a. Biografi
Sayyid
Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang tokoh penting penggerak pembaruan
dan kebangkitan Islam abad ke-19. Ia desenangi sekaligus dimusuhi oleh dunia
Islam sendiri. Ia disenangi karena aktivitas dan gagasan politiknya menjadi
inspirasi bagi upaya pembebasan umat
Islam dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Sebaliknya, ia dimusuhi karena
menjadi batu sandungan bagi penguasa-penguasa dunia Islam yang orienter, korup
dan despotis ketika itu. Jamaluddin dianggap membahayakan kekuasaan mereka.
Jamaluddin
dilahirkan pada 1838M. ayahnya bernama Sayyid Syafdar, seorang penganut mazhab
Hanafi. Konon Jamaluddin adalah keturunan Rasulullah. Silsilah keluarganya
sampai kepada Nabi SAW melalui Husein ibn Ali ibn Abi Thalib, suami Fathimah
putri Beliau. Terdapat
perbedaan tentang daerah kelahirannya. Sebagian orang mengklaim bahwa ia adalah
orang Iran, namun ia menyembunyikan ke-syi’ah-annya (taqiyah) di tengah-tengah penguasa dan masyarakat Muslim yang
mayoritas menganut Sunni. Sebagian lain menyatakan bahwa ia adalah orang
Afganistan, sebagaimana yang tercantum di belakang namanya. Jamaluddin adalah
seorang pengikut sebuah tarekat sufi. Jamaluddin al-Afghani sangat zuhud dan
tidak mau menikah. Ia merupakan anggota dewan keilmuan di Istanah (Turki).
Menurut
L. Stoddard, Jamaluddin dilahirkan di Asadabad dekat Hamazan di Persia, namun
ia berkebangsaan Afganistan, bukan Persia, seperti dinyatakan dalam namanya.
Gelar “Sayyid” menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Rasulullah dan darahnya
bercampur dengan darah Arab. Sementara orang Syi’ah mengklaim Jamaluddin
berkebangsaan Iran (Persia). Muhammad Hasan I’Timaduddin, salah seorang
pengikut Syi’ah seperti dikutip oleh Hamka, menegaskan Jamaluddin al-Afghani
sebagai orang Iran, dilahirkan di Asadabad di wilayah Iran. Ia menolak pendapat
tentang Jamaluddin berkebangsaan Afghanistan. Bahkan tokoh Syi’ah lainnya,
Murtadha Mutahhari, tidak mau menggunakan “al-Afghani” dibelakang namanya. Ia
menulis namanya dengan Sayyid Jamaluddin Asabadadi. Muthahhari pun lebih banyak
menggunakan kata “Sayyid” dalam bukunya dan enggan menggunakan kata
“al-Afghani”.
Terlepas dari perbedaan asal usul
ini, yang jelas Jamaluddin memegang peranan penting dalam pergerakan politik
Islam modern. Ia dikenal luas di dunia Islam Sunni dan Syi’ah serta sangat
berpengaruh terhadap dunia Islam, terutama karena perhatiannya yang serius
terhadap kolonialisme bangsa-bangsa Barat dan absolutism penguasa-penguasa
Muslim.
Sejak kecil, Jamaluddin telah
menekuni berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, Hadis, tasawuf dan
filsafat Islam. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Sejak remaja ia mulai
menekuni filsafat dan ilmu eksakta menurut system pelajaran Eropa modern.
Tentang filsafat ia belajar dari tokoh-tokoh ulama Syi’ah, seperti Syekh
Murtadha Anshari,Mulla Husein al-Hamadi, Sayyid Ahmad Teherani dan Sayyid
Habbubi.
Ketika berusia 18 tahun, ia
berangkat ke India dan tinggal di sana selama setahun. Dari India ia bertolak
ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia kembali ke
Afganistan. Pulang dari Mekkah, saat berusia 22 tahun, ia sudah diangkat menjadi
pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afganistan. Setelah Mohammad Khan
meninggal dunia pada 1864, penggantinya Sir Ali Khan mengangkat Jamaluddin
sebagai penasehatnya. Setelah itu, ia pun diangkat menjadi perdana menteri pada
pemerintahan Muhammad Azham Khan. Namun ini tidak lama, karena Azham Khan
akhirnya dijaruhkan oleh kelompok oposisi yang didukung Inggris, yang saat itu
sudah mulai menancapkan kekuasaannya di negeri itu. Untuk menghindari pengaruh
buruk yang mungkin akan menimpanya, Jamaluddin bertolak kembali ke India dan
pergi haji lagi tahun 1869.
b.
Ide-ide Politik
Dari pengalaman melakukan kunjungan ke berbagai
Negara Islam, Jamaluddin melihat kenyataan bahwa dunia Islam ketika itu
didominasi oleh pemerintahan yang otokrasi dan absolute. Penguasa-penguasa di
dunia Islam menjalankan kekuasaannya sebagaimana dikehendakinya saja, tanpa
terikat pada konstitusi. Mereka juga tidak mau membuka diri melakukan
musyawarah dalam pemerintahan. Karena itu, untuk membangun pemerintahan yang
bersih dan kuat, yang pertama kali dibangun adalah masyarakatnya. Harus ada
perubahan orientasi pemikiran dalam masyarakat, dari keterpukauan serta sikap
menerima saja terhadap pemerintahan yang ada menuju upaya perubahan terhadap
kondisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam tersebut. Menurut
Jamaluddin, seperti dikutip Ahmad Amin, pada hakikatnya kekuatan sebuah
masyarakat akan bernilai bila timbul dari dalam diri mereka sendiri. Lembaga
perwakilan rakyat bersifat netral dan bisa menentukan bentuk pemerintahan,
apakah kerajaan, kesultanan atau pemerintahan yang dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan asing. Lembaga perwakilan tersebut sangat tergantung pada
orang-orang yang akan mengisinya. Oleh sebab itu, pemikiran dan jiwa masyarakat
harus terlebih dahulu dibangun dan dibenahi, barulah bisa dibicarakan bagaimana
bentuk dan system pemerintahan.
Untuk usaha ini, Jamaluddin menekankan revolusi yang
didasarkan pada kekuatan rakyat, sehingga tujuan-tujuan tersebut dapat
tercapai. Dalam pandangannya yang revolusioner ini, Jamaluddin selalu
memprovokasi umat Islam di Negara di mana ia berkunjung agar menentang
kesewenang-wenangan penguasa mereka. Rakyat harus merebut kebebasan dan
kemerdekaannya melalui revolusi, yang berarti melalui pemberontakan, kalau
perlu dengan pertumpahan darah. Menurut Jamaluddin, kalau ada sejumlah hal yang
harus direbut tanpa ditunggu sebagai hadiah, maka kebebasan dan kemerdekaan
adalah dua hal diantaranya. Bahkan tidak jarang ia terlibat langsung dalam
gerakan politik bawah tanah. Ketika berada di Mesir, ia juga menganjurkan
pembentukan pemerintahan rakyat melalui partisipasi rakyat dalam pemerintahan
konstitusional sejati. Ia menggemakan tentang keharusan pembentukan dewan
perwakilan rakyat yang disusun sesuai dengan keinginan rakyat.
Anggota-anggotanya harus berasal dari pilihan rakyat, bukan pilihan penguasa
atau “pesanan” kekuatan asing. Dari pemikiran Jamaluddin ini Harun menyimpulkan
bahwa Jamaluddin menghendaki bentuk pemerintahan republic yang di dalamnya
terdapat kebebasan rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan kewajiban penguasa
untuk tunduk pada konstitusi.
c.
Pan-Islamisme
Dalam kehidupannya, Jamaluddin menghadapi dua musuh
sekaligus, yaitu penguasa-penguasa Muslim yang korup yang hanya menjadi boneka
dari imprealisme Barat dan penjajah Barat sendiri. Memang, ketika itu hamper
tidak ada wilayah Islam yang tidak dikuasai oleh Barat. Inggris menguasai
Mesir, demikian juga India setelah kehancuran dinasti Mughal. Inggris juga
menjajah Afganistan. Selain itu, di Afrika, Perancis menjajah ALjazair dan
wilayah-wilayah lain. Italia juga menguasai Libia. Sementara Asia Tenggara pun
dikuasai oleh Inggris dan Belanda. Penguasa-penguasa Muslim, karena takut kehilangan
kedudukan mereka, rela bekerja sama dengan imprealisme Barat. System khalifah
yang mengikat seluruh umat Islam, secara perlahan mengalami kemerosotan dan
berganti dengan ideology nasionalisme yang diadopsi dari Barat.
Melihat kenyataan demikian, Jamaluddin menekankan
perlunya Dunia Islam bersatu padu melawan kekuatan asing dalam wadah
Pan-Islamisme. Jamaluddin menilai bahwa sumber kelemahan dunia Islam adalah
lemahnya solidaritas umat Islam. Barat tidak lebih kuat dari umat Islam bila
saja mereka mau bersatu menghadapinya. Persatuan dan kesatuan umat Islam sudah
lemah sekali. Antara satu pemimpin Negara Islam dengan yang lain kadang-kadang
terjadi saling menjatuhkan. Diantara ulama juga sering tidak memiliki
komunikasi. Karena itu, umat Islam harus bersatu dalam pan-Islamisme.
Dalam sebuah cerita simbolis, Jamaluddin menulis di
majalah al-‘Urwah-nya tentang sebuah
kuil di pinggiran sebuah kota. Kuil ini menjadi tempat berteduh dan menginap
para musafir yang sedang dalam perjalanan. Namun setiap orang yang masuk ke
dalamnya, pasti mati secara misterius. Berita kematian misterius ini menyebar
kemana-mana, sehingga tidak ada orang yang mau singgah lagi kesana. Akhirnya
ada seorang laki-laki yang masuk ke dalamnya dengan berani. Ia ditakut-takuti
oleh bunyi-bunyian suara yang menyeramkan dari seluruh penjuru kuil. Tak mau
kalah, si laki-laki tadi malah memekikkan suaranya lebih keras lagi. Tiba-tiba
terjadilah ledakan besar kuil ini. Dinding-dinding kuil retak dan dari retak
kuil ini akhirnya keluarlah berbagai harta perbendaharaan kuil yang begitu
banyak.
Jamaluddin mengisyaratkan bahwa yang membunuh para musafir
tidak lain adalah rasa takut mereka. Lalu mereka mencari perlindungan ke dalam
kuil yang disimbolkan sebagai Inggris. Namun rasa takut yang tak beralasan itu
menghantui mereka sehingga mematikan pikiran mereka sendiri untuk keluar dari
rasa takut itu. Jamaluddin mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki yang
berani membongkar misteri kuil tersebut dan menghancurkan termbok-temboknya.
Karena itu, Barat sebenarnya tidak lebih kuat. Umat
Islam harus berani menghadapinya dengan memperkuat persatuan di dalam
pan-Islamisme. Dibawah wadah ini, tidak berarti bahwa Negara-negara Islam
meleburkan diri ke dalam saru pemerintahan imperium yang tunggal seperti
khalifah. Pan-Islamisme lebih berbentuk solidaritas seluruh dunia Islam untuk
merasakan senasib sepenanggungan, karena mereka adalah laksana satu tubuh yang
sama-sama merasakan sakit dan senang. Dengan demikian, apa pun yang dihadapi
oleh satu Negara Islam harus dipahami sebagai masalah seluruh dunia Islam dan
mereka harus saling membahu menyelesaikan masalah tersebut.
Jamaluddin sangat tidak sepakat dengan pandangan
bahwa umat Islam harus melakukan kerja sama dengan penjajah, sebagaimana
digagas Ahmad Khan dari India. Tokoh ini adalah seorang propogandis peradaban
Barat (Inggris) dan melarang umat Islam melawan Inggris. Ahmad Khan
mengembangkan pandangan bahwa Al_Qur’an adalah satu-satunya bagian yang penting
dalam Islam dan syariah bukanlah hal yang pokok dari agama, dan aturan moral
serta hukum harus didasarkan pada alam. Pandangan ini dinamakan dengan Naisyariyah (berasal dari nature, yang berarti alam). Terhadap
ajaran ini, Jamaluddin melakukan kritik pedasnya dengan menyatakan bahwa
penyebaran doktrin ini merupakan scenario Inggris untuk memperlemah iman dan
memecah kesatuan umat Islam. Jamaluddin menulis buku ar-Radd ‘ala al-Dahriyyin (penolakan terhadap kaum Naturalis).
Untuk mencapai cita-cita ini, Jamaluddin menawarkan langkah-langkah
seperti kembali kepada pemahaman keIslaman yang benar dan menghilangkan taklid,
bid’ah khurafat, menyucikan hati dengan mengembangkan al-akhlaq al-karimah (budi pekerti yang luhur), dan mengembangkan
musyawarah dengan berbagai kelompok.dalam masyarakat.
Dari aktivitas dan gagasan politik Jamaluddin,
sangat tepat kiranya kalau dikatakan bahwa Jamaluddin adalah orang yang pertama
dalam era modern Islam yang menyadari bahaya penetrasi Barat dan perpecahan
dunia Islam. Jamaluddin tidak hanya bicara teoretis, tetapi juga berusaha
mencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam. Gerakan
dan gagasan-gagasannya member ilham bagi Negara-negara Islam untuk bangkit dari
keterpurukan mereka karena penjajahan Barat dan merebut kembali kemerdekaan
mereka.
Dalam konteks kontemporer sekarang, gagasan-gagasan Jamaluddin
sangat penting dikembangkan dalam rangka menghadapi percaturan global. Umat
Islam tidak akan bisa maju tanpa persatuan dan kesatuan. Tanpa memiliki
komitmen persatuan, mereka akan sulit berkompetisi menghadapi kekuatan ekonomi
dan kemajuan teknologi bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa barat.
Kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki hanya akan menjadi sasaran empuk
para kapitalis modern untuk dikuras dan dieksploitasi demi kepentingan
Negara-negara maju. Dengan dalih liberalisasi, globalisasi dan ekonomi pasar,
pasar bebas dan segala dalih lainnya, kekuatan-kekuatan pemodal raksasa dari
Barat akan dengan mudah menanamkan modalnya di Negara-negara Muslim yang kaya
sumber daya alamnya. Akhirnya, yang terjadi adalah penjajahan model baru
bangsa-bangsa barat terhadap dunia Islam, yaitu eksploitasi sumber daya alam
bangsa-bangsa Muslim oleh barat. Kalau pada zaman Jamaluddin di akhir abad ke –
19 dan awal abad ke – 20 barat menjajah dunia Islam secara territorial,
sekarang barat tidak perlu melakukan hal demikian. Mereka cukup menciptakan
ketergantungan dunia Islam terhadap barat, mengendalikan pemerintahan di
Negara-negara Muslim lalu memperoleh konsesi-konsesi.
Pada abad lalu, Jamaluddin dengan lantang sudah
menggemakan bahayanya colonialisme dan imprealisme gaya modern seperti ini.
Dengan segenap kemampuannya, Jamaluddin tidak pernah lelah mengingatkan bahaya
tersebut. Sampai sekarang apa yang didengungkan oleh Jamaluddin masih terasa
relevansi dan semangatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar