikasi penganiayaann pasal
351 ayat (1) ini, dirumuskan dengan sangat singkat, yaitu dengan sangat
singkat, yaitu dengan menyebut menyebut kualifikasinya sebagai penganiayaan (mishandeling) sama dengan judul dari Bab
XX, dan menyebutkan ancaman pidananya. Suatu rumusan kejahatan yang amat
singkat.
Pasal
351 merumuskan sebagai berikut :
(1) Penganiayaan pidana
paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.
(2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan penjara paling
lama 5 tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
(4) Dengan penganiayaan
disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan
kejahatan ini tidak dipidana.
Oleh
Karena kejahatan penganiayaan yang dirumuskan pada ayat 1 hanya memuat kualifikasi
kejahatan dan ancaman pidananya saja, maka dari rumusan itu saja tidak dapat
dirinci unsur-unsurnya, yang oleh karena itu juga sekaligus tidak diketahui
dengan jelas tentang pengertiannya.
Mengenai
latar belakang mengapa pembentuk Undang-Undang membuat rumusan yang sangat
singkat demikian itu, dapat diketahui dari sejarah pembentukan pasal yang
bersangkutan dari KUHP (WvS) Belanda.
Pada
mulanya dalam rancangan dari pasal yang bersangkutan yang diajukan oleh Menteri
Kehakiman Belanda ke Parlemen, terdapat 2 rumusan yakni :
a.
Setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit/penderitaan pada tubuh
orang lain.
b.
Setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain (Satochid
Kartanegara : 507, Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 70)
Oleh karena terdapat keberatan dari
sebagian anggota Parlemen berhubung dengan tidak terang atau kaburnya
pengertian tentang rasa sakit/penderitaan tubuh, maka Parlemen itu, maka
Menteri Kehakiman mengubah rumusan yang pertama dengan hanya
menyebutkan/merumuskan kata penganiayaan (mishandeling)
saja, atas dasar pertimbangan bahwa semua orang sudah memahami artinya.
Sedangkan pengertian dari rumusan yang kedua ditempatkan dalam ayat (4) dari
pasal yang bersangkutan, yang dapat dianggap sebagai perluasan arti dari kata penganiayaan.
Oleh karena rumusan kejahatan ini
hanya disebut kualifikasinya saja, maka untuk mencari arti dari istilah itu,
terpaksa orang harus menafsirkan tentang apa arti dari kata penganiayaan.
Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum
pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan
sebagaimana yang diterangkan diatas, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain
(Satochid Kartanegara: 509).
Ternyata dalam doktrin penganiayaan
diberi arti yang tidak jauh berbeda dengan pengertian yang dirumuskan pertama
pada rancangan dari pasal yang bersangkutan sebagaimana yang sudah diterangkan diatas.
Jadi menurut doktrin penganiayaan
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut[7]:
a. Adanya
kesengajaan;
b. Adanya
perbuatan;
c. Adanya
akibat perbuatan (yang dituju), yakni :
1.
Rasa sakit pada tubuh,
dan atau
2.
Luka pada tubuh.
Unsur
yang pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga
berupa unsur objektif.
Kesengajaan
disini berupa sebagai maksud atau opzet als oogmerk (Wirjono Prodjodikoro,
1974: 71), disamping harus ditujukan pada akibatnya. Sifat kesengajaan yang
demikian lebih nyata lagi pada rumusan pada ayat 4.
Mengenai
unsur tingkah laku sangatlah bersifat abstrak, karena dengan istilah/kata
perbuatan saja, maka dalam bentuknya yang kongkret tak terbatas wujudnya, yang
pada umumnya wujud perbuaatan-perbuatan itu mengandung sifat kekerasan fisik dan
harus menimbulkan rasa sakit tubuh atau luka tubuh.
Luka
diartikan terdapatnya/terjadinya perubahan dari tubuh, atau menjadi lain dari
rupa semula sebelum perbuatan itu dilakukan, misalnya lecet pada kulit,
putusnya jari tangan, bengkak pada pipi dan lain sebagainya.
Sedangkan
rasa sakit tidak memerlukan adanya perubahan rupa pada tubuh, melainkan pada
tubuh timbul rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan.
Dalam
hal penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan pada dasarnya juga percobaan
dapat terjadi, dan sudah ada kepentingan hukum yang dibahayakan, tetapi bahaya
terhadap suatu kepentingan hukum di sini dipandang oleh pembentuk Undang-Undang
tidak sebesar bahaya pada kejahata lain seperti pembunuhan (Pasal 338),
pemdurian (pasal 362) dan lain sebagainya. Bahaya yang ditimbulkan merupakan
bahaya yang dipandang sebagai bahaya yang belum patut untuk dipidana. Oleh
karena itu terhadap percobaan penganiayaan biasa dan ringan tidak diancam
pidana oleh Undang-Undang.
2. Penganiayaan Ringan
Kejahatan yang diberi kualifikasi
sebagai penganiayaan ringan (lichte
michandeling) oleh Undang-Undang ialah penganiayaan yang dimuat dalam pasal
352, yang rumusannya sebagai berikut:
1) Kecuali yang tersebut
dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
larangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai
pengaiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda
paling banyak Rp. 4.500
2) Pidana dapat ditambah
sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya atau menjadi bawahannya.[8]
Penganiayaan bentuk tingan tidak
terdapat dalam WvS Belanda. Dengan dibentuknya penganiayaan ringan ke dalam
KUHP kita (Hindia Belanda) adalah sebagai perkecualian dari asas Concordantie.
a. Mengenai
batasan dan ancaman pidana bagi penganiayaan ringan.
b. Alasan
pemberat pidana pada penganiayaan ringan.
Batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang :
a. Bukan
berupa penganiayaan berencana (353);
b. Bukan
penganiayaan yang dilakukan:
1)
Terhadap ibu atau
bapaknya yang sah, istri atau anaknya;
2)
Terhadap pegawai negeri
yang sedang dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
3)
Dengan memasukkan bahan
yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan unutk dimakan atau diminum (pasal
363);
c. Tidak
(1) menimbukan penyakit atau (2) halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau (3) pencaharian.
Tiga unsur itulah, di mana unsur b dan c
terdiri dari beberapa alternative, yang harus dipenuhi untuk menetapkan suatu
penganiayaan sebagai penganiayaan ringan.
Dengan melihat unsur penganiayaan ringan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa penganiayaan bencana (pasal 353) dan
penganiayaan terhadap orang-orang yang memiliki kualitas tertentu dalam pasal
365, walaupun pada penganiayaan berencana itu tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
3. Penganiayaan Berencana
Pasal
353 mengenai penganiaan berencana merumuskan sebagai berikut:
(1) Penganiayaan dengan
rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun;
(2) Jika perbuatan itu
menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 tahun;
(3) Jika perbuatan itu
mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 tahun.[9]
Ada tiga macam penganiayaan berencana,
yakni :
a.
Penganiayaan berencana
yang tidak berakibat luka berat atau kematian;
b.
Penganiayaan berencana
yang berakibat luka berat;
c.
Penganiayaan berencana
yang berakibat kematian.
Kejahatan yang dirumuskan pasal 353
dalam praktik hukum diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berencana, oleh
sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voorbedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan. Direncanakan
lebih dulu (disingkat berencana), adalah bentuk khusus dari kesengajaan (opsettelijk) dan merupakan alas an
pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subyektif, dan juga terdapat
pada pembunuhan berencana (pasal 340).
Di dalam Memorie van Toelichting (MvT)
ada sedikit kterangan tentang direncanakan lebih dulu, ialah “suatu saat (tijdstip) untuk menimbang dengan tenang
(Hermien HK, 1984: 41). Keterangan itu belum jelas tentang segala sesuatu yang
perlu dalam hubungannya dengan saat untuk menimbang dengan tenang, selain
sekedar menunjukkan arti bahwa di dalam istilah itu terdapat suasana (batin)
yang tenang, bukan suasana (batin) yang menggambarkan tentang timbulnya
kehendak secara tiba-tiba.
Di dalam doktrin, banyak dibicarakan
oleh para ahli tentang istilah direncanakan lebih dulu, yang pada dasarnya
istilah ini mengandung pengertian yang harus memenuhi syarat-syarat yakni:
a. Pengambilan
keputusan untuk berbuat atas suatu kehendak dilakukan dalam suasana (batin)
yang tenang, (kebalikan dari pengambilan kepurusan secara tiba-tiba atau
tergesa-gesa tanpa dipikirkan maupun atas dirinya sendiri).
b. Sejak
timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan
pelaksanaan perbuaran ada tenggang waktu yang cukup. Dalam jarak tersedianya waktu
yang cukup itu, dapat digunakan olehnya untuk berpikir-pikir/memikirkan, yakni
antara lain:
1.
Perihal apakah perbuatan
yang telah menjadi keputusannya itu akan dilaksanakan dengan suatu
resiko/akibat yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, ataukah ia
tidak akan meneruskannya atau membatalkan niat jahatnya itu;
2.
Apabila ia sudah
berketepatan hati untuk melaksanakan kehendak yang telah menjadi keputusannya,
bagaimana cara dan dengan alat apa serta bilamanakah saat yang tepat untuk
melaksanakannya;
3.
Sebagaimana cara untuk
menghilangkan jejak, dan lain sebagainya, yang segala hal/sesuatu yang
dipikirkannya itu adalah segala sesuatu yang dapat diputuskannya sendiri
berhubungan dengan adanya suasana yang tenang tadi.
c. Dalam
melaksanakan perbuatan (yang telah menjadi keputusannya tadi) dilakukan dalam
suasana (batin) yang tenang. Maksudnya ketika melaksanakan perbuatan itu
suasana hati, pikiran (batin) tidak dikuasai oleh perasaan seperti emosi yang
tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.
4. Penganiayaan Berat
Penganiayaan yang oleh Undang-Undang
diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam pasal 354
yang rumusannya adalah sebagai berikut:
(1) Barang siapa sengaja
melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan
pidana penjara paling lama 8 tahun;
(2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 tahun.[10]
Dengan mengingat pengertian
penganiayaan seperti yang sudah diterangkan dibagian depan, dengan
menghubungkannya pada rumusan penganiayaan berat diatas, maka pada penganiayaan
berat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kesalahannya
: kesengajaan (Opzettelijk);
b. Perbuatan
: melukai berat;
c. Objeknya:
tubuh orang lain;
d. Akibat
: luka berat.
Perbuatan melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau
dapat disebut juga, menjadikan luka berat pada tubuh orang lain haruslah
dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan (Opzettelijk)
disini haruslah diartikan secara luas, artinya termasuk dalam tiga bentuk
kesengajaan. Pandangan ini didasarkan pada keterangan dalam MvT yang menyatakan
bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dirumuskan unsur kesengajaan, maka
kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan.
Penganiayaan berat hanya ada dua bentuk,
yakni :
a.
Penganiayaan berat biasa
(ayat 1), dan
b.
Penganiayaan berat yang
menimbulkan kematian (ayat 2).
5. Penganiayaan Ringan
Penganiayaan
berat berencana, dimuat dalam pasal 355, yang rumusannya sebagai berikut :
(1) Penganiayaan berat yang
dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan penjara paling lama
12;
(2) Jika perbuatan itu
menimbulkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 tahun.[11]
Dipandang dari sudut untuk terjadinya
penganiayaan berat berencana ini, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk
gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dengan penganiayaan
berencana (pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang
terjadi dalam penganiayaan berencana. Kedua berntuk penganiayaan ini harus
terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka
harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan
berencana.
6. Penganiayaan Terhadap
Orang-Orang Berkualitas Tertentu atau dengan Cara Tertentu yang Memberatkan
Macam penganiayaan yang dimaksudkan
adalah penganiayaan sebagaimana yang dimuat dalam pasal 356, yang rumusannya
adalah sebagai berikut :
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351,
352, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga :
1.
Bagi
yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau
anaknya;
2.
Jika
kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah;
3.
Jika
kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau
kejahatan untuk dimakan atau diminum.[12]
Bahwa bagi bentuk khusus dari penganiayaan
tersebut di atas, sifat yang memberatkan pidana pada penganiayaan biasa (pasal
351), penganiayaan berencana (pasal 353), penganiayaan berat (pasal 354) dan
penganiayaan berat berencana (pasal 355) terletak pada 2 hal, ialah :
a.
Pada kualitas pribadi korban
sebagai :
1)
Ibunya;
2)
Bapaknya yang sah;
3)
Istrinya;
4)
Anaknya;
5)
Pegawai negeri (a) ketika
atau (b) karena menjalankan tugasnya yang sah.
b.
Pada cara melakukan
penganiayaan, yakni dengan memberikan bahan untuk dimakan atau diminum yang
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan.
3.
Contoh Kasus Penganiayaan
Tindak penganiayaan dengan menggunakan
barang tajam yang dilakukan oleh seorang lelaki tersangka atas nama Darma
terhadap seorang laki-laki korban yang bernama Ape, dimana laki-laki tersangka
tersebut menganiaya lelaki korban dengan menggunakan barang tajamdan mengena
pada bagian pergelangan tangan kanan sebanyak 1 (satu) kali, sehingga korbang
mengalami luka potong dan mengeluarkan banyak darah, yang terjadi pada hari
senin 10 september 2012, sekitar jam 10.00 WITA, tepatnya di Kel. Paniki Bawah
Lk. X Kec. Mapanget Manado.[13]
Pelaku dijerat Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat No. 12 tahun 1951.
Masing-masing
Pasal tersebut berbunyi :
Pasal
352 ayat (1) KUHP : Penganiayaan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda
paling banyak Rp. 4.500.
Pasal
2 ayat (2) UU Darurat No. 12 Tahun 1951
: Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia
sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-,
of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh
tahun.
Kesimpulan
·
penganiayaan adalah
dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka. arrest HR (10-2-1902) yang
menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi
tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut,
maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang
guru atau orang tua memukul seorang anak” (Soenarto Soeradibroto, 1994:212).
Arrest HR lainnya (20-4-1925) menyatakan bahwa “dengan sengaja melukai tubuh
orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk mencapai
suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia
melewati batas-batas yang wajar.” (R. Tresna, 1959:222).
·
Kejahatan terhadap tubuh
yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dibagi menjadi 6 macam, yakni :
1.
Penganiayaan biasa;
2.
Penganiayaan ringan;
3.
Penganiayaan berencana;
4.
Penganiayan berat;
5.
Penganiayaan berat
berencana;
6.
Penganiayaan dengan cara
dan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu yang memberatkan.
[1]
Bambang Purnomo, Hukum Pidana, Jakarta
: PT. Bina Aksara, 1982, hlm. 9
[2]
Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Penerbit Amelia, Surabaya; 2005; hlm. 32
[3]
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh
dan Nyawa, PT RajaGrafindo Persada; Jakarta; 2004, hlm. 7
[4]
Ibid, hlm. 12
[5]Ibid, hlm. 13
[6]
Ibid, hlm. 7
[7]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakata; 2012, hlm. 105
[8]
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP,
cet. 16, Jakarta: Rajawali Pers, 2012 , hlm. 216
[9]
Ibid, hlm. 217
[10]
KUHP dan KUHAP beserta penjelasannya; Citra
Umbara, 2006, hlm. 109
[11]
Ibid, hlm. 110
[12]
Ibid, hlm. 110
[13] Berkas
Perkara, No.Pol. BP/22/X/2012/Reskrim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar