Selasa, 13 Mei 2014

Hak Atas Tanah

A.    Ruang Lingkup Hak Atas Tanah

Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4  ayat (1) UUPA, yaitu, “Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum”.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga Negara Indonesia maupun warna Negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum public.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :
1.      Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2.      Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada Hak Guna Usaha  adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.

B.     Pengertian Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai

1.      Hak Milik
Salah satu hak atas tanah yang termasuk dalam kategori bersifat primer adalah Hak Milik. Sebab hak milik merupakan hak primer yang paling utama, terkuat dan terpenuh, dibandingkan dengan hak-hak primer lainnya, seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau hak-hak lainnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (1)  dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut : “Hak milik adalah hak turut-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”
Yang dimaksud dengan “Hak Milik” adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi social, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. (Pasal 20 UUPA).
Menurut A.P. Parlindungan dalam bukunya Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud untuk pembedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh). Begitu pengtingnya hak milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik atas tanah tersebut.
Hal ini dapat terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972 tentang Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. Namun demikian, pada tahun 1993 pemerintah mengganti Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Penglimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Dalam Pasal 3 Permendagri Nomor 3 Tahun 1993 dinyatakan bahwa : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya member keputusan mengenai:
1.      Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha (dua hektar);
2.      Pemberian hak milik atas tanah nonpertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
3.      Pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program :
a.       Transmigrasi;
b.      Redistributor tanah;
c.       Konsolidasi tanah;
d.      Pendaftaran tanah secara missal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic.
Pemberian hak milik atas tanah, bukan saja diberikan kepada perseorangan, tetapi juga dapat diberikan kepada badan-badan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan. Dalam memberikan landasan hukum yang terkuat kepada badan-badan hukum untuk mendapat hak milik atas tanah, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 1963 tentang Pengajuan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, terkuat kepada badan-badan hukum yang disebut di bawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal 2, 3, dan 4 peraturan ini :
a.       Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara);
b.      Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (LN 1958 No. 139);
c.       Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
d.      Badan-badan social, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri kesejahteraan Sosial.
Sementara itu, untuk keperluan bank-bank pemerintah dapat diberikan penguasaan hak atas tanah dalam benruk hak milik. Pemberian hak milik tersebut sesuai Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1960, yaitu :
- I.M.A (S 1939-563);
- Indonesian vereningengen (S 1939-570);
- B.I.N (LN. 1952-21);
- B.T.N. (LN. 1955-137);
- B.N.I (LN. 1955-5);
- Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (LN. 1959-60);
- Bank Umum Negara (LN. 1959-85);
- B.D.N. (LN. 1960-39);
- Bank Rakyat Indonesia (LN 1951-180 yo 160-41);
- Bank Pembangunan Indonesia (LN 1960-65).
Sementara untuk badan-badan keagamaan agar mendapat pengakuan secara hukum atas kepemilikan atas tanah, maka hal itu akan ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri, sekarang Kepala Badan Nasional (BPN), setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Agama. Penunjukan kepada badan-badan keagamaan tersebut telah diberikan sejak tahun 1969, sebagai berikut :
1.      Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 22/DDA/69;
2.      Gereja Roma Katolik berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi No. 1/DDAT/Agr/67;
3.      SK Mendagri Nomor 14/DDA/1972 untuk persyarikatan Muhammadiyah;
4.      SK Mendagri Nomor 3/DDA/1972 untuk gereja-geraja Protestan di Indonesia dan lain-lain.
Memperhatikan beberapa ketentuan mengenai pemilikan hak atas tanah, terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah merupakaan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan yang sangat ketat. Perlindungan ketat dimaksud agar pemberian status agar pemberian status hak kepada perorangan harus dilakukan dengan seleksi yang ketat, agar betul-betul terjadi pemerataan atas status hak tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai terjadi jurang pemisah antara pemilik tanah yang luas dengan orang yang memiliki tanah yang sempit. Sebab hal ini berkaitan dengan eksistensi seseorang untuk mendapatkan status sebagai orang miskin dan tidak miskin. Konsep miskin dalam konteks hukum agrarian, konsep miskin lazim ditujukan bagi orang yang tidak mempunyai tanah atau orang yang mengerjakan tanah orang lain, atau yang paling popular disebut sebagai “petani gurem”.
Pemerintah menaruh perhatian yang sangat serius terhadap pemilikan atas tanah tersebut sehingga pemerintah tidak memperkenankan hak milik atas tanah itu beralih kepada orang asing karena perkawinan. Hal ini sesuai dengan surat edaran dari Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah tanggal 2 November 1965 Nomor 7850 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah Bukittinggi, dinyatakan bahwa juka seorang wanita warga Negara Indonesia itu kawin dengan warga Negara Asing terjadilah percampuran harta, sehingga berlakulah ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA, yaitu keharusan melepaskan haknya kepada warga Indonesia dalam tempo 1 tahun, oleh karena tanah itu diperlakukan sebagai dimiliki oleh orang asing sebagai akibat tidak dapat lagi dibedakan mana yang bagian warna Negara Indonesia dan orang asing, kecuali dapat dibuktikan bahwa : a). dia tidak meninggalkan kewarganegaraanya, dan b.) dia telah kawin di luar pencampuran harta, dan dibuktikan dengan suatu akta autentik (akta notaries) tentang adanya syarat-syarat perkawinan tersebut.

2.       Hak Guna Usaha
            Yang dimaksud dengan “Hak Guna Usaha”, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, guna peruasahaan pertanian, perikanan atau peternakan yang luasnya paling sedikit 5 hektare dengan ketentuan bila luasnya 25 Ha atau lebih, harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. (Pasal 28 dan Pasal 33 UUPA)
            Dalam rangka pemberian hak atas tanah dalam Undang-Undan Pokok Agraria, selain hak milik, maka Hak Guna Usaha merupakan bentuk hak atas tanah dapat diberikan kepada pemegang hak. Sedang syarat untuk dapat memiliki adalah :
a.       Warga Negara Indonesia.
b.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (pasal 30 ayat 1 Undang-undang pokok Agraria).
Apabila orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 tersebut di atas, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperolehhak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat (pasal 30 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria).
Dengan demikian, pengertian pada ayat 2 dari pasal tersebut di atas, mengandung arti bahwa hak guna usaha yang bersangkutan tidak dialihkan atau tidak dilepaskan dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-undang, maka hak tersebut menjadi hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak lain akan diindahkan menurut menurut ketentuan yang ada.
Dalam kaitannya dengan pasal 30 Undang-undang Pokok Agraria ini erat sekali hubungannya dengan kewarganegaraan seesorang, oleh karena hak guna usaha ini hanya untuk warga Indonesia atau badan hukum yang didirikan menutur peraturan perudang-undangan yang berlaku di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia, jadi hanya badan hukum yang dapat mempunyai hak guna usaha. Oleh karenanya tanah yang diatasnya melekat hak guna usaha yang jatuh kepada bukan warga Negara atau badan hukum Indonesia, maka jika tidak dialihkan dalam jangka saru tahun setelah tidak dipenuhi syarat-syarat tentang pemilikan, maka haknya menjadi hapus.
Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (pasal 33 Undang-undang Pokok Agraria). Maka dalam rangka jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan atas tanah dengan Hak Guna Usaha ini, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam pemberian hak guna usaha kepada pengusaha-pengusaha swasta nasional, yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1964 dan sebagian telah dicabut dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 2/Pert/OP/8/1969-8 Tahun 1969 sepanjang mengenai status tanah dengan hak guna usaha, selama hak tanggungan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Agraria belum ada peraturannya, maka hak guna usaha yang diberikan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotek atau credietverband, menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan (pasal 11).
Dalam rangka pemberian hak guna usaha ini, tanah-tanah yang dikecualikan adalah:
1.      Dikecualikan dari pemberian hak usaha baru, bagian-bagian tanah bekas areal perusahaan-perusahaan besar yang :
a.       Sudah merupakan perkampungan rakyat.
b.      Telah diusahakan oleh rakyat secara menetap.
c.       Diperlukan oleh pemerintah.
2.      Apabila di antara tanah-tanah tersebut di atas ada yang perlu dimasukkan kedalam areal perusahaan kebun yang diberikan denga hak guna usaha, maka tentang hak guna usaha tersebut penyelesaiannya harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.

3.      Hak Guna Bangunan
Yang dimaksud dengan “Hak Guna Bangunan” adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dalam waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. (Pasal 35 bersambung pasal 39 UUPA)
Sebagai sifat-sifat dan cirri-ciri hak guna bangunan dapat disebutkan antara lain :
a.       Sungguhpun tidak sekuat hak milik, namun sebagaimana halnya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan tergolong hak-hak yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan dapat dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu maka Hak Guna Bangunan termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan (pasal 38 UUPA dan pasal 10 PP No. 10 Tahun 1971);
b.      Hak Guna Bangunan dapat beralih, artinya dapat diwaris oleh ahli waris yang mempunyai hak (pasal 35 ayat 1);
c.       Sebagaimana halnya dengan Hak guna usaha, maka hak guna bangunan jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir (pasal 35 ayat 1 dan 2);
d.      Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani tanggungan, hipotik atau Credietverband (pasal 39).;
e.       Hak guna bangunan dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu bisa dijual, ditukarkan dengan benda lain, dehibahkan atau diberikan dengan wasiat (di “legat” kan). Pasal 35 ayat 3)
f.       Hak guna bangunan dapat juga dilepaskan oleh yang mempunyai hingga tanahnya menjadi tanah Negara (pasal 40 huruf c).



4.      Hak Pakai
            Yang dimaksud dengan “Hak Pakai” adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang member wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian Pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini:
Hak pakai ini dapat diberikan:
1.      Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2.      Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau jasa berupa apapun.
Pemberian Hak Pakai ini tidak boleh disertakan syarat-syarat yang mengandung unsure-unsur pemerasan.
Dengan demikian, maka sifat-sifat dari Hak Pakai :
1.      Hak Pakai atas tanah bangunan maupun tanah pertanian.
2.      Dapat diberikan oleh Pemerintah maupun oleh si pemilik tanah.
3.      Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
4.      Hak Pakai dapat diberikan dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
5.      Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dapat izin Pejabat yang berwenang, apabila penggunaan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan apabila mengenai tanah milik.
6.      Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
7.      Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung pemerasan.

C.    Hak Atas Tanah Yang Bersifat Sementara
            Ketentuan Umum. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA, yang macam-macam haknya disebutkan dalam pasal 52 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapuskan karena mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat pemerasan
1.      Hak Gadai
Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau “penebusan” tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Pasal 1151 KUH Perdata, Perjanjian Gadai harus dibuktikan dengan alat yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian pokoknya.
2.      Hak Usaha Bagi Hasil
Hak usaha bagi hasil muncul karena adanya perjanjian bagi hasil antara pihak pemilik tanah dengan penggarap dengan imbangan hasil yang telah disepakati. Perjanjian bagi hasil menurut UU No. 2 Tahun 1960 adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan hukum, yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, yang hasilnya dibagi antara kedua belah pihak menurut imbanganan yang disetujui sebelumnya.

3.      Hak Menumpang
Hak menumpang adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas tanah pekarangan orang lain (istilah menumpang = mager sari). Hak menumpang ini sebenarnya termasuk hak pakai, tetapi pada hak menumpang hubungan hukumnya lemah, mudah diputuskan oleh pemilik tanah pekarangan, karena dalam hak menumpang ini tidak dikenal bayaran.
Subjek hak menumpang : Warga Negara Indonesia.
Sifat dan cirri-ciri : Hak yang sangat lemah; tidak ada pembayaran sewa; sewaktu-waktu jika si pemilik tanah memerlukan tanahnya hak tersebut hapus, turun-temurun; tidak dapat dialihkan; terjadinya hak menumpang; karena perjanjian (izin dari pemilik tanah). Jangka waktu hak menumpang: tidak tertentu, tergantung si pemilik tanah atau rumah.
Hapusnya hak penumpang yang terkena pesangon, dicabut untuk kepentingan umum, tanahnya musnah.
4.      Hak Sewa Bangunan
Pengertian hak sewa bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.”
Hak sewa disediakan untuk bangunan-bangunan yang kiranya meliputi bangunan-bangunan untuk perumahan, tempat penyimpanan barang, gedung-gedung-gedung pabrik dan lain sebagainya. Hak sewa hanya boleh diadakan dari hak milik, di atas tanah Negara tidak boleh didirikan hak sewa. (Pasal 20-27 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria)
5.      Hak Sewa tanah Pertanian
Hak sewa tanah pertanian merupakan hak yang memberikan kewenangan untuk menguasai dan mengusahakan tanah pertanian kepunyaan orang lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 UUPA maka hak sewa tanah pertanian bertentangan dengan prinsip bahwa tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif sendiri oleh pemilik sehingga hak sewa tanah pertanian memungkinkan terjadinya pemerasan terhadap orang atau golongan lain khususnya yang tidak memiliki tanah pertanian.
Hak sewa tanah pertanian termasuk dak atas tanah yang bersifat sementara, artinya pada suatu waktu hak ini sebagai lembaga hukum tidak akan ada lagi. Bersifat sementara karena dianggap tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional.

D.    Pembebanan Hak Milik dan Hapusnya Hak Milik
            - Pembebanan Hak Milik
            Menurut pasal 25 UUPA, Hak Milik atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996).
            Syarat sah terjadinya Hak Tanggungan harus memenuhi 3 unsur yang bersifat kumulatif, yaitu:
1.      Adanya perjanjian utang-piutang antara pemilik tanah sebagai debitor dengan pihak lain (bank) sebagai kreditor, yang dapat dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta di bawah tangan.
2.      Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai perjanjian ikutan (tambahan). Adanya penyerahan Hak Milik atas tanah sebagai jaminan utang dari debitor, harus dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
3.      Adanya Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Akta pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan Kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
Prosedur pembebanan Hak Milik dengan Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 jo. Pasal 44 PP No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 114 sampai dengan Pasal 119 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 tahun 1997.

- Hapusnya Hak Milik
Pasal 27 UUPA menetapkan factor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah dan tanahnya jatuh pada Negara, yaitu :
1.      Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2.      Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3.      Karena diterlantarkan;
4.      Karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah;
5.      Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah.
Hak Milik atas tanah juga dapat dihapus karena tanahnya musnah, misalnya karena adanya bencana alam.

Adapun syarat-syarat pencabutan Hak Milik atas tanah oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
1.      Tanah yang bersangkutan benar-benar diperlukan untuk kepentingan umum;
2.      Pelaksanaan Pencabutan Hak atas tanah;
3.      Ganti kerugian pencabutan hak atas tanah.


E.     Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Guna Usaha
            Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk :
a.       Membayar uang pemasukan kepada Negara;
b.      Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
c.       Mengusaha sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan criteria yang diterapkan oleh instansi teknis;
d.      Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e.       Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.       Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai Hak Guna Usaha;
g.      Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Udaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut dihapus;
h.      Menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan pengusahaan atas tanah Hak Guna Usaha kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 12).
Hak pemegang Hak Guna Usaha, berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 Tahun 1996, pemegang hak Guna Usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha dengan mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya.

F.     Hapusnya Hak Guna Usaha
            Hak Guna Usaha hapus karena :
a.       Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan;
b.      Dibatalkannya hak oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir (karena : tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan putusan pengadilan yang telah mempunyai ketentuan hukum tetap);
c.       Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum waktunya berakhir;
d.      Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1991;
e.       Diterlantarkan;
f.       Tanahnya musnah.
Dengan hapusnya Hak Guna Usaha mengakibatkan tanah menjadi tanah Negara (Pasal 17).

G.    Pembebanan Hak Guna Usaha
Sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Buku IV Hak Atas Tanah Bab II Bagian keenam, Pembebanan Hak Guna Usaha :
(1)   Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan uang dengan dibebani Hak Tanggungan
(2)   Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Usaha.

DAFTAR PUSTAKA
Muchsin, Imam Koewahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia, dalam perspektif sejarah, Refika Aditama, Bandung, 2010
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas tanah, PT. Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2009
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Ali  Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002
Sudaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni, Bandung, 1995
Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011
Kelompok KARISMA Publishing, Seri Hukum dan Perundang-undangan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, SL Media, Tangerang
I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia,  Rineka Cipta, Jakarta, 1994
C.S.T. Kansil, Christine S. T. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, Undang-undang No.5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar