Minggu, 05 Januari 2014

Jamaluddin al-Afghani


a.      Biografi
Sayyid Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang tokoh penting penggerak pembaruan dan kebangkitan Islam abad ke-19. Ia desenangi sekaligus dimusuhi oleh dunia Islam sendiri. Ia disenangi karena aktivitas dan gagasan politiknya menjadi inspirasi  bagi upaya pembebasan umat Islam dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Sebaliknya, ia dimusuhi karena menjadi batu sandungan bagi penguasa-penguasa dunia Islam yang orienter, korup dan despotis ketika itu. Jamaluddin dianggap membahayakan kekuasaan mereka.
Jamaluddin dilahirkan pada 1838M. ayahnya bernama Sayyid Syafdar, seorang penganut mazhab Hanafi. Konon Jamaluddin adalah keturunan Rasulullah. Silsilah keluarganya sampai kepada Nabi SAW melalui Husein ibn Ali ibn Abi Thalib, suami Fathimah putri Beliau. Terdapat perbedaan tentang daerah kelahirannya. Sebagian orang mengklaim bahwa ia adalah orang Iran, namun ia menyembunyikan ke-syi’ah-annya (taqiyah) di tengah-tengah penguasa dan masyarakat Muslim yang mayoritas menganut Sunni. Sebagian lain menyatakan bahwa ia adalah orang Afganistan, sebagaimana yang tercantum di belakang namanya. Jamaluddin adalah seorang pengikut sebuah tarekat sufi. Jamaluddin al-Afghani sangat zuhud dan tidak mau menikah. Ia merupakan anggota dewan keilmuan di Istanah (Turki).
Menurut L. Stoddard, Jamaluddin dilahirkan di Asadabad dekat Hamazan di Persia, namun ia berkebangsaan Afganistan, bukan Persia, seperti dinyatakan dalam namanya. Gelar “Sayyid” menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Rasulullah dan darahnya bercampur dengan darah Arab. Sementara orang Syi’ah mengklaim Jamaluddin berkebangsaan Iran (Persia). Muhammad Hasan I’Timaduddin, salah seorang pengikut Syi’ah seperti dikutip oleh Hamka, menegaskan Jamaluddin al-Afghani sebagai orang Iran, dilahirkan di Asadabad di wilayah Iran. Ia menolak pendapat tentang Jamaluddin berkebangsaan Afghanistan. Bahkan tokoh Syi’ah lainnya, Murtadha Mutahhari, tidak mau menggunakan “al-Afghani” dibelakang namanya. Ia menulis namanya dengan Sayyid Jamaluddin Asabadadi. Muthahhari pun lebih banyak menggunakan kata “Sayyid” dalam bukunya dan enggan menggunakan kata “al-Afghani”.
            Terlepas dari perbedaan asal usul ini, yang jelas Jamaluddin memegang peranan penting dalam pergerakan politik Islam modern. Ia dikenal luas di dunia Islam Sunni dan Syi’ah serta sangat berpengaruh terhadap dunia Islam, terutama karena perhatiannya yang serius terhadap kolonialisme bangsa-bangsa Barat dan absolutism penguasa-penguasa Muslim.
            Sejak kecil, Jamaluddin telah menekuni berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, Hadis, tasawuf dan filsafat Islam. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Sejak remaja ia mulai menekuni filsafat dan ilmu eksakta menurut system pelajaran Eropa modern. Tentang filsafat ia belajar dari tokoh-tokoh ulama Syi’ah, seperti Syekh Murtadha Anshari,Mulla Husein al-Hamadi, Sayyid Ahmad Teherani dan Sayyid Habbubi.
            Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke India dan tinggal di sana selama setahun. Dari India ia bertolak ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia kembali ke Afganistan. Pulang dari Mekkah, saat berusia 22 tahun, ia sudah diangkat menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afganistan. Setelah Mohammad Khan meninggal dunia pada 1864, penggantinya Sir Ali Khan mengangkat Jamaluddin sebagai penasehatnya. Setelah itu, ia pun diangkat menjadi perdana menteri pada pemerintahan Muhammad Azham Khan. Namun ini tidak lama, karena Azham Khan akhirnya dijaruhkan oleh kelompok oposisi yang didukung Inggris, yang saat itu sudah mulai menancapkan kekuasaannya di negeri itu. Untuk menghindari pengaruh buruk yang mungkin akan menimpanya, Jamaluddin bertolak kembali ke India dan pergi haji lagi tahun 1869.

b.      Ide-ide Politik
Dari pengalaman melakukan kunjungan ke berbagai Negara Islam, Jamaluddin melihat kenyataan bahwa dunia Islam ketika itu didominasi oleh pemerintahan yang otokrasi dan absolute. Penguasa-penguasa di dunia Islam menjalankan kekuasaannya sebagaimana dikehendakinya saja, tanpa terikat pada konstitusi. Mereka juga tidak mau membuka diri melakukan musyawarah dalam pemerintahan. Karena itu, untuk membangun pemerintahan yang bersih dan kuat, yang pertama kali dibangun adalah masyarakatnya. Harus ada perubahan orientasi pemikiran dalam masyarakat, dari keterpukauan serta sikap menerima saja terhadap pemerintahan yang ada menuju upaya perubahan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam tersebut. Menurut Jamaluddin, seperti dikutip Ahmad Amin, pada hakikatnya kekuatan sebuah masyarakat akan bernilai bila timbul dari dalam diri mereka sendiri. Lembaga perwakilan rakyat bersifat netral dan bisa menentukan bentuk pemerintahan, apakah kerajaan, kesultanan atau pemerintahan yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing. Lembaga perwakilan tersebut sangat tergantung pada orang-orang yang akan mengisinya. Oleh sebab itu, pemikiran dan jiwa masyarakat harus terlebih dahulu dibangun dan dibenahi, barulah bisa dibicarakan bagaimana bentuk dan system pemerintahan.
Untuk usaha ini, Jamaluddin menekankan revolusi yang didasarkan pada kekuatan rakyat, sehingga tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai. Dalam pandangannya yang revolusioner ini, Jamaluddin selalu memprovokasi umat Islam di Negara di mana ia berkunjung agar menentang kesewenang-wenangan penguasa mereka. Rakyat harus merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi, yang berarti melalui pemberontakan, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Menurut Jamaluddin, kalau ada sejumlah hal yang harus direbut tanpa ditunggu sebagai hadiah, maka kebebasan dan kemerdekaan adalah dua hal diantaranya. Bahkan tidak jarang ia terlibat langsung dalam gerakan politik bawah tanah. Ketika berada di Mesir, ia juga menganjurkan pembentukan pemerintahan rakyat melalui partisipasi rakyat dalam pemerintahan konstitusional sejati. Ia menggemakan tentang keharusan pembentukan dewan perwakilan rakyat yang disusun sesuai dengan keinginan rakyat. Anggota-anggotanya harus berasal dari pilihan rakyat, bukan pilihan penguasa atau “pesanan” kekuatan asing. Dari pemikiran Jamaluddin ini Harun menyimpulkan bahwa Jamaluddin menghendaki bentuk pemerintahan republic yang di dalamnya terdapat kebebasan rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan kewajiban penguasa untuk tunduk pada konstitusi.
c.       Pan-Islamisme
Dalam kehidupannya, Jamaluddin menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu penguasa-penguasa Muslim yang korup yang hanya menjadi boneka dari imprealisme Barat dan penjajah Barat sendiri. Memang, ketika itu hamper tidak ada wilayah Islam yang tidak dikuasai oleh Barat. Inggris menguasai Mesir, demikian juga India setelah kehancuran dinasti Mughal. Inggris juga menjajah Afganistan. Selain itu, di Afrika, Perancis menjajah ALjazair dan wilayah-wilayah lain. Italia juga menguasai Libia. Sementara Asia Tenggara pun dikuasai oleh Inggris dan Belanda. Penguasa-penguasa Muslim, karena takut kehilangan kedudukan mereka, rela bekerja sama dengan imprealisme Barat. System khalifah yang mengikat seluruh umat Islam, secara perlahan mengalami kemerosotan dan berganti dengan ideology nasionalisme yang diadopsi dari Barat.
Melihat kenyataan demikian, Jamaluddin menekankan perlunya Dunia Islam bersatu padu melawan kekuatan asing dalam wadah Pan-Islamisme. Jamaluddin menilai bahwa sumber kelemahan dunia Islam adalah lemahnya solidaritas umat Islam. Barat tidak lebih kuat dari umat Islam bila saja mereka mau bersatu menghadapinya. Persatuan dan kesatuan umat Islam sudah lemah sekali. Antara satu pemimpin Negara Islam dengan yang lain kadang-kadang terjadi saling menjatuhkan. Diantara ulama juga sering tidak memiliki komunikasi. Karena itu, umat Islam harus bersatu dalam pan-Islamisme.
Dalam sebuah cerita simbolis, Jamaluddin menulis di majalah al-‘Urwah-nya tentang sebuah kuil di pinggiran sebuah kota. Kuil ini menjadi tempat berteduh dan menginap para musafir yang sedang dalam perjalanan. Namun setiap orang yang masuk ke dalamnya, pasti mati secara misterius. Berita kematian misterius ini menyebar kemana-mana, sehingga tidak ada orang yang mau singgah lagi kesana. Akhirnya ada seorang laki-laki yang masuk ke dalamnya dengan berani. Ia ditakut-takuti oleh bunyi-bunyian suara yang menyeramkan dari seluruh penjuru kuil. Tak mau kalah, si laki-laki tadi malah memekikkan suaranya lebih keras lagi. Tiba-tiba terjadilah ledakan besar kuil ini. Dinding-dinding kuil retak dan dari retak kuil ini akhirnya keluarlah berbagai harta perbendaharaan kuil yang begitu banyak.
Jamaluddin mengisyaratkan bahwa yang membunuh para musafir tidak lain adalah rasa takut mereka. Lalu mereka mencari perlindungan ke dalam kuil yang disimbolkan sebagai Inggris. Namun rasa takut yang tak beralasan itu menghantui mereka sehingga mematikan pikiran mereka sendiri untuk keluar dari rasa takut itu. Jamaluddin mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki yang berani membongkar misteri kuil tersebut dan menghancurkan termbok-temboknya.
Karena itu, Barat sebenarnya tidak lebih kuat. Umat Islam harus berani menghadapinya dengan memperkuat persatuan di dalam pan-Islamisme. Dibawah wadah ini, tidak berarti bahwa Negara-negara Islam meleburkan diri ke dalam saru pemerintahan imperium yang tunggal seperti khalifah. Pan-Islamisme lebih berbentuk solidaritas seluruh dunia Islam untuk merasakan senasib sepenanggungan, karena mereka adalah laksana satu tubuh yang sama-sama merasakan sakit dan senang. Dengan demikian, apa pun yang dihadapi oleh satu Negara Islam harus dipahami sebagai masalah seluruh dunia Islam dan mereka harus saling membahu menyelesaikan masalah tersebut.
Jamaluddin sangat tidak sepakat dengan pandangan bahwa umat Islam harus melakukan kerja sama dengan penjajah, sebagaimana digagas Ahmad Khan dari India. Tokoh ini adalah seorang propogandis peradaban Barat (Inggris) dan melarang umat Islam melawan Inggris. Ahmad Khan mengembangkan pandangan bahwa Al_Qur’an adalah satu-satunya bagian yang penting dalam Islam dan syariah bukanlah hal yang pokok dari agama, dan aturan moral serta hukum harus didasarkan pada alam. Pandangan ini dinamakan dengan Naisyariyah (berasal dari nature, yang berarti alam). Terhadap ajaran ini, Jamaluddin melakukan kritik pedasnya dengan menyatakan bahwa penyebaran doktrin ini merupakan scenario Inggris untuk memperlemah iman dan memecah kesatuan umat Islam. Jamaluddin menulis buku ar-Radd ‘ala al-Dahriyyin (penolakan terhadap kaum Naturalis).
Untuk mencapai cita-cita ini, Jamaluddin menawarkan langkah-langkah seperti kembali kepada pemahaman keIslaman yang benar dan menghilangkan taklid, bid’ah khurafat, menyucikan hati dengan mengembangkan al-akhlaq al-karimah (budi pekerti yang luhur), dan mengembangkan musyawarah dengan berbagai kelompok.dalam masyarakat.
Dari aktivitas dan gagasan politik Jamaluddin, sangat tepat kiranya kalau dikatakan bahwa Jamaluddin adalah orang yang pertama dalam era modern Islam yang menyadari bahaya penetrasi Barat dan perpecahan dunia Islam. Jamaluddin tidak hanya bicara teoretis, tetapi juga berusaha mencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam. Gerakan dan gagasan-gagasannya member ilham bagi Negara-negara Islam untuk bangkit dari keterpurukan mereka karena penjajahan Barat dan merebut kembali kemerdekaan mereka.
Dalam konteks kontemporer sekarang, gagasan-gagasan Jamaluddin sangat penting dikembangkan dalam rangka menghadapi percaturan global. Umat Islam tidak akan bisa maju tanpa persatuan dan kesatuan. Tanpa memiliki komitmen persatuan, mereka akan sulit berkompetisi menghadapi kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa barat. Kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki hanya akan menjadi sasaran empuk para kapitalis modern untuk dikuras dan dieksploitasi demi kepentingan Negara-negara maju. Dengan dalih liberalisasi, globalisasi dan ekonomi pasar, pasar bebas dan segala dalih lainnya, kekuatan-kekuatan pemodal raksasa dari Barat akan dengan mudah menanamkan modalnya di Negara-negara Muslim yang kaya sumber daya alamnya. Akhirnya, yang terjadi adalah penjajahan model baru bangsa-bangsa barat terhadap dunia Islam, yaitu eksploitasi sumber daya alam bangsa-bangsa Muslim oleh barat. Kalau pada zaman Jamaluddin di akhir abad ke – 19 dan awal abad ke – 20 barat menjajah dunia Islam secara territorial, sekarang barat tidak perlu melakukan hal demikian. Mereka cukup menciptakan ketergantungan dunia Islam terhadap barat, mengendalikan pemerintahan di Negara-negara Muslim lalu memperoleh konsesi-konsesi.
Pada abad lalu, Jamaluddin dengan lantang sudah menggemakan bahayanya colonialisme dan imprealisme gaya modern seperti ini. Dengan segenap kemampuannya, Jamaluddin tidak pernah lelah mengingatkan bahaya tersebut. Sampai sekarang apa yang didengungkan oleh Jamaluddin masih terasa relevansi dan semangatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar