Senin, 06 Januari 2014

Muhammad Abduh


             a.      Biografi
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide Jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh, meskipun dalam beberapa hal di antara murid dan guru ini terdapat juga perbedaan.
Abduh dilahirkan pada 1849 M di sebuah desa pertanian di lembah Sungai Nil. Ayahnya, Abduh Hasan Khairullah, adalah seorang keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir. Adapun ibunya adalah seorang Arab yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga Ummar Ibn al-Khattab, khalifah kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Kedua keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa panda karena dibebani pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa waktu, orang tua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesuliran. Abduh sendiri lahir dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.
Pendidikan dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca dan menulis serta ilmu-ilmu keIslaman. Selanjutnya, ia belajar menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun, Abduh berhasil menghafal Al-Qur’an dengan sempurna. Selanjutnya, dalam usia lima belas tahun ia dikirim ayahnya ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar ilmu agama. Namun metode yang dikembangkan di sini sangat membosankan Abduh. Ia merasa ridak memperoleh apa-apa dari madrasah ini dan meninggalkan Thantha untuk pulang kampong. Setahun berikutnya, dalam usia enambelas tahun, Abduh dikawinkan orang tuanya. Namun demikian, ayahnya tetap mengharapkannya melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Thantha. Abduh tidak menolak kemauan ayahnya. Akan tetapi, ia tidak berangkat ke Thanta, karena sudah tidak semangat melihat cara belajar yang membosankannya. Akhirnya ia berangkat ke sebuah desa bernama Kanisa Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Disini ia bertemu dengan Syekh Darwisy, seorang penganut tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam. Syekh Darwisyah yang mengubah hidupnya dari seorang yang frustasi pada sekolah menjadi seorang yang haus ilmu. Salah satu keistimewaan yang diajarkan  Syekh Darwisy adalah ia mengajak Abduh untuk berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Ia mengajak Abduh untuk menelaah suatu kitab, lalu menguraikan apa maksudnya. Dengan cara ini, dahaga ilmu Abduh merasa terpuaskan, karena ia dapat menyampaikan hal-hal yang menjadi pemikirannya dan memperoleh jawaban yang diharapkannya. Abduh mengakui sendiri pengaruh Syekh Darwisy ini terhadap dirinya, sebagaimana diungkapkannya :
“Saya tidak mendapati adanya keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang harus dipilih, kecuali Syekh (maksudnya Syekh Darwisy) yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan literalisme menuju kebebasan keimanan yang sejati kepada Tuhan… beliau adalah kunci kebahagiaan saya… ia mengembalikan bagian dari diri saya yang pernah hilang dan membukakan kepada saya apa yang masih tersembunyi didalam diri saya.”
Setelah memperoleh “dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Thantha untuk meneruskan pelajaran. Tamat dari Thantha barulah ia masuk Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 1866. Ketika kuliah di al-Azhar, Sayyid Jamaluddin datang ke Mesir dalam perjalanannya menuju Istanbul kesempatan ini digunakan Abduh untuk berdiskusi dan menimbah ilmu pengetahuan dari tokoh pemersatu umat Islam ini pada pertemuan pertama ini Abduh sangat terkesan dengan kepribadian dan kedalaman pengetahuan Jamaluddin. Karena itu, ketika pada tahun 1871 Jamaluddin datang kembali ke Mesir, Abduh tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid setia Jamaluddin. Ia belajar filsafat pada Jamaluddin disamping mulai menulis karangan-karangan untuk surat kabar al-Ahram sebuah harian yang baru saja terbit waktu itu.
Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada tahun 1877. Selanjutnya, ia mengembangkan ilmunya dengan mengajar di Dar Al-‘Ulum, disamping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah karangan Ibn Khaldun dan History of Civilization in Europe yang sudah diterjemahkan oleh al-Thahthawi.
Selain mengajar, Abduh juga terlibat aktif dalam gerakan politik. Ia membantu Jamaluddin dalam menentang penguasa, Khedewi Taufik. Akibatnya, Abduh dibuang keluar Kairo setelah sebelumnya pada tahun 1879 Jamaluddin di usir dari Mesir. Namun setahun kemudian, Abduh di izinkan kembali ke Kairo dan diangkat menjadi redaktur untuk surat kabar al-Waqa’i. Al-Mishira. Abduh tidak hanya membuat berita-berita perkembangan terkini Mesir, tetapi juga artikel-artikel tentang social, politik, pendidikan, hukum, kebudayaan dan agama. Dibawah kepemimpinan Abduh surat kabar ini sangat berpengaruh dalam bentuk opini public, terutama semangat nasionalisme Mesir dan penentangan terhadap penguasaan Mesir atas Inggris. Selain itu, penguasa Mesir ketika itu sudah sangat jauh dalam kebijakan yang sangat pro Inggris.
Kondisi demikian makin membangkitkan semangat nasionalisme Abduh dan menanamkan kebenciannya pada Inggris. Ia ikut mendukung gerakan pemberontakan kaum nasionalis Mesir di bawah kepemimpinan Urabi Pasha. Namun pemberontakan ini gagal dan akibatnya Abduh diasingkan dari Mesir pada 1882. Dalam keadaan demikian, Abduh memperoleh undangan dari Jamaluddin untuk bergabung bersamanya di Paris. Mereka menggerekkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa (tali yang Kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam, melepaskan mereka dari perpecahan dan cengkeraman bangsa-bangsa barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal yang menggerakkan umat Islam. Namun jurnal ini bertahan hanya delapan bulan dan organisasinya pun bubar. Abduh kemudian kembali ke Beirut dan menjadi guru di sebuah sekolah Muslim. Ia juga menyampaikan berbagai ceramah. Salah satu ceramahnya di Beirut yang dibukukan adalah Risalah al-Tawhid.
Pada tahun 1888, ia diizinkan pulang ke Mesir. Mengingat pengaruhnya yang luar biasa di kalanngan anak muda rogresif, ia tidak diizinkan mengajar. Ia diangkat menjadi hakim di pengadilan penduduk pribumi. Tahun 1895, ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Administratif Universitas al-Azhar. Lalu pada tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Besar Mesir. Di dua jabatan ini, ia banyak melakukan perubahan dan pembaruan. Untuk al-Azhar, ia memasukkan ilmu-ilmu modern pengetahuan umum dan filsafat, karena sebelumnya terdapat dualisme system pendidikan Mesir; pendidikan tradisionalisme madrasah yang menolak pelajaran-pelajaran umum dan pendidikan modern berbasis Barat yang tidak mengajarkan ilmu agama. Abduh berusaha menghapuskan dikotomi ini. Sementara untuk jabatan Mufti, Abduh mengusulkan berbagai perubahan system pengadilan agama di Mesir.
Abduh meninggal pada 11 Juli 1905. Jenazahnya diiringi oleh ribuan orang yang mencintainya. Bukan hanya orang muslim, orang-orang yahudi dan Nasrani pun ikut berbondong-bondong member pernghormatan terakhir pada tokoh penggerak pembaharu Islam ini.

b.      Pemikiran Politik
Seperti diketahui, pada masa Abduh dunia Islam mengalami penjajahan dan kolonialisasi oleh Negara-negara barat. Hampir tidak ada wilayah Islam yang terbebas dari penjajahan barat. Mesir merupakan Negara Abduh juga mengalami penjajahan dari Perancis dan Inggris. Karena itu, Abduh juga merasa terpanggil untuk menentang kehadiran kolonialisme Barat di negaranya dan di dunia Islam pada umumnya.
Menurut Abduh, kehadiran bangsa-bangsa barat tidak hanya menguasai dunia Islam, tetapi juga mengembangkan system nilai mereka, seperti dalam bidang social, politik, budaya dan hukum, terhadap umat Islam. Dalam lapangan social politik, bangsa-bangsa barat berusaha memaksakan kehendak mereka. Di bidang pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan barat memisahkan antara pendidikan tradisionalis agama dan pendidikan modern barat. Banyak diantara pemuda Mesir yang terpengaruh pada model pendidikan barat dan akhirnya tercabut dari nilai-nilai social budaya mereka sendiri. Mereka lebih mengagungkan pola pemikiran dan kebuadayaan barat yang tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Demikian juga dalam bidang hukum, banyak hukum-hukum barat yang diadopsi oleh dunia Islam.
Kepada penguasa Muslim despotis, Abduh juga mengarahkan kecaman pedasnya dan memandang mereka sebagai antek-antek imperialis barat yang berkonpirasi menindas rakyat. Menurutnya, pemimpin Muslim menyandang gelar tinggi seperti sultan atau pangeran, hidup mewah dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintahan asing non-Muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin seperti ini menjarah kekayaan rakyat demi kesenangan pribadi dan tidak menegakkan keadilan. Pemimpin seperti ini, lanjut Abduh, menjadi penyebab pula bagi kehancuran akhlak di dalam masyarakat. Mereka menjadi pemimpin yang otoriter.
Kondisi ini diperparah pula oleh kebodohan para ahli fiqh. Mereka tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sehingga tidak mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Mereka menjadi alat justifikasi bagi penguasa untuk kepentingan-kepentingan penguasa itu sendiri. Para penguasa mendesak para ahli fiqh untuk mengeluarkan fatwah yang menguntungkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Kondisi ini menurut Abduh adalah karena umat Islam sudah terasuki oleh paham-paham keagamaan yang berasal dari luar Islam. Umat Islam sudak dijangkiti oleh paham jumud (beku, statis), sehingga tidak mau berpikir dinamis mencapai kemajuan. Menurut Abduh, paham ini dibawa oleh orang-orang non-Arab yang masuk Islam yang telah berhasil merampas kekuasaan politik tertinggi dalam umat Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam, paham-paham dan adat istiadat mereka ikut berpengaruh dikalangan umat Islam yang mereka kuasai. Mereka adalah orang-orang yang kurang mementingkan akal dan tidak menghargai ilmu pengetahuan. Demi kepentingan mereka sendiri, penguasa Turki mendorong penerimaan mutlak terhadap kekuasaan dan mengekang penggunaan nalar secara bebas. Pengetahuan adalah musuh mereka, karena pengetahuan akan membukakan mata rakyat terhadap buruknya perilaku para penguasa.
Supaya mereka dapat berkuasa lebih lama lagi, maka mengembangkan ajaran-pajaran yang membuat manusia statis. Mereka mengajarkan pemujaan yang berlebih kepada para wali dan syekh-syekh tarekat, taklid buta pada pada ulama, konsep tawakal yang salah dan paham fatalism. Akibatnya, akal pikiran menjadi tidak berjalan dan paham jumud semakin berkembang di dunia Islam. Kekacauan intelektual terjadi di kalangan kaum muslim di bawah perlindungan para penguasa yang bodoh. Islam disalahgunakan oleh para penguasanya.
Untuk mendobrak kebekuan berpikir ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya dan membersihkan segala macam bentuk bid’ah dan khurafat. Umat Islam harus berani membuka pintu ijtihad untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi. Mereka harus melakukan interpretasi ulang terhadap pendapat ulama masa lalu yang mungkin tidak sejalan dengan masa yang sekarang. Pendapat ulama tidaklah mutlak benar dan mengikat. Menurut Abduh, ajaran Islam terbagi dua, yaitu masalah ibadah yang tidak banyak memerlukan ijtihad dan masalah muamalah (social kemasyarakatan) yang menjadi lapangan ijtihad. Terhadap masalah yang kedua ini umat Islam tidak perlu mempertahankan pendapat ulama masa lalu, apabila tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Pintu ijtihad harus dibuka seluas-luasnya terhadap masalah ini dan taklid –yang menjadi sumber kemunduran umat islam –harus diperangi.
Selain menggalakkan berpikir kritis dan pengembangan ijtihad, Abduh memandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintahan yang konstitusional. Untuk itu, Abduh menekankan perlunya lembaga perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Namun Abduh tidak sependapat dengan gurunya Jamaluddin yang menghendaki revolusi untuk pembentukan dewan perwakilan tersebut. Ia menginginkan cara-cara evolusioner untuk mewujudkannya, karena situasi dan kondisi masyarakat Mesr masih belum mendukung untuk itu. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan, menurut Abduh, adalah melakukan proses pencerdasan bagi masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai warga Negara. Proses realisasi gagasan pembentukan dewan perwakilan sebaiknya dilakukan secara bertahap. Setiaknya, diperlukan waktu sekitar lima belas tahun untuk melatih rakyat untuk mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka secara bertanggung jawab. Untuk ini, Abduh menyatakan bahwa umat Islam tidak salah bila menirut Barat, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pandangan Abduh ini terlihat moderat. Ia tidak serta-merta menolak barat, meskipun ia menganggap barat adalah penjajah dunia Islam. Nilai-nilai demokrasi yang menghendaki adanya control terhadap kekuasaan –dan diwujudkan di antaranya melalui lembaga perwakilan –dapat diterimanya. Namun demikian, Abduh sangat menolak umat Islam yang mencoba mencari system hukum yang tidak sejalan dengan tradisi budaya dan masyarakat. Dalam hal ini, Abduh menolak adopsi system hukum barat untuk umat Islam. Menurut Abduh, hukum yang akan dijalankan untuk masyarakat haruslah yang sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri. Hukum barat hanya sesuai dengan kepribadian dan identitas masyarakat barat yang sangat menjunjung tinggi semangat liberalism. Kalau ini diterapkan untuk masyarakat muslim, maka mereka akan kehilangan identitas sebagai masyarakat yang religious. Ini akan membuat masyarakat muslim mengalami keterpecahan. Dalam hal ini, Abduh mengkritik Muhammad Ali dan para pemimpin penggantinya di Mesir yang atas nama pembaruan, mencangkokkan hukum dan lembaga-lembaga hukum yang berasal dari barat untuk masyarakat Mesir. Hukum yang ditanamkan ditanah lain tidak akan berjalan dengan cara yang sama, bahkan akan membuat keadaan lebih buruk. Hukum-hukum baru yang diambil dari Eropa sama sekali tidak akan berfungsi sebagai hukum, sebab tidak seorangpun yang menghormati dan mematuhi hukum. Mesir sedang menjadi masyarakat yang paling buruk, masyarakat tanpa hukum.
Sejalan dengan pandangan Abduh tentang pembatasan kekuasaan kepala Negara, ia menolak adanya kekuasaan keagamaan. Baginya, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau suatu kelompok orang untuk menindak orang lain atas dasar mandate agama atau dari Tuhan. Islam tidak membenarkan campur tangan orang lain, sekalipun penguasa dalam urusan kehidupan keagamaan orang lain. Islam juga tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pendapat penafsirannya tentang agama kepada orang lain. Bagi Abduh, pemimpin Negara adalah penguasa sipil yang diangkan dan diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu. Karenanya, ABduh menolak paham  penguasa sebagai Zhill Allah fi al-ardh (baying-bayang Allah di muka bumi), sebagaimana pandangan pemikir Muslim Abad Klasid dan pertengahan.
Bagi Abduh, kepala Negara adalah pengusa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, bukan oleh Tuhan. Abduh menerima ide-ide barat tentang demokrasi yang menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya adalah milik rakyat dan penguasa hanya menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Karena itu, Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila ia bertindak despotic dan tidak adil, serta kesejahteraan rakyat menuntut hal ini.
Pandangan Abduh tentang hubungan Agama dan politik dituangkannya dalam program Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya. Dalam rumusan tersebut menyatakan bahwa Partai Nasional adalah partai politik, bukan partai Agama, yang anggotanya terdiri atas orang-orang dari berbagai kepercayaan dan mazhab, termasuk orang Kristen dan Yahudi, serta semua yang bercocoktanam di bumi Mesir dan berbicara bahasa Mesir, karena partai ini tidak melihat perbedaan keyakinan. Partai didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu bersaudara satu sama lain, dan bahwa hak-hak mereka dalam politik dan muka hukum itu sama.
Gagasan Abduh demikian dinilai sangat berani dan membuka jalan bagi pemikiran-pemikiran maju dan liberal dalam kontsrelasi pemikiran dan perkembangan politik di Mesir. Abduh telah merambah sesuatu yang selama ini dianggap sacral oleh sebagian masyarakat Islam, terutama di mesir. Dalam Agamurid dan pengukutnya seperti Sa’ad Zaghlul, Lutfi al-Sayid, dan Muhammad Husein Haykal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar