Selasa, 13 Mei 2014

Hak Atas Tanah

A.    Ruang Lingkup Hak Atas Tanah

Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4  ayat (1) UUPA, yaitu, “Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum”.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga Negara Indonesia maupun warna Negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum public.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :
1.      Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2.      Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada Hak Guna Usaha  adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.

B.     Pengertian Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai

1.      Hak Milik
Salah satu hak atas tanah yang termasuk dalam kategori bersifat primer adalah Hak Milik. Sebab hak milik merupakan hak primer yang paling utama, terkuat dan terpenuh, dibandingkan dengan hak-hak primer lainnya, seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau hak-hak lainnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (1)  dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut : “Hak milik adalah hak turut-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”
Yang dimaksud dengan “Hak Milik” adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi social, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. (Pasal 20 UUPA).
Menurut A.P. Parlindungan dalam bukunya Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud untuk pembedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh). Begitu pengtingnya hak milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik atas tanah tersebut.
Hal ini dapat terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972 tentang Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. Namun demikian, pada tahun 1993 pemerintah mengganti Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Penglimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Dalam Pasal 3 Permendagri Nomor 3 Tahun 1993 dinyatakan bahwa : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya member keputusan mengenai:
1.      Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha (dua hektar);
2.      Pemberian hak milik atas tanah nonpertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
3.      Pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program :
a.       Transmigrasi;
b.      Redistributor tanah;
c.       Konsolidasi tanah;
d.      Pendaftaran tanah secara missal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic.
Pemberian hak milik atas tanah, bukan saja diberikan kepada perseorangan, tetapi juga dapat diberikan kepada badan-badan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan. Dalam memberikan landasan hukum yang terkuat kepada badan-badan hukum untuk mendapat hak milik atas tanah, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 1963 tentang Pengajuan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, terkuat kepada badan-badan hukum yang disebut di bawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal 2, 3, dan 4 peraturan ini :
a.       Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara);
b.      Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (LN 1958 No. 139);
c.       Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
d.      Badan-badan social, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri kesejahteraan Sosial.
Sementara itu, untuk keperluan bank-bank pemerintah dapat diberikan penguasaan hak atas tanah dalam benruk hak milik. Pemberian hak milik tersebut sesuai Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1960, yaitu :
- I.M.A (S 1939-563);
- Indonesian vereningengen (S 1939-570);
- B.I.N (LN. 1952-21);
- B.T.N. (LN. 1955-137);
- B.N.I (LN. 1955-5);
- Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (LN. 1959-60);
- Bank Umum Negara (LN. 1959-85);
- B.D.N. (LN. 1960-39);
- Bank Rakyat Indonesia (LN 1951-180 yo 160-41);
- Bank Pembangunan Indonesia (LN 1960-65).
Sementara untuk badan-badan keagamaan agar mendapat pengakuan secara hukum atas kepemilikan atas tanah, maka hal itu akan ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri, sekarang Kepala Badan Nasional (BPN), setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Agama. Penunjukan kepada badan-badan keagamaan tersebut telah diberikan sejak tahun 1969, sebagai berikut :
1.      Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 22/DDA/69;
2.      Gereja Roma Katolik berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi No. 1/DDAT/Agr/67;
3.      SK Mendagri Nomor 14/DDA/1972 untuk persyarikatan Muhammadiyah;
4.      SK Mendagri Nomor 3/DDA/1972 untuk gereja-geraja Protestan di Indonesia dan lain-lain.
Memperhatikan beberapa ketentuan mengenai pemilikan hak atas tanah, terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah merupakaan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan yang sangat ketat. Perlindungan ketat dimaksud agar pemberian status agar pemberian status hak kepada perorangan harus dilakukan dengan seleksi yang ketat, agar betul-betul terjadi pemerataan atas status hak tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai terjadi jurang pemisah antara pemilik tanah yang luas dengan orang yang memiliki tanah yang sempit. Sebab hal ini berkaitan dengan eksistensi seseorang untuk mendapatkan status sebagai orang miskin dan tidak miskin. Konsep miskin dalam konteks hukum agrarian, konsep miskin lazim ditujukan bagi orang yang tidak mempunyai tanah atau orang yang mengerjakan tanah orang lain, atau yang paling popular disebut sebagai “petani gurem”.
Pemerintah menaruh perhatian yang sangat serius terhadap pemilikan atas tanah tersebut sehingga pemerintah tidak memperkenankan hak milik atas tanah itu beralih kepada orang asing karena perkawinan. Hal ini sesuai dengan surat edaran dari Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah tanggal 2 November 1965 Nomor 7850 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah Bukittinggi, dinyatakan bahwa juka seorang wanita warga Negara Indonesia itu kawin dengan warga Negara Asing terjadilah percampuran harta, sehingga berlakulah ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA, yaitu keharusan melepaskan haknya kepada warga Indonesia dalam tempo 1 tahun, oleh karena tanah itu diperlakukan sebagai dimiliki oleh orang asing sebagai akibat tidak dapat lagi dibedakan mana yang bagian warna Negara Indonesia dan orang asing, kecuali dapat dibuktikan bahwa : a). dia tidak meninggalkan kewarganegaraanya, dan b.) dia telah kawin di luar pencampuran harta, dan dibuktikan dengan suatu akta autentik (akta notaries) tentang adanya syarat-syarat perkawinan tersebut.

2.       Hak Guna Usaha
            Yang dimaksud dengan “Hak Guna Usaha”, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, guna peruasahaan pertanian, perikanan atau peternakan yang luasnya paling sedikit 5 hektare dengan ketentuan bila luasnya 25 Ha atau lebih, harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. (Pasal 28 dan Pasal 33 UUPA)
            Dalam rangka pemberian hak atas tanah dalam Undang-Undan Pokok Agraria, selain hak milik, maka Hak Guna Usaha merupakan bentuk hak atas tanah dapat diberikan kepada pemegang hak. Sedang syarat untuk dapat memiliki adalah :
a.       Warga Negara Indonesia.
b.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (pasal 30 ayat 1 Undang-undang pokok Agraria).
Apabila orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 tersebut di atas, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperolehhak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat (pasal 30 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria).
Dengan demikian, pengertian pada ayat 2 dari pasal tersebut di atas, mengandung arti bahwa hak guna usaha yang bersangkutan tidak dialihkan atau tidak dilepaskan dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-undang, maka hak tersebut menjadi hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak lain akan diindahkan menurut menurut ketentuan yang ada.
Dalam kaitannya dengan pasal 30 Undang-undang Pokok Agraria ini erat sekali hubungannya dengan kewarganegaraan seesorang, oleh karena hak guna usaha ini hanya untuk warga Indonesia atau badan hukum yang didirikan menutur peraturan perudang-undangan yang berlaku di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia, jadi hanya badan hukum yang dapat mempunyai hak guna usaha. Oleh karenanya tanah yang diatasnya melekat hak guna usaha yang jatuh kepada bukan warga Negara atau badan hukum Indonesia, maka jika tidak dialihkan dalam jangka saru tahun setelah tidak dipenuhi syarat-syarat tentang pemilikan, maka haknya menjadi hapus.
Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (pasal 33 Undang-undang Pokok Agraria). Maka dalam rangka jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan atas tanah dengan Hak Guna Usaha ini, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam pemberian hak guna usaha kepada pengusaha-pengusaha swasta nasional, yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1964 dan sebagian telah dicabut dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 2/Pert/OP/8/1969-8 Tahun 1969 sepanjang mengenai status tanah dengan hak guna usaha, selama hak tanggungan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Agraria belum ada peraturannya, maka hak guna usaha yang diberikan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotek atau credietverband, menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan (pasal 11).
Dalam rangka pemberian hak guna usaha ini, tanah-tanah yang dikecualikan adalah:
1.      Dikecualikan dari pemberian hak usaha baru, bagian-bagian tanah bekas areal perusahaan-perusahaan besar yang :
a.       Sudah merupakan perkampungan rakyat.
b.      Telah diusahakan oleh rakyat secara menetap.
c.       Diperlukan oleh pemerintah.
2.      Apabila di antara tanah-tanah tersebut di atas ada yang perlu dimasukkan kedalam areal perusahaan kebun yang diberikan denga hak guna usaha, maka tentang hak guna usaha tersebut penyelesaiannya harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.

3.      Hak Guna Bangunan
Yang dimaksud dengan “Hak Guna Bangunan” adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dalam waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. (Pasal 35 bersambung pasal 39 UUPA)
Sebagai sifat-sifat dan cirri-ciri hak guna bangunan dapat disebutkan antara lain :
a.       Sungguhpun tidak sekuat hak milik, namun sebagaimana halnya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan tergolong hak-hak yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan dapat dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu maka Hak Guna Bangunan termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan (pasal 38 UUPA dan pasal 10 PP No. 10 Tahun 1971);
b.      Hak Guna Bangunan dapat beralih, artinya dapat diwaris oleh ahli waris yang mempunyai hak (pasal 35 ayat 1);
c.       Sebagaimana halnya dengan Hak guna usaha, maka hak guna bangunan jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir (pasal 35 ayat 1 dan 2);
d.      Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani tanggungan, hipotik atau Credietverband (pasal 39).;
e.       Hak guna bangunan dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu bisa dijual, ditukarkan dengan benda lain, dehibahkan atau diberikan dengan wasiat (di “legat” kan). Pasal 35 ayat 3)
f.       Hak guna bangunan dapat juga dilepaskan oleh yang mempunyai hingga tanahnya menjadi tanah Negara (pasal 40 huruf c).



4.      Hak Pakai
            Yang dimaksud dengan “Hak Pakai” adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang member wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian Pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini:
Hak pakai ini dapat diberikan:
1.      Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2.      Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau jasa berupa apapun.
Pemberian Hak Pakai ini tidak boleh disertakan syarat-syarat yang mengandung unsure-unsur pemerasan.
Dengan demikian, maka sifat-sifat dari Hak Pakai :
1.      Hak Pakai atas tanah bangunan maupun tanah pertanian.
2.      Dapat diberikan oleh Pemerintah maupun oleh si pemilik tanah.
3.      Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
4.      Hak Pakai dapat diberikan dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
5.      Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dapat izin Pejabat yang berwenang, apabila penggunaan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan apabila mengenai tanah milik.
6.      Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
7.      Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung pemerasan.

C.    Hak Atas Tanah Yang Bersifat Sementara
            Ketentuan Umum. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA, yang macam-macam haknya disebutkan dalam pasal 52 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapuskan karena mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat pemerasan
1.      Hak Gadai
Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau “penebusan” tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Pasal 1151 KUH Perdata, Perjanjian Gadai harus dibuktikan dengan alat yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian pokoknya.
2.      Hak Usaha Bagi Hasil
Hak usaha bagi hasil muncul karena adanya perjanjian bagi hasil antara pihak pemilik tanah dengan penggarap dengan imbangan hasil yang telah disepakati. Perjanjian bagi hasil menurut UU No. 2 Tahun 1960 adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan hukum, yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, yang hasilnya dibagi antara kedua belah pihak menurut imbanganan yang disetujui sebelumnya.

3.      Hak Menumpang
Hak menumpang adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas tanah pekarangan orang lain (istilah menumpang = mager sari). Hak menumpang ini sebenarnya termasuk hak pakai, tetapi pada hak menumpang hubungan hukumnya lemah, mudah diputuskan oleh pemilik tanah pekarangan, karena dalam hak menumpang ini tidak dikenal bayaran.
Subjek hak menumpang : Warga Negara Indonesia.
Sifat dan cirri-ciri : Hak yang sangat lemah; tidak ada pembayaran sewa; sewaktu-waktu jika si pemilik tanah memerlukan tanahnya hak tersebut hapus, turun-temurun; tidak dapat dialihkan; terjadinya hak menumpang; karena perjanjian (izin dari pemilik tanah). Jangka waktu hak menumpang: tidak tertentu, tergantung si pemilik tanah atau rumah.
Hapusnya hak penumpang yang terkena pesangon, dicabut untuk kepentingan umum, tanahnya musnah.
4.      Hak Sewa Bangunan
Pengertian hak sewa bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.”
Hak sewa disediakan untuk bangunan-bangunan yang kiranya meliputi bangunan-bangunan untuk perumahan, tempat penyimpanan barang, gedung-gedung-gedung pabrik dan lain sebagainya. Hak sewa hanya boleh diadakan dari hak milik, di atas tanah Negara tidak boleh didirikan hak sewa. (Pasal 20-27 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria)
5.      Hak Sewa tanah Pertanian
Hak sewa tanah pertanian merupakan hak yang memberikan kewenangan untuk menguasai dan mengusahakan tanah pertanian kepunyaan orang lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 UUPA maka hak sewa tanah pertanian bertentangan dengan prinsip bahwa tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif sendiri oleh pemilik sehingga hak sewa tanah pertanian memungkinkan terjadinya pemerasan terhadap orang atau golongan lain khususnya yang tidak memiliki tanah pertanian.
Hak sewa tanah pertanian termasuk dak atas tanah yang bersifat sementara, artinya pada suatu waktu hak ini sebagai lembaga hukum tidak akan ada lagi. Bersifat sementara karena dianggap tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional.

D.    Pembebanan Hak Milik dan Hapusnya Hak Milik
            - Pembebanan Hak Milik
            Menurut pasal 25 UUPA, Hak Milik atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996).
            Syarat sah terjadinya Hak Tanggungan harus memenuhi 3 unsur yang bersifat kumulatif, yaitu:
1.      Adanya perjanjian utang-piutang antara pemilik tanah sebagai debitor dengan pihak lain (bank) sebagai kreditor, yang dapat dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta di bawah tangan.
2.      Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai perjanjian ikutan (tambahan). Adanya penyerahan Hak Milik atas tanah sebagai jaminan utang dari debitor, harus dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
3.      Adanya Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Akta pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan Kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
Prosedur pembebanan Hak Milik dengan Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 jo. Pasal 44 PP No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 114 sampai dengan Pasal 119 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 tahun 1997.

- Hapusnya Hak Milik
Pasal 27 UUPA menetapkan factor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah dan tanahnya jatuh pada Negara, yaitu :
1.      Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2.      Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3.      Karena diterlantarkan;
4.      Karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah;
5.      Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah.
Hak Milik atas tanah juga dapat dihapus karena tanahnya musnah, misalnya karena adanya bencana alam.

Adapun syarat-syarat pencabutan Hak Milik atas tanah oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
1.      Tanah yang bersangkutan benar-benar diperlukan untuk kepentingan umum;
2.      Pelaksanaan Pencabutan Hak atas tanah;
3.      Ganti kerugian pencabutan hak atas tanah.


E.     Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Guna Usaha
            Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk :
a.       Membayar uang pemasukan kepada Negara;
b.      Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
c.       Mengusaha sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan criteria yang diterapkan oleh instansi teknis;
d.      Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e.       Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.       Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai Hak Guna Usaha;
g.      Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Udaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut dihapus;
h.      Menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan pengusahaan atas tanah Hak Guna Usaha kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 12).
Hak pemegang Hak Guna Usaha, berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 Tahun 1996, pemegang hak Guna Usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha dengan mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya.

F.     Hapusnya Hak Guna Usaha
            Hak Guna Usaha hapus karena :
a.       Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan;
b.      Dibatalkannya hak oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir (karena : tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan putusan pengadilan yang telah mempunyai ketentuan hukum tetap);
c.       Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum waktunya berakhir;
d.      Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1991;
e.       Diterlantarkan;
f.       Tanahnya musnah.
Dengan hapusnya Hak Guna Usaha mengakibatkan tanah menjadi tanah Negara (Pasal 17).

G.    Pembebanan Hak Guna Usaha
Sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Buku IV Hak Atas Tanah Bab II Bagian keenam, Pembebanan Hak Guna Usaha :
(1)   Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan uang dengan dibebani Hak Tanggungan
(2)   Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Usaha.

DAFTAR PUSTAKA
Muchsin, Imam Koewahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia, dalam perspektif sejarah, Refika Aditama, Bandung, 2010
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas tanah, PT. Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2009
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Ali  Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002
Sudaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni, Bandung, 1995
Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011
Kelompok KARISMA Publishing, Seri Hukum dan Perundang-undangan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, SL Media, Tangerang
I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia,  Rineka Cipta, Jakarta, 1994
C.S.T. Kansil, Christine S. T. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, Undang-undang No.5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

Senin, 14 April 2014

Muhammad Rasyid Ridha

a.      Biografi
 Nama lengkap Rasyid Ridha ialah Muhammad Rasyid ibn Ali Ridha ibn Muhammad Syams al-Din al-Qalmuby. Ia dilahirkan di Desa Qalamun, tidak jauh dari Tripoli, daerah Syria (Syam) pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H (1865 M). menurut suatu keterangan, silsilah keturunan nasabnya masih bersambung kepada cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husein Ibn Ali ibn Abi Thalib. Oleh karena itulah, Muhammad Rasyid Ridha memakai gelar al-Sayyid di depan namanya.
Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern.
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tidak terwujud. Sewaktu Muhammad ‘Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid utama al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, al-Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, antara lain, mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayyul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad ‘Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, ‘Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar. Muhammad ‘Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An-Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar)  dan yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha menulis dan memuat karya-karya yang menentang pemerintahan absolut kerajaan Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal di Suez.

b. Ide-ide Pembaruan Rasyid Ridha
1. Bid’ah dan Faham Fatalisme: Penyebab Kemunduran Umat Islam
Hampir tidak jauh berbeda pemikiran Rasyid Ridha mengenai pembaruannya dengan para gurunya, yaitu Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam tentang ajaran-ajaran agama mengalami kesalahan dan perbuatan-perbuatan mereka dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam yang hakiki. Ke dalam tubuh Islam telah banyak masuk bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat.
Menurut Rasyid Ridha, di antara bid’ah-bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Bid’ah lain yang ditentang keras oleh Rasyid Ridha ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentignya hidup duniawi, tentang tawakkal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syekh dan wali.
Umat, demikian menurut Rasyid Ridha, harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadat dan sederhana dalam muamalatnya. Yang meruwetkan ajaran Islam, adalah justeru sunah-sunah yang ditambahkan hingga mengkaburkan antara wajib dan sunnah. Dalam soal muamalah, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan syura. Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqh mengenai hidup kemasyarakatan, tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zamannya.
Terhadap sikap fanatik di zamannya ia menganjurkan supaya toleransi bermazhab dihidupkan. Dalam hal-hal fundamental-lah yang perlu dipertahankan, yaitu persatuan umat. Selanjutnya ia menganjurkan pembaruan dalam bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum.
Sebagaimana disebutkan di atas, Rasyid Ridla mengakui terdapat faham fatalisme di kalangan umat Islam. Menurutnya, bahwa salah satu dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam ialah faham fatalisme (‘aqidah al-jabr) itu. Selanjutnya salah satu sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah faham dinamis yang terdapat di kalangan mereka. Islam sebenarnya mengandung ajaran dinamis. Orang Islam disuruh bersikap aktif. Dinamis dan sikap aktif itu terkandung dalam kata jihad; jihad dalam arti berusaha keras, dan sedia memberi pengorbanan, harta bahkan juga jiwa. Faham jihad inilah yang menyebabkan umat Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.
2. Pembaruan Rasyid Ridha dalam Masalah Ijtihad
Sebagaimana Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla sangat menghargai akal manusia, walaupun penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan gurunya. Akal dapat dipakai dalam menafsirkan ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah. Ijtihad dalam soal ibadah tidak lagi diperlukan. Ijtihad (fungsi eksplorasi akal) dapat dipergunakan terhadap ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara langsung dalam al-Qur’an dan hadits. Di sinilah, menurut Rasyid Ridla, terletak dinamika Islam.
Lebih jauh, mengenai ijtihad, Rasyid Ridla berkata:
“Tidak ada ishlah (pembaruan) kecuali dengan dakwah; tidak ada dakwah kecuali dengan hujjah (argumentasi yang dapat diterima secara rasional); dan tidak ada hujjah dalam hal mengikut secara buta (taqlid). Yang mesti ada adalah tertutupnya pintu taqlid buta, dan terbukanya pintu bagi faham rasional yang argumentatif adalah awal dari setiap upaya ishlah. Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal yang tidak disertai ilmu dan pemahaman.”
Mengenai ilmu pengetahuan, menurut Rasyid Ridla, peradaban Barat modern didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Barat maju, demikian menurut Rasyid Ridla, karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
3. Pan-Islamisme
Sebagaimana al-Afghani, Rasyid Ridla juga melihat perlunya dihidupkan kesatuan umat Islam. Menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud oleh beliau bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan gerakan nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda. Ia menganggap bahwa faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam. Persaudaraan dalam islam tidak kenal pada perbedaan bangsa dan bahasa, bahkan tidak kenal perbedaan tanah air.
Rasyid Ridla tidak memberikan format yang jelas bagi bentuk kesatuan yang dimaksud. Ia hanya menawarkan kekhalifahan yang sekaligus mengemban fungsi sebagai kepala negara. Khalifah, menurutnya, karena mempunyai kekuasaan legislatif maka harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah rakyat.
Untuk mewujudkan kesatuan umat itu, ia pada mulanya meletakkan harapan pada kerajaan Utsmani, tetapi harapan itu hilang setelah Mustafa Kamal berkuasa di Istambul dan kemudian menghapuskan sistem pemerintahan kekhalifahan. Selanjutnya ia meletakkan harapan pada kerajaan Saudi Arabia setelah raja Abd Al-Aziz dapat merebut kekuasaan di Semenanjung Arabia.

Senin, 06 Januari 2014

Muhammad Abduh


             a.      Biografi
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide Jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh, meskipun dalam beberapa hal di antara murid dan guru ini terdapat juga perbedaan.
Abduh dilahirkan pada 1849 M di sebuah desa pertanian di lembah Sungai Nil. Ayahnya, Abduh Hasan Khairullah, adalah seorang keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir. Adapun ibunya adalah seorang Arab yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga Ummar Ibn al-Khattab, khalifah kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Kedua keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa panda karena dibebani pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa waktu, orang tua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesuliran. Abduh sendiri lahir dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.
Pendidikan dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca dan menulis serta ilmu-ilmu keIslaman. Selanjutnya, ia belajar menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun, Abduh berhasil menghafal Al-Qur’an dengan sempurna. Selanjutnya, dalam usia lima belas tahun ia dikirim ayahnya ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar ilmu agama. Namun metode yang dikembangkan di sini sangat membosankan Abduh. Ia merasa ridak memperoleh apa-apa dari madrasah ini dan meninggalkan Thantha untuk pulang kampong. Setahun berikutnya, dalam usia enambelas tahun, Abduh dikawinkan orang tuanya. Namun demikian, ayahnya tetap mengharapkannya melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Thantha. Abduh tidak menolak kemauan ayahnya. Akan tetapi, ia tidak berangkat ke Thanta, karena sudah tidak semangat melihat cara belajar yang membosankannya. Akhirnya ia berangkat ke sebuah desa bernama Kanisa Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Disini ia bertemu dengan Syekh Darwisy, seorang penganut tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam. Syekh Darwisyah yang mengubah hidupnya dari seorang yang frustasi pada sekolah menjadi seorang yang haus ilmu. Salah satu keistimewaan yang diajarkan  Syekh Darwisy adalah ia mengajak Abduh untuk berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Ia mengajak Abduh untuk menelaah suatu kitab, lalu menguraikan apa maksudnya. Dengan cara ini, dahaga ilmu Abduh merasa terpuaskan, karena ia dapat menyampaikan hal-hal yang menjadi pemikirannya dan memperoleh jawaban yang diharapkannya. Abduh mengakui sendiri pengaruh Syekh Darwisy ini terhadap dirinya, sebagaimana diungkapkannya :
“Saya tidak mendapati adanya keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang harus dipilih, kecuali Syekh (maksudnya Syekh Darwisy) yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan literalisme menuju kebebasan keimanan yang sejati kepada Tuhan… beliau adalah kunci kebahagiaan saya… ia mengembalikan bagian dari diri saya yang pernah hilang dan membukakan kepada saya apa yang masih tersembunyi didalam diri saya.”
Setelah memperoleh “dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Thantha untuk meneruskan pelajaran. Tamat dari Thantha barulah ia masuk Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 1866. Ketika kuliah di al-Azhar, Sayyid Jamaluddin datang ke Mesir dalam perjalanannya menuju Istanbul kesempatan ini digunakan Abduh untuk berdiskusi dan menimbah ilmu pengetahuan dari tokoh pemersatu umat Islam ini pada pertemuan pertama ini Abduh sangat terkesan dengan kepribadian dan kedalaman pengetahuan Jamaluddin. Karena itu, ketika pada tahun 1871 Jamaluddin datang kembali ke Mesir, Abduh tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid setia Jamaluddin. Ia belajar filsafat pada Jamaluddin disamping mulai menulis karangan-karangan untuk surat kabar al-Ahram sebuah harian yang baru saja terbit waktu itu.
Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada tahun 1877. Selanjutnya, ia mengembangkan ilmunya dengan mengajar di Dar Al-‘Ulum, disamping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah karangan Ibn Khaldun dan History of Civilization in Europe yang sudah diterjemahkan oleh al-Thahthawi.
Selain mengajar, Abduh juga terlibat aktif dalam gerakan politik. Ia membantu Jamaluddin dalam menentang penguasa, Khedewi Taufik. Akibatnya, Abduh dibuang keluar Kairo setelah sebelumnya pada tahun 1879 Jamaluddin di usir dari Mesir. Namun setahun kemudian, Abduh di izinkan kembali ke Kairo dan diangkat menjadi redaktur untuk surat kabar al-Waqa’i. Al-Mishira. Abduh tidak hanya membuat berita-berita perkembangan terkini Mesir, tetapi juga artikel-artikel tentang social, politik, pendidikan, hukum, kebudayaan dan agama. Dibawah kepemimpinan Abduh surat kabar ini sangat berpengaruh dalam bentuk opini public, terutama semangat nasionalisme Mesir dan penentangan terhadap penguasaan Mesir atas Inggris. Selain itu, penguasa Mesir ketika itu sudah sangat jauh dalam kebijakan yang sangat pro Inggris.
Kondisi demikian makin membangkitkan semangat nasionalisme Abduh dan menanamkan kebenciannya pada Inggris. Ia ikut mendukung gerakan pemberontakan kaum nasionalis Mesir di bawah kepemimpinan Urabi Pasha. Namun pemberontakan ini gagal dan akibatnya Abduh diasingkan dari Mesir pada 1882. Dalam keadaan demikian, Abduh memperoleh undangan dari Jamaluddin untuk bergabung bersamanya di Paris. Mereka menggerekkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa (tali yang Kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam, melepaskan mereka dari perpecahan dan cengkeraman bangsa-bangsa barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal yang menggerakkan umat Islam. Namun jurnal ini bertahan hanya delapan bulan dan organisasinya pun bubar. Abduh kemudian kembali ke Beirut dan menjadi guru di sebuah sekolah Muslim. Ia juga menyampaikan berbagai ceramah. Salah satu ceramahnya di Beirut yang dibukukan adalah Risalah al-Tawhid.
Pada tahun 1888, ia diizinkan pulang ke Mesir. Mengingat pengaruhnya yang luar biasa di kalanngan anak muda rogresif, ia tidak diizinkan mengajar. Ia diangkat menjadi hakim di pengadilan penduduk pribumi. Tahun 1895, ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Administratif Universitas al-Azhar. Lalu pada tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Besar Mesir. Di dua jabatan ini, ia banyak melakukan perubahan dan pembaruan. Untuk al-Azhar, ia memasukkan ilmu-ilmu modern pengetahuan umum dan filsafat, karena sebelumnya terdapat dualisme system pendidikan Mesir; pendidikan tradisionalisme madrasah yang menolak pelajaran-pelajaran umum dan pendidikan modern berbasis Barat yang tidak mengajarkan ilmu agama. Abduh berusaha menghapuskan dikotomi ini. Sementara untuk jabatan Mufti, Abduh mengusulkan berbagai perubahan system pengadilan agama di Mesir.
Abduh meninggal pada 11 Juli 1905. Jenazahnya diiringi oleh ribuan orang yang mencintainya. Bukan hanya orang muslim, orang-orang yahudi dan Nasrani pun ikut berbondong-bondong member pernghormatan terakhir pada tokoh penggerak pembaharu Islam ini.

b.      Pemikiran Politik
Seperti diketahui, pada masa Abduh dunia Islam mengalami penjajahan dan kolonialisasi oleh Negara-negara barat. Hampir tidak ada wilayah Islam yang terbebas dari penjajahan barat. Mesir merupakan Negara Abduh juga mengalami penjajahan dari Perancis dan Inggris. Karena itu, Abduh juga merasa terpanggil untuk menentang kehadiran kolonialisme Barat di negaranya dan di dunia Islam pada umumnya.
Menurut Abduh, kehadiran bangsa-bangsa barat tidak hanya menguasai dunia Islam, tetapi juga mengembangkan system nilai mereka, seperti dalam bidang social, politik, budaya dan hukum, terhadap umat Islam. Dalam lapangan social politik, bangsa-bangsa barat berusaha memaksakan kehendak mereka. Di bidang pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan barat memisahkan antara pendidikan tradisionalis agama dan pendidikan modern barat. Banyak diantara pemuda Mesir yang terpengaruh pada model pendidikan barat dan akhirnya tercabut dari nilai-nilai social budaya mereka sendiri. Mereka lebih mengagungkan pola pemikiran dan kebuadayaan barat yang tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Demikian juga dalam bidang hukum, banyak hukum-hukum barat yang diadopsi oleh dunia Islam.
Kepada penguasa Muslim despotis, Abduh juga mengarahkan kecaman pedasnya dan memandang mereka sebagai antek-antek imperialis barat yang berkonpirasi menindas rakyat. Menurutnya, pemimpin Muslim menyandang gelar tinggi seperti sultan atau pangeran, hidup mewah dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintahan asing non-Muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin seperti ini menjarah kekayaan rakyat demi kesenangan pribadi dan tidak menegakkan keadilan. Pemimpin seperti ini, lanjut Abduh, menjadi penyebab pula bagi kehancuran akhlak di dalam masyarakat. Mereka menjadi pemimpin yang otoriter.
Kondisi ini diperparah pula oleh kebodohan para ahli fiqh. Mereka tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sehingga tidak mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Mereka menjadi alat justifikasi bagi penguasa untuk kepentingan-kepentingan penguasa itu sendiri. Para penguasa mendesak para ahli fiqh untuk mengeluarkan fatwah yang menguntungkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Kondisi ini menurut Abduh adalah karena umat Islam sudah terasuki oleh paham-paham keagamaan yang berasal dari luar Islam. Umat Islam sudak dijangkiti oleh paham jumud (beku, statis), sehingga tidak mau berpikir dinamis mencapai kemajuan. Menurut Abduh, paham ini dibawa oleh orang-orang non-Arab yang masuk Islam yang telah berhasil merampas kekuasaan politik tertinggi dalam umat Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam, paham-paham dan adat istiadat mereka ikut berpengaruh dikalangan umat Islam yang mereka kuasai. Mereka adalah orang-orang yang kurang mementingkan akal dan tidak menghargai ilmu pengetahuan. Demi kepentingan mereka sendiri, penguasa Turki mendorong penerimaan mutlak terhadap kekuasaan dan mengekang penggunaan nalar secara bebas. Pengetahuan adalah musuh mereka, karena pengetahuan akan membukakan mata rakyat terhadap buruknya perilaku para penguasa.
Supaya mereka dapat berkuasa lebih lama lagi, maka mengembangkan ajaran-pajaran yang membuat manusia statis. Mereka mengajarkan pemujaan yang berlebih kepada para wali dan syekh-syekh tarekat, taklid buta pada pada ulama, konsep tawakal yang salah dan paham fatalism. Akibatnya, akal pikiran menjadi tidak berjalan dan paham jumud semakin berkembang di dunia Islam. Kekacauan intelektual terjadi di kalangan kaum muslim di bawah perlindungan para penguasa yang bodoh. Islam disalahgunakan oleh para penguasanya.
Untuk mendobrak kebekuan berpikir ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya dan membersihkan segala macam bentuk bid’ah dan khurafat. Umat Islam harus berani membuka pintu ijtihad untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi. Mereka harus melakukan interpretasi ulang terhadap pendapat ulama masa lalu yang mungkin tidak sejalan dengan masa yang sekarang. Pendapat ulama tidaklah mutlak benar dan mengikat. Menurut Abduh, ajaran Islam terbagi dua, yaitu masalah ibadah yang tidak banyak memerlukan ijtihad dan masalah muamalah (social kemasyarakatan) yang menjadi lapangan ijtihad. Terhadap masalah yang kedua ini umat Islam tidak perlu mempertahankan pendapat ulama masa lalu, apabila tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Pintu ijtihad harus dibuka seluas-luasnya terhadap masalah ini dan taklid –yang menjadi sumber kemunduran umat islam –harus diperangi.
Selain menggalakkan berpikir kritis dan pengembangan ijtihad, Abduh memandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintahan yang konstitusional. Untuk itu, Abduh menekankan perlunya lembaga perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Namun Abduh tidak sependapat dengan gurunya Jamaluddin yang menghendaki revolusi untuk pembentukan dewan perwakilan tersebut. Ia menginginkan cara-cara evolusioner untuk mewujudkannya, karena situasi dan kondisi masyarakat Mesr masih belum mendukung untuk itu. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan, menurut Abduh, adalah melakukan proses pencerdasan bagi masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai warga Negara. Proses realisasi gagasan pembentukan dewan perwakilan sebaiknya dilakukan secara bertahap. Setiaknya, diperlukan waktu sekitar lima belas tahun untuk melatih rakyat untuk mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka secara bertanggung jawab. Untuk ini, Abduh menyatakan bahwa umat Islam tidak salah bila menirut Barat, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pandangan Abduh ini terlihat moderat. Ia tidak serta-merta menolak barat, meskipun ia menganggap barat adalah penjajah dunia Islam. Nilai-nilai demokrasi yang menghendaki adanya control terhadap kekuasaan –dan diwujudkan di antaranya melalui lembaga perwakilan –dapat diterimanya. Namun demikian, Abduh sangat menolak umat Islam yang mencoba mencari system hukum yang tidak sejalan dengan tradisi budaya dan masyarakat. Dalam hal ini, Abduh menolak adopsi system hukum barat untuk umat Islam. Menurut Abduh, hukum yang akan dijalankan untuk masyarakat haruslah yang sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri. Hukum barat hanya sesuai dengan kepribadian dan identitas masyarakat barat yang sangat menjunjung tinggi semangat liberalism. Kalau ini diterapkan untuk masyarakat muslim, maka mereka akan kehilangan identitas sebagai masyarakat yang religious. Ini akan membuat masyarakat muslim mengalami keterpecahan. Dalam hal ini, Abduh mengkritik Muhammad Ali dan para pemimpin penggantinya di Mesir yang atas nama pembaruan, mencangkokkan hukum dan lembaga-lembaga hukum yang berasal dari barat untuk masyarakat Mesir. Hukum yang ditanamkan ditanah lain tidak akan berjalan dengan cara yang sama, bahkan akan membuat keadaan lebih buruk. Hukum-hukum baru yang diambil dari Eropa sama sekali tidak akan berfungsi sebagai hukum, sebab tidak seorangpun yang menghormati dan mematuhi hukum. Mesir sedang menjadi masyarakat yang paling buruk, masyarakat tanpa hukum.
Sejalan dengan pandangan Abduh tentang pembatasan kekuasaan kepala Negara, ia menolak adanya kekuasaan keagamaan. Baginya, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau suatu kelompok orang untuk menindak orang lain atas dasar mandate agama atau dari Tuhan. Islam tidak membenarkan campur tangan orang lain, sekalipun penguasa dalam urusan kehidupan keagamaan orang lain. Islam juga tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pendapat penafsirannya tentang agama kepada orang lain. Bagi Abduh, pemimpin Negara adalah penguasa sipil yang diangkan dan diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu. Karenanya, ABduh menolak paham  penguasa sebagai Zhill Allah fi al-ardh (baying-bayang Allah di muka bumi), sebagaimana pandangan pemikir Muslim Abad Klasid dan pertengahan.
Bagi Abduh, kepala Negara adalah pengusa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, bukan oleh Tuhan. Abduh menerima ide-ide barat tentang demokrasi yang menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya adalah milik rakyat dan penguasa hanya menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Karena itu, Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila ia bertindak despotic dan tidak adil, serta kesejahteraan rakyat menuntut hal ini.
Pandangan Abduh tentang hubungan Agama dan politik dituangkannya dalam program Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya. Dalam rumusan tersebut menyatakan bahwa Partai Nasional adalah partai politik, bukan partai Agama, yang anggotanya terdiri atas orang-orang dari berbagai kepercayaan dan mazhab, termasuk orang Kristen dan Yahudi, serta semua yang bercocoktanam di bumi Mesir dan berbicara bahasa Mesir, karena partai ini tidak melihat perbedaan keyakinan. Partai didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu bersaudara satu sama lain, dan bahwa hak-hak mereka dalam politik dan muka hukum itu sama.
Gagasan Abduh demikian dinilai sangat berani dan membuka jalan bagi pemikiran-pemikiran maju dan liberal dalam kontsrelasi pemikiran dan perkembangan politik di Mesir. Abduh telah merambah sesuatu yang selama ini dianggap sacral oleh sebagian masyarakat Islam, terutama di mesir. Dalam Agamurid dan pengukutnya seperti Sa’ad Zaghlul, Lutfi al-Sayid, dan Muhammad Husein Haykal.

Minggu, 05 Januari 2014

Jamaluddin al-Afghani


a.      Biografi
Sayyid Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang tokoh penting penggerak pembaruan dan kebangkitan Islam abad ke-19. Ia desenangi sekaligus dimusuhi oleh dunia Islam sendiri. Ia disenangi karena aktivitas dan gagasan politiknya menjadi inspirasi  bagi upaya pembebasan umat Islam dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Sebaliknya, ia dimusuhi karena menjadi batu sandungan bagi penguasa-penguasa dunia Islam yang orienter, korup dan despotis ketika itu. Jamaluddin dianggap membahayakan kekuasaan mereka.
Jamaluddin dilahirkan pada 1838M. ayahnya bernama Sayyid Syafdar, seorang penganut mazhab Hanafi. Konon Jamaluddin adalah keturunan Rasulullah. Silsilah keluarganya sampai kepada Nabi SAW melalui Husein ibn Ali ibn Abi Thalib, suami Fathimah putri Beliau. Terdapat perbedaan tentang daerah kelahirannya. Sebagian orang mengklaim bahwa ia adalah orang Iran, namun ia menyembunyikan ke-syi’ah-annya (taqiyah) di tengah-tengah penguasa dan masyarakat Muslim yang mayoritas menganut Sunni. Sebagian lain menyatakan bahwa ia adalah orang Afganistan, sebagaimana yang tercantum di belakang namanya. Jamaluddin adalah seorang pengikut sebuah tarekat sufi. Jamaluddin al-Afghani sangat zuhud dan tidak mau menikah. Ia merupakan anggota dewan keilmuan di Istanah (Turki).
Menurut L. Stoddard, Jamaluddin dilahirkan di Asadabad dekat Hamazan di Persia, namun ia berkebangsaan Afganistan, bukan Persia, seperti dinyatakan dalam namanya. Gelar “Sayyid” menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Rasulullah dan darahnya bercampur dengan darah Arab. Sementara orang Syi’ah mengklaim Jamaluddin berkebangsaan Iran (Persia). Muhammad Hasan I’Timaduddin, salah seorang pengikut Syi’ah seperti dikutip oleh Hamka, menegaskan Jamaluddin al-Afghani sebagai orang Iran, dilahirkan di Asadabad di wilayah Iran. Ia menolak pendapat tentang Jamaluddin berkebangsaan Afghanistan. Bahkan tokoh Syi’ah lainnya, Murtadha Mutahhari, tidak mau menggunakan “al-Afghani” dibelakang namanya. Ia menulis namanya dengan Sayyid Jamaluddin Asabadadi. Muthahhari pun lebih banyak menggunakan kata “Sayyid” dalam bukunya dan enggan menggunakan kata “al-Afghani”.
            Terlepas dari perbedaan asal usul ini, yang jelas Jamaluddin memegang peranan penting dalam pergerakan politik Islam modern. Ia dikenal luas di dunia Islam Sunni dan Syi’ah serta sangat berpengaruh terhadap dunia Islam, terutama karena perhatiannya yang serius terhadap kolonialisme bangsa-bangsa Barat dan absolutism penguasa-penguasa Muslim.
            Sejak kecil, Jamaluddin telah menekuni berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, Hadis, tasawuf dan filsafat Islam. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Sejak remaja ia mulai menekuni filsafat dan ilmu eksakta menurut system pelajaran Eropa modern. Tentang filsafat ia belajar dari tokoh-tokoh ulama Syi’ah, seperti Syekh Murtadha Anshari,Mulla Husein al-Hamadi, Sayyid Ahmad Teherani dan Sayyid Habbubi.
            Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke India dan tinggal di sana selama setahun. Dari India ia bertolak ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia kembali ke Afganistan. Pulang dari Mekkah, saat berusia 22 tahun, ia sudah diangkat menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afganistan. Setelah Mohammad Khan meninggal dunia pada 1864, penggantinya Sir Ali Khan mengangkat Jamaluddin sebagai penasehatnya. Setelah itu, ia pun diangkat menjadi perdana menteri pada pemerintahan Muhammad Azham Khan. Namun ini tidak lama, karena Azham Khan akhirnya dijaruhkan oleh kelompok oposisi yang didukung Inggris, yang saat itu sudah mulai menancapkan kekuasaannya di negeri itu. Untuk menghindari pengaruh buruk yang mungkin akan menimpanya, Jamaluddin bertolak kembali ke India dan pergi haji lagi tahun 1869.

b.      Ide-ide Politik
Dari pengalaman melakukan kunjungan ke berbagai Negara Islam, Jamaluddin melihat kenyataan bahwa dunia Islam ketika itu didominasi oleh pemerintahan yang otokrasi dan absolute. Penguasa-penguasa di dunia Islam menjalankan kekuasaannya sebagaimana dikehendakinya saja, tanpa terikat pada konstitusi. Mereka juga tidak mau membuka diri melakukan musyawarah dalam pemerintahan. Karena itu, untuk membangun pemerintahan yang bersih dan kuat, yang pertama kali dibangun adalah masyarakatnya. Harus ada perubahan orientasi pemikiran dalam masyarakat, dari keterpukauan serta sikap menerima saja terhadap pemerintahan yang ada menuju upaya perubahan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam tersebut. Menurut Jamaluddin, seperti dikutip Ahmad Amin, pada hakikatnya kekuatan sebuah masyarakat akan bernilai bila timbul dari dalam diri mereka sendiri. Lembaga perwakilan rakyat bersifat netral dan bisa menentukan bentuk pemerintahan, apakah kerajaan, kesultanan atau pemerintahan yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing. Lembaga perwakilan tersebut sangat tergantung pada orang-orang yang akan mengisinya. Oleh sebab itu, pemikiran dan jiwa masyarakat harus terlebih dahulu dibangun dan dibenahi, barulah bisa dibicarakan bagaimana bentuk dan system pemerintahan.
Untuk usaha ini, Jamaluddin menekankan revolusi yang didasarkan pada kekuatan rakyat, sehingga tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai. Dalam pandangannya yang revolusioner ini, Jamaluddin selalu memprovokasi umat Islam di Negara di mana ia berkunjung agar menentang kesewenang-wenangan penguasa mereka. Rakyat harus merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi, yang berarti melalui pemberontakan, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Menurut Jamaluddin, kalau ada sejumlah hal yang harus direbut tanpa ditunggu sebagai hadiah, maka kebebasan dan kemerdekaan adalah dua hal diantaranya. Bahkan tidak jarang ia terlibat langsung dalam gerakan politik bawah tanah. Ketika berada di Mesir, ia juga menganjurkan pembentukan pemerintahan rakyat melalui partisipasi rakyat dalam pemerintahan konstitusional sejati. Ia menggemakan tentang keharusan pembentukan dewan perwakilan rakyat yang disusun sesuai dengan keinginan rakyat. Anggota-anggotanya harus berasal dari pilihan rakyat, bukan pilihan penguasa atau “pesanan” kekuatan asing. Dari pemikiran Jamaluddin ini Harun menyimpulkan bahwa Jamaluddin menghendaki bentuk pemerintahan republic yang di dalamnya terdapat kebebasan rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan kewajiban penguasa untuk tunduk pada konstitusi.
c.       Pan-Islamisme
Dalam kehidupannya, Jamaluddin menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu penguasa-penguasa Muslim yang korup yang hanya menjadi boneka dari imprealisme Barat dan penjajah Barat sendiri. Memang, ketika itu hamper tidak ada wilayah Islam yang tidak dikuasai oleh Barat. Inggris menguasai Mesir, demikian juga India setelah kehancuran dinasti Mughal. Inggris juga menjajah Afganistan. Selain itu, di Afrika, Perancis menjajah ALjazair dan wilayah-wilayah lain. Italia juga menguasai Libia. Sementara Asia Tenggara pun dikuasai oleh Inggris dan Belanda. Penguasa-penguasa Muslim, karena takut kehilangan kedudukan mereka, rela bekerja sama dengan imprealisme Barat. System khalifah yang mengikat seluruh umat Islam, secara perlahan mengalami kemerosotan dan berganti dengan ideology nasionalisme yang diadopsi dari Barat.
Melihat kenyataan demikian, Jamaluddin menekankan perlunya Dunia Islam bersatu padu melawan kekuatan asing dalam wadah Pan-Islamisme. Jamaluddin menilai bahwa sumber kelemahan dunia Islam adalah lemahnya solidaritas umat Islam. Barat tidak lebih kuat dari umat Islam bila saja mereka mau bersatu menghadapinya. Persatuan dan kesatuan umat Islam sudah lemah sekali. Antara satu pemimpin Negara Islam dengan yang lain kadang-kadang terjadi saling menjatuhkan. Diantara ulama juga sering tidak memiliki komunikasi. Karena itu, umat Islam harus bersatu dalam pan-Islamisme.
Dalam sebuah cerita simbolis, Jamaluddin menulis di majalah al-‘Urwah-nya tentang sebuah kuil di pinggiran sebuah kota. Kuil ini menjadi tempat berteduh dan menginap para musafir yang sedang dalam perjalanan. Namun setiap orang yang masuk ke dalamnya, pasti mati secara misterius. Berita kematian misterius ini menyebar kemana-mana, sehingga tidak ada orang yang mau singgah lagi kesana. Akhirnya ada seorang laki-laki yang masuk ke dalamnya dengan berani. Ia ditakut-takuti oleh bunyi-bunyian suara yang menyeramkan dari seluruh penjuru kuil. Tak mau kalah, si laki-laki tadi malah memekikkan suaranya lebih keras lagi. Tiba-tiba terjadilah ledakan besar kuil ini. Dinding-dinding kuil retak dan dari retak kuil ini akhirnya keluarlah berbagai harta perbendaharaan kuil yang begitu banyak.
Jamaluddin mengisyaratkan bahwa yang membunuh para musafir tidak lain adalah rasa takut mereka. Lalu mereka mencari perlindungan ke dalam kuil yang disimbolkan sebagai Inggris. Namun rasa takut yang tak beralasan itu menghantui mereka sehingga mematikan pikiran mereka sendiri untuk keluar dari rasa takut itu. Jamaluddin mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki yang berani membongkar misteri kuil tersebut dan menghancurkan termbok-temboknya.
Karena itu, Barat sebenarnya tidak lebih kuat. Umat Islam harus berani menghadapinya dengan memperkuat persatuan di dalam pan-Islamisme. Dibawah wadah ini, tidak berarti bahwa Negara-negara Islam meleburkan diri ke dalam saru pemerintahan imperium yang tunggal seperti khalifah. Pan-Islamisme lebih berbentuk solidaritas seluruh dunia Islam untuk merasakan senasib sepenanggungan, karena mereka adalah laksana satu tubuh yang sama-sama merasakan sakit dan senang. Dengan demikian, apa pun yang dihadapi oleh satu Negara Islam harus dipahami sebagai masalah seluruh dunia Islam dan mereka harus saling membahu menyelesaikan masalah tersebut.
Jamaluddin sangat tidak sepakat dengan pandangan bahwa umat Islam harus melakukan kerja sama dengan penjajah, sebagaimana digagas Ahmad Khan dari India. Tokoh ini adalah seorang propogandis peradaban Barat (Inggris) dan melarang umat Islam melawan Inggris. Ahmad Khan mengembangkan pandangan bahwa Al_Qur’an adalah satu-satunya bagian yang penting dalam Islam dan syariah bukanlah hal yang pokok dari agama, dan aturan moral serta hukum harus didasarkan pada alam. Pandangan ini dinamakan dengan Naisyariyah (berasal dari nature, yang berarti alam). Terhadap ajaran ini, Jamaluddin melakukan kritik pedasnya dengan menyatakan bahwa penyebaran doktrin ini merupakan scenario Inggris untuk memperlemah iman dan memecah kesatuan umat Islam. Jamaluddin menulis buku ar-Radd ‘ala al-Dahriyyin (penolakan terhadap kaum Naturalis).
Untuk mencapai cita-cita ini, Jamaluddin menawarkan langkah-langkah seperti kembali kepada pemahaman keIslaman yang benar dan menghilangkan taklid, bid’ah khurafat, menyucikan hati dengan mengembangkan al-akhlaq al-karimah (budi pekerti yang luhur), dan mengembangkan musyawarah dengan berbagai kelompok.dalam masyarakat.
Dari aktivitas dan gagasan politik Jamaluddin, sangat tepat kiranya kalau dikatakan bahwa Jamaluddin adalah orang yang pertama dalam era modern Islam yang menyadari bahaya penetrasi Barat dan perpecahan dunia Islam. Jamaluddin tidak hanya bicara teoretis, tetapi juga berusaha mencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam. Gerakan dan gagasan-gagasannya member ilham bagi Negara-negara Islam untuk bangkit dari keterpurukan mereka karena penjajahan Barat dan merebut kembali kemerdekaan mereka.
Dalam konteks kontemporer sekarang, gagasan-gagasan Jamaluddin sangat penting dikembangkan dalam rangka menghadapi percaturan global. Umat Islam tidak akan bisa maju tanpa persatuan dan kesatuan. Tanpa memiliki komitmen persatuan, mereka akan sulit berkompetisi menghadapi kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa barat. Kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki hanya akan menjadi sasaran empuk para kapitalis modern untuk dikuras dan dieksploitasi demi kepentingan Negara-negara maju. Dengan dalih liberalisasi, globalisasi dan ekonomi pasar, pasar bebas dan segala dalih lainnya, kekuatan-kekuatan pemodal raksasa dari Barat akan dengan mudah menanamkan modalnya di Negara-negara Muslim yang kaya sumber daya alamnya. Akhirnya, yang terjadi adalah penjajahan model baru bangsa-bangsa barat terhadap dunia Islam, yaitu eksploitasi sumber daya alam bangsa-bangsa Muslim oleh barat. Kalau pada zaman Jamaluddin di akhir abad ke – 19 dan awal abad ke – 20 barat menjajah dunia Islam secara territorial, sekarang barat tidak perlu melakukan hal demikian. Mereka cukup menciptakan ketergantungan dunia Islam terhadap barat, mengendalikan pemerintahan di Negara-negara Muslim lalu memperoleh konsesi-konsesi.
Pada abad lalu, Jamaluddin dengan lantang sudah menggemakan bahayanya colonialisme dan imprealisme gaya modern seperti ini. Dengan segenap kemampuannya, Jamaluddin tidak pernah lelah mengingatkan bahaya tersebut. Sampai sekarang apa yang didengungkan oleh Jamaluddin masih terasa relevansi dan semangatnya.