Fiqih
Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu Fiqih dan Jinayah. Pengertian Fiqih secara
bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu
fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fiqih secara istilah yang
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut :
Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’
praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fiqih adalah
himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci.
Jinayah
menurut bahasa adalah :
ﺍﺴﻢ ﻠﻤﺎ ﻴﺨﻧﻴﻪ ﺍﻠﻣﺮ ﺀ
ﻣﻦ ﺸﺮ ﻭ ﻤﺎ ﺍ ﻜﺘﺴﺑﻪ
Nama bagi hasil perbuatan seseorang
yang buruk dan apa yang diusahakan
Pengertian jinayah secara istilah fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abdul Qadir Audah adalah :
ﻓﺎ ﻠﺨﻨﺎ ﻴﺔ ﺍﺴﻢ
ﻠﻓﻌﻞ ﻣﺤﺭ ﻡ ﺸﺮ ﻋﺎ ﺴﻮ ﺍﺀ ﻮﻗﻊ ﺍﻠﻔﻌﻞ ﻋﻟﻰ ﻨﻔﺲ ﺃﻮ ﻏﻴﺮ ﺬﺍﻠﻚ
Jinayah adalah suatu istilah untuk
perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, atau
lainnya.
Dalam
konteks ini pengertian Jinayah sama dengan Jarimah. Pengertian Jarimah
sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah sebagai berikut :
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Apabila
kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fiqih jinayah itu adalah ilmu
tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah)
dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Pengertian
fiqih jinayah tersebut diatas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut
hukum positif. Musthafa Abdullah, S.H. dan Ruben Ahmad, S.H. mengemukakan bahwa
hukum pidana adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan hukuman pidana.
Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang
mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya.
B.
Sejarah
dan Kedudukan Hukum Pidana Islam
Hukum
pidana Islam atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syariat Islam yang
berlaku semenjak di utusnya Rasulullah SAW oleh karenanya, pada zaman
Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum
public, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa
yang sah atau ulil amri, yang pada
masa itu dirangkap oleh Rasulullah sendiri dan kemudian diganti oleh Khulafaur
Rasyidin.
Hukum
pidana Islam merupakan hukum publik yang dilaksanakan oleh ulil amri dapat kita lihat dalam QS. Al-Maidah : 48, yang artinya :
“Dan Kami telah turunkan kepadamu
Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya (yang kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain
itu maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang padamu.”
Ayat
ini menegaskan tentang adanya kewajiban untuk menerapkan dan melaksanakan hukum
syariat Islam yang bersumber dari kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah yaitu
Al-Qur’an. Kewajiban tersebut ditugaskan kepada Rasulullah dalam fungsi
rangkapnya sebagai ulil amri. Dengan
demikian hukum pidana Islam bukanlah hukum yang dilaksanakan oleh perorangan
(individu), melainkan diatur dan dilaksanakan oleh ulil amri selaku wakil dari
seluruh rakyat.
Kewajiban
ulil amri dalam melaksanakan hukum
pidana Islam ini, juga dapat dilihat dalam hampir setiap ayat yang berkenaan
dengan hukuman. Seperti hukuman pencurian (QS. Al-Ma’idah : 38), zina (QS.
An-Nuur : 2), penuduhan zina (QS. An-Nuur : 4) dan lain-lain, selalu
disampaikan dalam bentuk amar dan jamak. Ini berarti bahwa perintah tersebut
bukan ditujukan kepada individu (perorangan), malainkan kepada pemerintah (ulil amri) selaku wakil dari seluruh
masyaratkat.
C.
Sumber
Hukum Pidana Islam
Membicarakan
sumber hukum pidana Islam bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran agama
Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaatinya. Tujuan
dimaksud akan diungkapkan : (1) sistematika dan hubungan sumber-sumber ajaran
agama dan kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman dan kerangkan kegiatan umat
Islam, (2) mempelajari areti dan fungsi petunjuk As-Sunnah sebagai sumber
penjelasan autentik Al-Qur’an dan perannya sebagai petunjuk bagi kehidupan umat
muslim, dan (3) membahas kedudukan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat
untuk melaksanakan ijtihad. Selain itu, diungkapkan peran ijtihad sebagai
sumber pengembangan nilai ajaran Islam dan unsure-unsur Hukum Pidana Islam.
Sistematika
sumber ajaran Islam terdiri atas : (1) Al-Qur’an, (2) As-Sunnah, dan (3) Ar-Ra’yu. Sistematika dimaksud diraikan
sebagai berikut.
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah sumber ajaran Islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah yang
disampaikan kepada nabi Muhammad SAW. Diantara kandungan isinya ialah
peraturan-peraturan hidup yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan Allah, hubungannya dengan perkembangan dirinya,hubungannya dengan sesama
manusia dan hubungannya bersama alam dan makhluk lainnya. Al-Qur’an memuat
ajaran Islam, diantaranya : (1) Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah,
Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, Qhada dan Qhadar dan sebagainya. (2)
prinsip-prinsip syariah mengenai ibadah khas (shalat, puasa, zakat dan haji)
dan ibadah umum (perekonomian, pernikahan, pemerintahan, hukum pidana, hukum
perdata dan lain sebagainya). (3) janji kepada orang yang berbuat baik dan
ancaman kepada yang berbuat jahat
(dosa). (4) sejarah Nabi-Nabi yang terdahulu, masyarakat dan bangsa-bangsa
terdahulu. (5) Ilmu pengetahuan mengenai ilmu ketauhidan, agama, hal-hal yang
menyangkut manusia, masyarakat, dan yang berhubungan dengan alam.
2.
Sunnah
Sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan
sumber ajaran Islam yang kedua. Karena, hal-hal yang diungkapkan oleh Al-Qur’an
yang bersifat umum atau memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad SAW
menjelaskan melalui sunnah. Sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan
Nabi Muhammad SAW (Af’alu, Aqwalu, dan
Taqriru).
3.
Ar-Ra’yu
Ar-Ra’yu atau penalaran adalah
sumber ajaran Islam yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam
menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah yang bersifat umum. Hal itu
dilakukan oleh ahli hukum Islam karena memerlukan penalaran manusia. Oleh
karena itu, Ar-Ra’yu, mengandung
beberapa pengertian diantaranya :
a. Ijma’
Ijma’ adalah
kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin
pada masa atas sesuatu hukum sesudah masa Nabi Muhammad SAW.
b. Ijtihad
Ijtihad adalah
perincian ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan AL-Hadist yang
bersifat umum. Orang yang melakukan perincian dimaksud disebut mujtahid. Mujtahid adalah orang yang
memenuhi persyaratan melakukan perincian dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist
yang bersifat umum.
c. Qiyas
Qiyas adalah
mempersamakan hukum suatu perkara yang belumada ketetapan hukumnya dengan suatu
perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan hukum dimaksud
didasari oleh adanya unsure-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya
dengan yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut Illat.
d. Istishan
Istishan adalah
mengecualikan hukum suatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang
sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya.
Pemgecualian yang dimaksud dilakukan karena ada dasar yang kuat. Sebagai
contoh, wanita itu sejak dari kepalanya sampai kakinya aurat. Kemudian
diberikan Allah dan Rasul keizinan kepada manusia melihat beberapa bagian
badannya bila dianggap perlu.
e. Maslahat
mursalah
Maslahat
mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan
(kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan
umum maupun ketentuan khusus. Sebagai contoh mendahulukan kepentingan umum dari
kepentingan pribadi dan golongan.
f. Sadduz zari’ah
Sadduz zari’ah ialah
menghambat/menutup sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak
kerusakan. Sebagai contoh, melarang orang meminum seteguk minuman memabukkan
(padahal seteguk itu tidak memabukkan) untuk menutup jalan kepada meminum yang
banyak.
g. Urf
Urf adalah
kebiasaan yang sudah turun-temurun tetapi tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Sebagai contoh jual beli dengan jalan serah terima, tanpa mengucapkan ijab-qabul.
D.
Jenis-jenis
Hukuman dalam Hukum Pidana Islam
Jenis
Hukuman yang menyangkut tindak pidana criminal dalam hukum pidana Islam terbagi
atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukum yang pasti mengenai berat ringannya
hukuman termasuk qishash dan diat yang tercantum di dalam al-Qur’an
dan Hadist. Hal dimaksud disebut hudud,
(b) ketentuan hukum yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut ta’zir. Hukum public dalam ajaran Islam
adalah Jinayah yang memuat aturan
mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah
ta’zir. Jarimah adalah perbuatan
tindak pidana. Jarimah Hudud adalah
perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumannya di dalam Al-Qur’an
dan sunnah Nabi Muhammad SAW, lain halnya dengan Jarimah Ta’zir. Jarimah
Ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya
ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.
E.
Sejarah
Hukum Pidana di Indonesia
Babak
Hukum Pidana tertulis di Indonesia dapat dibagi atas :
a. Zaman
VOC
b. Zaman
Hindia Belanda
c. Zaman
Jepang
d. Zaman
Kemerdekaan
a)
Zaman
VOC
Disamping
hukum adat pidana yang berlaku bagi penduduki asli di Indonesia oleh penguasa
VOC mula-mula diberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana.
Pada
tahun 1642 Joan Maetsuycker bekas Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas
dari Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat
yang diberi nama Statute van Batavia pada
tahun 1650 himpunan itu disahkan oleh Heeren
Zeventien.
Menurut
Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah :
1) Hukum
statute yang termuat di dalam : Statuten
van Batavia.
2) Hukum
Belanda kuno.
3) Asas-asas
hukum Romawi.
Hubungan
hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai pelengkap, jika
statute tidak dapat menyelesaian masalah maka hukum Belanda kuno yang
diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak
(slaven recht).
Statuta
romawi berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya yang mempunyai batas utara :
pulau-pulau Teluk Betawi, di Timur : sungai Citarum, di Selatan : samudera
India, di Barat : sungai Cisadane.
Ini
merupakan teori saja, karena prakteknya orang pribumi tetap tunduk kepada hukum
adatnya. Daerah lain tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya
dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya.
Di
daerah Cirebon berlaku papakem Cirebon
yang mendapat pengaruh VOC.
Pada
tahun 1848 dibentuk lagi intermaire
stavbepalingen.
Barulah
pada tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis.
Mulai
tanggal 10 februari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
1. Het
Wetboek van Strafrecht Voor Europeanen (Stbl. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi
golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan ordonansi tanggal 6 Mei
1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing.
2. Het
Wetboek van strafrecht Inlands En Daarmede Gelickgeestelde (Stbl. 1872 Nomor
85), mulai berlaku 1 Januari 1873.
b)
Zaman
Hindia-Belanda
Sebagai
diketahui dari tahun 1811 sampai tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan
Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan konvensi London 13 Agustus 1814, maka
bekas Koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda. Pemerintah Inggris diserahterimakan
kepada komisaris Jenderal yang dikirim dari Belanda.
Dengan
regerings reglement 1815 dengan tambahan (subleoire instructie 23 September
1815) maka hukum dasar pemerintah koloni tercipta.
Agar
tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus
1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua
peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan. Pada umumnya
masih berlaku statuta Betawi yang baru, dan untuk orang pribumi hukum adat pidana
masih diakui asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui dan
perintah-perintah, begitu pula undang-undang dari pemerintah.
Kepada
Bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang
didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan, yaitu :
I. Yang
dipidana kerja rantai;
II. Yang
dipidana kerja paksa.
Yang
terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah.
Dalam
prakteknya, pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara:
-
Kerja paksa
dengan dirantai dan pembuangan;
-
Kerja paksa
dengan dirantai tetapi tidak dibuang;
-
Kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang.
Dengan
sendirinya semua peraturan terdahulu tidak berlaku lagi.
KUHP
yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut adalah salinan dari code penal yang
berlaku dinegeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku
di Indonesia terdiri hanya atas dua buku, sedangkan code penal terdiri atas
empat buku.
KUHP
yang berlaku bagi golongan Bumi Putra juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan
Eropa,tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun,
pidananya lebih berat dari KUHP Belanda 1886.
Oleh
karena itu, perlu pula ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi
di Negeri Belanda.
Pertama
kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya crimineel wetboek voor koninglijk Holland
1809.
Kitab
Undang-undang 1809 memuat cirri modern di dalamnya menurut Vos, yaitu :
1. Pemberian
kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana;
2. Ketentuan-ketentuan
khusus untuk penjahat remaja;
3. Pengahapusan
perampasan umum.
Tetapi
kodifikasi ini umurnya singkat, karena masuknya Perancis dengan Code Penalnya
ke Negeri Belanda pada tahun 1811.
System
pidana di dalam Code Penal lain
sekali jika disbanding dengan kodefikasi 1809. Diperkenalkan lagi perampasan
umum dengan Gouv, Besluit 11 Desember 1813 diadakan beberapa perubahan misalnya
tentang perampasan umum, tapi diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati dengan cara Prancis guillotine diganti dengan penggantungan
menurut system Belanda kuno.
Belanda
terus mengadakan perubahan-perubahan, juga usaha menciptakan KUHP nasional,
tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan-perubahan sebagian-sebagian. Pidana
system sel yang berlaku dengan Undang-undang 28 Juni 1851 Stbl 68 diperluas
dengan Undang-undang 29 Juni 1854 Stbl 102, pidana badan harus dihapus, jumlah
pidana mati dikurangi, sejumlah kejahatan ringan (wanbedriff). Pidana terhadap percobaan diperingan disbanding dengan
delik selesai. Kemudian, 17 september 1870 Stbl 162 pidana mati dihapus.
Dengan
KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia Negara yang menyelesaikan
rancangan pada tahun 1875. Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan
tersebut Twee de Kamer. Diperdebatkan
di dalam Staten Generaal dengan
Menteri Modderman yang sebelumnya adalah anggota Panitia Negara itu. Dan
tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru, yang mulai berlaku pada
tanggal 1 September 1886.
Jarak
antara disahkan dan berlakunya KUHP Belanda selama 5 tahun karena dengan system
pidana sel perlu dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru, di samping perlu
diciptakan undang-undang baru seperti undang-undang kepenjaraan dan lain-lain.
Setelah
berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886 dipikikanlah oleh
Pemerintah Belanda, bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu 1866 dan 1872 yang
banyak persamaannya dengan Code Penal Prancis,
perlu diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru Belanda tersebut.
Berdasarkan
asas konkordansi (corcondantie)
menurut Pasal 75 Regerings Reglement,
dan 131 Indische Staatsregeling, maka
KUHP di Negeri Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia
Belanda dengan penyusunan pada situasi dan kondisi setempat.
Semula
direncanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan
golongan Bumiputera yang baru. Dengan Koninklijk
Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP untuk golongan
Eropa.
Setelah
selesai kedua rancangan tersebut. Menteri jajahan Belanda Mr Idenburg berpendapat
bahwa sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia-Belanda, jadi berupa unifikasi.
Sesuai
dengan ide Menteri Edinburg tersebut maka dibenruklah komisi yang menyelesaikan
tugasnya pada tahun 1913. Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1915 dan diundangkan
pada September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek
van strafrecht voor Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan
penduduk. Dengan Invoeringsverordening berlakulah
pada tanggal 1 Januari 1918 WvSI tersebut.
Peralihan
dari masa dualism, yaitu dua macam Wvs untuk dua golongan penduduk menurut
Jonkers lebih bersifat formel daripada materiel. Ide unifikasi bukan hal yang
baru. Statute Betawi 1642 dan ketentuan pidana materiel. Ide Unifikasi bukan
hal yang baru. Statute Betawi 1642 dan ketentuan pidana intermair 1848 berlaku
untuk semua golongan penduduk. Sebenarnya kedua WvS 1866 dan 1872 tersebut juga
hampir sama, yang kedua merupakan salinan dari yang pertama kecuali system
pidananya. Tetapi perbedaan antara kedua golongan penduduk, yaitu golongan
Eropa dan Bumiputera –Timur Asing mewarnai juga perumusan-perumusan delik di
dalam WvS tersebut, misalnya Pasal 284 (mukah = overspel) bagi laki-laki hanya berlaku bagi golongan Eropa (yang
tunduk pada pasal BW.
c)
Zaman
Pendudukan Jepang
WvSI
tetap brlaku pada zaman kependudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada
undang-undang (Osamu Serei) Nomor 1
Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan
peralihan Jawa dan Madura.
Pasal
3 Osamu Serei tersebut berbunyi :
“Semua
badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-undang dari pemerintah
yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan-atuan pemerintah
militer.”
Jadi,
hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan raja/ratu
yang tidak berlaku lagi.
Peraturan
yang semacam dikeluarkan juga di luar pulau Jawa dan Madura.
Dibandingkan
dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah,
karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini teratur di dalam Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal
20 September 1942.
d)
Zaman
Kemerdekaan
K1945
keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi
kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
mengatakan :
“Segala
badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar ini.”
Untuk
memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan suatu
peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut peraturan Nomor 2 yang berbunyi :
“Untuk
ketertiban masyarakat berdasarkan atas Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Pasal II berhubung dengan pasal IV Kami presiden
menetapkan peraturan sebagai berikut :”
Pasal 1
“Segala badan-badan Negara dan
peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang
tersebut.”
Pasal 2
“Peraturan ini
mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Barulah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas
WvSI.
Ditentukan
di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana berlaku
sekarang (mulai 1946) ialah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 maret 1942
dengan pelbagai perubahan dan penambahan
yang disesuaikan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan
nama Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek
van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Perubahan-perubahan
yang diciptakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terhadap Wetboek van Strafrecht 8 Maret Tahun
1942 (saat mulai pendudukan Jepang) ialah :
1) Pasal
V yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian
sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia
sebagai Negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak
berlaku.
2) Pasal
VI mengubah dengan resmi nama Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (saja) yang dapat disebut juga dengan nama
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3) Pasal
VIII membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHP itu
sebanyak 68 ketentuan.
4) Diciptakan
delik-delik baru yang dibuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI, tetapi
kemudian dengan Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 Pasal XVI tersebut dicabut.
Tentulah
harus diingat bahwa teks asli Wetboek van
Sharfrecht atau KUHP itu sampai kinipun masih di dalam bahasa Belanda,
kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya
sudah tentu dalam bahasa Indonesia.
Jadi,
apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum (hakim, jaksa, polisi dan
pengacara) adalah terjemahan di dalam bahasa Indonesia, yang corak tagamnya
tergantung pada selera penerjemah dan saat penerjemahan sama halnya dengan yang
dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.
Sebagai
sejarah perlu diingat, bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai dengan 1949 kembali
lagi ke Indonesia menduduki beberapa wilayah, dan bertambah luas sesudah Aksi Militer I, terutama meliputi kota-kota
besar di Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang,
Surabaya, Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh Nusatenggara,
Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Irian Barat.
Untuk
wilayah-wilayah yang diduduki Belanda itu de
Facto tidak diberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, kecuali untuk
wilayah Sumatera yang diduduki oleh Belanda sesudah Aksi Militer I, ditetapkan
bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (peraturan RI).
Untuk
daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda tersebut diberlakukan Wetboek van strafrecht voor Nederlandsch
–Indie yang kemudian diubah namanya menjadi Wetboek van Strafrecht voor Indonesie berdasarkan Ordonasi tanggal
21 September 1948 Stbl 1948 Nomor 224, mulai berlaku 22 September 1948, dan
semua kata-kata Nederlandsch –Indie di
dalam WvS tersebut diganti dengan “Indonesie”.
Begitu pula istilah Staatsblad van
Nederlandsch Indie (Lembaga Negara Hindia Belanda) diganti menjadi Staatsblad van Indonesie.
F. Hukum Pidana Islam
Kebutuhan dan desakan kearah tersebut telah menjadi
kontroversi,di antaranya perumusan delik-delik dalam rancangan
kuhp.kriminalisasi sejumlah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan
pelangaran telah dikonstruksi dari hukum islam, seperti tindak pidana
kesusilaan,santet,kumpul kebo,dan permukaan(zina).apabila nilai-nilai islam
telah menyatu dengan hukum positif indonesia,persoalan yang lebih kompleks
adalah upaya inplementasinya(lau
enforcement) serta hukum beracara, penyidikan, dan pembuktiannya. Hal ini
akan menjadi pekerjaan rumah bagi umat islam khususnya cendekiawan hukum Islam.
1.
Apakah terjadi Islamisasi
Perdebatan mengenai “Islamisasi’ KUHP menjadi semakin
meruncing yang berawal dari statement menkeh Yusril Ihza Mahendra yang
menegaskan bahwa dalam merevisi KUHP, selain mengacu ke belanda, juga akan
mengadopsi hukum adat,konvensi internasional dan hukum islam.ironisnya,yang
kemudin lebih mencuat adalah adopsi hukum islam. RUU KUHP dipandang sebagai islamisasi
kuhp”menyusun kuhp baru dengan mengedepankan
agama tertentu sangat beresiko dalam masyarakat yang pluralis seperti
indonesia,”tandas robertus robet,wkil di rektur yayasan lembaga bantuan hukum
indonesia(ylbhi).
Tudingan islamisasi itu memang menguat apalagi melihat
latar belakang sang menteri dan pembantunya. Yusril tidak lain adalah ketua
umum partai bulan bintang, sebuah partai yang mengusung agenda pemberlakuan
piagam jakarta. Sementara dibawahnya ada prof. Abdul gani abdullah, dirjen yang
mengurusi pembuatan peundang-undangan. Prof. Gani tidak lain adalah guru besar
dari komunitas institut agama islam negeri/iain(sekarang uin).namun, argumen
ini dengan mudah dipatahkan.sebab, draf ruu kuhp sudah selesai disusun
pada1992, jauh sebelum yusril dan abdull gani menjabat.
2.delik kesusilaan
Terdapat
sejumlahpasal yang selama ini dianggap merujuk kepada konsep hukum islam.
Pengaruh islam paling jelas terlihat pada pasal-pasal kesusilaan, khususnya
perzinaan. Draf ruu memperkenalkan istilah baru bernuansa islami,yaitu pasal permukaan (overspel, adultry).konsep
tersebut ternyata menimbulkan reaksi berbagai kalangan khususnya kelompok yang
tidak menginginkan terjadinya
‘dewesternisasi”hukum pidana menuju kearah kriminalisasi yang bernuasa
islami.
Berikut pernyatan menteri kehakiman dan ham memberikan
penjelasa:
“kami mengganti definisi perzinaan dari hukum belanda ke
hukum islam,”aku yusril terus terang. Hasilnya?semula pasal kesusilaan hanya
sembilan belas (281-289), kini di ruu terdapat tiga puluh pasal
(411-441).pasal-pasal kesusilaan dirancang oleh dua anggota tim,prof. Muladi
dan prof. Barda nawawi arief.”
Dengan demikian, telah terjadi penambahan sebanyak
sebelas pasal dalam delik kesusilaan.
Sedangkan andi hamzah berpendapat lain bahwa jepang dan hampir seluruh eropa
telah mencabut delik permukahan dari kuhp mereka karena dipandang sebagai victimlesscrime,maka di indonesia justru
diperluas. Selain memperluas makna permukahandan zina, ancaman pidananya pun
dinaikkan dari maksimum 9 bulan menjadi
lima tahun penjara. Dengan konsep kuhp lama (yang sekarang berlaku), delikzina
hanya bisa dikenakan kepada mereka yang salah satunya sudah menikah. Kuhp tidak
menjerat perzinaan yang dilakukan oleh pasangan muda mudi atas dasar suka sama
suka. Namun kini, dengan masuknya pasal baru, pasangan muda mudi tadi bisa dipidana.
Ini merupakan adopsi pandangan islam mengenai zina. Tim penyusun memasukan
aturan ini, sebagaimana diakui prof. Muladi, melihat dampak banyaknya muda mudi
yang hamil diluar nikah.
Perumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 420 ruu tegas menyebut”laki-laki dan perumpuan yang
masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan,
dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana
penjara paling lama stu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.tetapi
berlaku tidak akan dituntut kecuali ada pengaduan dari anggota keluarga hingga
derajat ketiga, kepala adat atau kepala desa setempat.
Pengaruh Islam tampaknya bukan hanya berkutat pada pasal
susila, melainkan juga pembunuhan. Menurut
konsep KUHP sekarang, seorang pelaku pembunuhan berat praktis dihukum
karena dianggap merugikan seluruh masyarakat. Namun, di Indonesia, kerugian
lebih banyak dirasakan keluarga. Menurut konsep Islam, anggota keluarga korban
pembunuhan punya andil menentukan hukuman kepada pelaku, atau justru memberikan
maaf.
Konsep maaf (afwan)
ini memang sejalan dengan konsep Al-Qur’an. “Hai Orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu qishas berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang yang merdeka, hamba dengan
hamba, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu permaafan
dari saudaranya, hendaklah ia mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah ia
memberi diyat kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik pula”
Ruu kuhp menganut dua sistem pidana, yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan. Diatur pada pasal 60, pidana pokok terdiri dari pidana
penjara,pidana tutupan ,pengawasan,denda,dan kerja sosialse sedangkan pidana
tambahan meliputi pencabutan hak tertentu,perampasan barang tertentu atau
tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan
kewjiban adat. Namun, patut dicatat,
bahwa ruu masih mengenal pidana mati (Pasal 61).
Tentu saja, konsep kuhp mengenai pemidanaan berbeda
dengan hukum islam. Dalam pidana islam,demikian topo santoso dalam bukunya menggagas hukum pidana islam,hukuman
tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi
pencegahan dan perbaikan.sebagai perbandingan barangkali menarik untuk
melihat jenis-jenis tindak pidana dan
hukumanya menurut konsep Islam.
G. Hukum Pidana Positif di Indonesia
Apabila
orang membicarakan tentang hukum pidana yang
kini berlaku di indonesia, maka
yang terbayang adalah kitab undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) peninggalan penjajah Belanda.151 hal ini tidak benar
sepenuhnya,sebab d samping KUHP tadi,hukum pidana indonesia juga terdapat pada
beberapa Undang-undang pidana lain (seperti UU No.31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, UU tindak pidana ekonomi, dan sebagainya),
dan pada ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalan berbagai undang-undang
nonpidana (misalnya pada UU pendidikan, UU pemilu, UU parpol, UU kesehatan, UU
pers, dan sebagainya).
Hukum pidana
yang di jelaskan di atas biasanya juga d sebut hukum pidana dalam arti sempit
atau hukum pidana materiil.Apabila ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum
pidana materiil itu di langgar, maka di perlukan hukum pidana formal yang d
atur dalam kitab Undang-Undang hukum
acara pidana (KUHAP).152 sebagai undang-undang juga memuat sedikit ketentuan
hukum acara pidana yang merupakan pengecualian dari yang di atur dalam KUHAP,
misallnya yang terdapat dalam UU No.31 Tahun 1999.
Di dalam
KUHP diatur diatur batas-batas berlakunya aturan pidana; dasar penghapus, dan peringan
pidana; penyertaan melakukan tindak pidana; serta gabungan tindak pidana, dan
sebagainya. Pada intinya, tindak pidana dibedakan menjadi dua macam : kejahatan
dan pelanggaran. Contoh dari kejahatan yang diatur dalam KUHP adalah kejahatan
terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan tentang
sumpah palsu dan keterangan palsu, kejahatan terhadap kesusilaan, kejahatan
penghinaan, kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan, pencurian, dan sebagainya.
Sedangkan berbagai tindak pidana yang sifatnya kurang serius dimasukkan dalam
jenis pelanggaran.
Hukum
pidana yang berlaku di Indonesia hingga kini merupakan peninggalan penjajahan
Belanda yang dilandasi oleh falsafah yang berbeda dengan falsafah yang dianut
bangsa Indonesia, seperti mengutamakan kebebasan, menonjolkan hak-hak individu,
dan kurang berhubungan dengan moralitas. Dalam soal kejahatan terhadap
kesusilaan misalnya, KUHP tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan
seperti ini : a) dilakukan suka sama suka dan keduanya belum menikah (Fornication) ; b) dilakukan suka sama
suka oleh sesama sesama jenis kelamin (Homoseksual);
c) dilakukan suka sama suka dan salah seorang atau keduanya sudah terikat
perkawinan (Adulteri) tetapi tidak
ada pengaduan dari istri ; atau suami pelaku; d) dilakukan dengan binatang (Destialiti); e) kumpul kebi dan
lain-lain.
Perzinaan yang diancam hukuman oleh KUHP adalah perzinaan
oleh dua orang yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan (adulteri) dan
diadukan oleh istri atau suami pelaku zina. Hukumannya adalah maksimal 9 bulan
penjara. Filosofi yang mendasari pengaturan semacam itu biasa tercermin dari
ungkapan, “biarkan hukuman berhenti didepan kamar tidur”
Boleh jadi, akibat pengaturan delik susila yang sangat
longar itu dunia barat menghadapi
peningkatan kebebasan seksual. Indonesia pun ternyata tidak luput dari
pengaruhnya. Kebebasan seksual meningkat tajam. Terbukti dari berbagai survei
dan kajian yang dilakukan diberbagai kota. Akibatnya, bagi masyarakat yang
memegang teguh agama, moral dan susila, kebebasan sosial tadi tidak bisa
diterima sehingga muncullah berbagai macam reaksi masyarakat yang kurang
sistematis. Sementara itu, ancaman pidana yang dijatuhkan oleh para hakim
disidang pengadilan sering kali tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat,
khususnya korban kejahatan dan keluarganya. Berbagai kejahatan dengan kekerasan
seperti perampokan, pencurian, pembunuhan perkosaan, penganiayaan yang setiap
hari terjadi didepan mata masyarakat, hanya diganjar hukuman ringan. Ditambah
dengan faktor multi dimensi dan lemahnya penegakkan hukum, masyarakat yang
terhimpit berbagai beban bangkit melakukan perlawanan secara masal terhadap
berbagai macam kejahatan tadi dan akibatnya sering sangat fatal. Kita kerap
menyaksikan bagaimana tindak pencurian ayampun diganjar masa dengan pembakaran
hidup-hidup. Lebih tragis lagi ketimpangan sanksi begitu terlihat didepan mata
kita. Betapa mudahnya petugas hukum menangkap dan mengadili para penjahat
jalanan (street criminalis), tapi
betapa sulit, lama, dan alotnya menangkap “penjahat elit” di negeri ini. Orang
menyaksikan adanya Ekuality Before the Law dalam hukum kita. Inilah sekilas
gambaran atau potret hukuman pidana positif yang kini ada di Indonesia.
H.
Penegakkan Syariat Islam
Bagi umat Islam, tidak ada pilihan lain selain meyakini
bahwa menjalankan syari’at Islam merupakan bagian dari menjalani dien
(Agama)nya secara kaffah. Kalau kini banyak terungkap keinginan untuk
menegakkan syari’at Islam diberbagai tempat, kelahirannya bukan karena terlanda
euforia demokrasi atau revormasi
serta kebebasan. Hal itu lahir karena kesadaran umat Islam terdapat perbedaan
hukum barat yang berasal dari akal pikiran manusia dengan syariat Islam yang
bersumber dari dua rujukan hidup yang falid, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Maka, hukum Islam dipandang paling sesuai dengan rasa keadilan. Syari’at Islam
dipandang paling bisa memenuhi lima kebutuhan dasar hidup manusi (maqashidusi
syariah al-khamsa), yakni melindungi din (agama), jiwa, harta, akal dan
keturunan.
Karena syariat Islam berfungsi melindungi kepentingan
hidup paling mendasar tadi maka ia harus dilaksanakan. Melalui penegakkan
syariat Islam inilah hukum pidana Islam lahir menjadi kenyataan dan dapat
menunjukkan fungsinya. Persoalannya adalah bagaimana penegakkan syariat Islam
dalam konteks kehidupan kita saat ini? Apapula implikasi penegakkan syariat
Islam?
Seperti dikemukakan diatas, sebagian dari syariat Islam,
khusunya yang terkait dengan segi-segi perdata, telah dijalankan di Negeri kita
saat ini (sebagaimana juga di negeri-negeri muslim lainnya). Sedangkan untuk
penegakkan hukum pidana Islam, masih banyak kendala yang menghadang.
Kendala-kendala itu dapat berupa :
1.
Kendala kultural atau sosiologis, yakni adanya umat Islam
yang masih belum bisa menerima;
2.
Kendala Fikrah (pemikiran), yaitu banyaknya pandangan
negatif terhadap hukum pidana Islam dan kurang yakin dengan efektifitasnya;
3.
Kendala filofosis, berupa tuduhan bahwa hukum ini tidak
adil bahkan kejam dan ketinggalan jaman serta bertentangan dengan cita-cita
hukum Nasional;
4.
Kendala Yuridis yang tercermin dari belum adanya
ketentuan hukum pidana yang bersumber dari syariat Islam;
5.
Kendala konsolidasi, yakni belum bertemunya para
pendukung pemberlakuan syariat Islam (dari berbagai kalangan) yang masih saling
menonjolkan dalil (argumen) dan metode penerapannya masing-masing;
6.
Kendala akademis, terlihat dari belum meluasnya
pengajaran hukum pidana Islam di sekolah atau kampus-kampus;
7.
Kendala perumusan yang terlihat dari belum adanya upaya
yang sistematis atau merumuskan yang sesuai syariat Islam sebagai persiapan
mengganti hukum pidana baru;
8.
Kendala struktural yang terlihat dari belum adanya
struktur hukum yang terdapat mendukung penerapan syariat Islam;
9.
Kendala ilmiah, tercermin dari kurang banyaknya literatur
ilmiah yang mengulas Hukum Pidana Islam dan;
10. Kendala politis,
terlihat dari tidak cukupnya kekuatan politik untuk menggolakkan penegakkan
syariat Islam melalui proses-proses-proses politik.
Kendala-kendala diatas seyogyanya menjadi perhatian
bersama semua komponen yang berjuang untuk menegakkan syariat Islam di negeri
ini. Tentu perlu diingat bahwa penegakkan hukuman pidana Islam disini harus
sinkron dan terkait dengan penegakkan syariat Islam secara luas.
I. Kendala bagi penerapan syariat Islam di Indonesia
Mengamati pergumulan di media masa, kita mendapati
gambaran atau cermin keberatan terhadap penegakkan syariat Islam yang berasal
dari kalangan umat Islam sendiri. Di media masa pernah dikemukakan sinisme
berikut : “tapi mengapa kita masih selalu memperbincangkan Islam? Tidakkah kita
sadar bahwa kita hidup dalam komunitas yang majemuk baik secara etnis, budaya,
dan agama?” pada bagian lain tertulis pula : “apalagi legislasi syariat Islam
belum tentu menjamin terciptanya keadilan hukum di masyarakat.” Tulisan di atas
ditutup dengan pertanyaan : “masih relefankah penerapan syariat Islam di
Indonesia? Sekali lagi quo vadis syariat Islam?”
Tulisan senada banyak tersebar di masyarakat sejak dulu
hingga detik ini. Masih banyak keraguan atas penerapan syariat Islam di
lingkungan majemuk. Padahal, syariat Islam pernah diterapkan untuk waktu yang
lama di daerah yang sangat luas dengan kultur, bahasa, dan agama yang
berbeda-beda sejak masa Nabi SAW, para sahabat, tabi’in, hingga khalifah Turki
Utsmani bahkan hingga kini di beberapa negara. Tetapi bagaimanapun juga, inilah
salah satu kendala yang harus dijawab para pendukung penerapan syariat Islam.
Kendala kedua adalah belum paduannya umat Islam untuk
menegakkan syariat Islam. Para pendukung syariat Islam itu begitu marah bila
syariat Islam dilecehkan, tapi tidak pandai menggalang perlawanan guna
mewujudkan harapannya itu. Umat Islam belum mampu menggalang sinergi yang besar
untuk memperjuangkan syariat Islam. Lebih memperhatikan lagi, diantara para pendukung
penerapan syariat Islam, acap kali menonjolkan metodenya masing-masing dalam
mencapai cita-cita itu. Pada saat yang sama, menyerang pemikiran dan usaha umat
Islam lain.
Satu kelompok mengklaim bahwa satu-satunya metode yang
valid adalah dengan mewujudkan lebih dulu suatu “Negara Islam”. Pihak lain
menjadikan agenda penegakkan “Kekhalifahan Islam” sebagai satu-satunya solusi
untuk penegakkan syariat. Satu pihak lain mementingkan perjuangan secara
politis dan mengkritik perjuangan kultural dengan membina pemahaman masyrakat.
Sementara itu, ada pula pihak yang begitu gigih memperjuangkan tegaknya syariat
Islam to the point’ secara langsung
dengan cara memberantas setiap bentuk kemaksiatan dihadapannya dan kurang
memperdulikan perjuangan secara yuridis konstitusional. Jadi, tantangan besar
umat Islam adalah menggalang satu sinergi besar yang sistematis, konstruktif,
serta dibekali hujjah/reasoning untuk melakukan perjuangan dalam kaitan
penerapan syariat Islam.
J.
Hukum
Islam dan Pemeluknya di Indonesia
Huku km yang berlaku di Indonesia di dominasi
oleh system hukum yang merupakan warisan colonial Belanda yang menganut system Civil Law. Selain itu, eksistensi hukum
adat masih memiliki nuansa yang signifikan, khususnya di beberapa daerah di
Indonesia yang mempunyai stage of
development berbeda-beda antar wilayah yang satu dengan yang lainnya.
Komposisi
antara element system hukum tersebut di Indonesia sangat tampak dalam kurikulum
fakultas hukum di seluruh Indonesia. Tidak dapat dipungkiri system hukum warisan
colonial menempati posisi yang dominan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Substansi hukum Islam dan hukum adat tidak lebih sebagai mata kuliah
komplementer. Dengan kata lain, realitas hukum dan realitas empiris komunitas
yang diaturnya terdapat kesenjangan yang serius. Bahkan pemuka-pemuka di
Indonesia banyak yang mempelajari dan mendalami Islam atau pengetahuan lainnya
dari Negara non-Muslim, seperti Amerika, Eropa, termasuk di Belanda yang telah
menjajah kita. Bahkan tidak mungkin, proses brain
washing dan culture adjustment
dialami para pemuka, pemimpin umat Islam dengan mindset Barat.
Penyebaran
Islam di Indonesia telah mendapat respons dan tempat tersendiri, khususnya sebagai
suatu spirit untuk membebaskan diri dari kolonialisme barat. Namun demikian,
system hukum relative Islam tidak membumi dan melembaga sebagaimana halnya
system hukum Barat. Hal ini tidak saja dialami oleh Indonesia, tetapi hampir
seluruh Negara yang memiliki system hukum adat, Islam atau non-Barat lainnya
secara pelan tetapi pasti akan termarjinalisasikan oleh hukum sekuler Barat.
Dengan
demikian, umat Islam berhukum pada system hukum non-Islam serta mengambil sikap
yang bervariasi terhadap system hukum positif di Indonesia :
1. Umat
Islam berhukum pada system Hukum Barat (BW, KUHP, KUHAP dan hukum positif
lainnya di luar itu);
2. Umat
Islam berhukum pada system hukum Islam (selektif);
3. Umat
Islam berhukum pada sebagian hukum Islam dan sebagian hukum Barat serta hukum
adat.
K.
Benturan
Antarsistem Hukum
Setiap
muslim memahami betul bahwa agama mengatur segala aspek kehidupan dan tidak ada
dikotomi antar wilayah politik, agama, dan social, sehingga Islam juga
sekaligus merupakan norma hukum, nirma bermasyarakat, dan bernegara. Dalam
konteks pluralitas masyarakat Indonesia, sangat dimungkinkan coalition of norm ata berbenturan norma
sebagai berikut :
1. Kontraksi
antara hukum Islam dengan hukum positif;
2. Konntraksi
antara hukum Islam dengan adat atau urf;
3. Kontraksi
antara hukum positif dengan hukum adat.
Sebagai
contoh, terjadinya kontraksi antara hukum Islam dengan hukum positif bahwa seseorang
yang (terikat pernikahan), melakukan zina, menurut syariat Islam harus dirajam
atau dilempar dengan batu sampai mati dan apabila pelaku zina belum terikat
pernikahan dihukum dengan dicambuk seratus kali. Penerapan sanksi hukum
tersebut tidak bisa dibenarkan menurut hukum positif. Pasal penganiayaan yang
mengakibatkan matinya orang lain bisa dikenakan pada si eksekutor. Contoh lain
adalah perbedaan konstruksi hukum mengenai zina antaa konsep Islam dengan KUHP
sebagai hukum positif terdapat perbedaan, yakni zina menurut Islam tidak
mensyaratkan terikat oleh perkawinan sedangkan HUHP sebaliknya, yakni salah
satu pelaku atau kedua-duanya terikat perkawinan. Demikian pula halnya dengan delik
adat, hak-hak komunal, menunjukkan adanya suatu revitalisasi dan reaktualisasi
hukum komunal, hak ulayat sejalan dengan semangat era otonomi daerah.
Apabila
kita merujuk pada Al-Urf/Al-Adat/Al-Ta’ammul,
sebagai salah satu metode dalam penetapan hukum, persoalan adat di Indonesia
cukup menarik untuk dikaji. Apabila semua system hukum adat dapat diadopsi
menjadi hukum syara, jawabannya adalah bahwa : Adat dapat dijadikan hukum untuk
mendapatkan sesuatu hukum syara atau kaidah lain. Adat ini sesungguhnya
bersandarkan kepada segala perbuatan yang dipraktikkan pada umumnya baik berupa
perbuatan maupun perkataan. Sikap Islam terhadap adat, adalah jelas bahwa adat
kebiasaan yang benar (al adat al shahihah)
yang dapat diadopsi ke dalam hukum Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad
Dar Al Kuwaitiyah, cetakan VIII, 1968
Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al KitabAl ‘Araby,
Bairut,
Abu
Al Hasan Ali Ibnu Muhammad, Al Mawardi, Al
Ahkam As Sulthaniyah, Mustafa Al Baby Al Halaby, Mesir, Cetakan III, 1973 Abdullah, S.H. dan Ruben Ahmad, S.H.,
Inti
Sari Hukum Pidana, Galia
Indonesia, Jakarta,1983
H.
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas
Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Sinar
Grafika,
Jakarta 2006
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
E. Utrecht, Hukum Pidana I, 1958
Soepomo Djokosutomo I,
1950
Han
Bing Siong, An Outline of The Kecent
History of Indonesian Criminal Law, 1961
http:hukumonline.com,islamisasi ruu kuhp bukan mau
menerapkan hukum
islam[25/11/03].
Ahmad Fawaid Sjadzili, Quo Vadis Legislasi Syariat
Islam?” Koran Tempo, 16
Topo Santoso, Membumikan
Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan
Agenda, Gemani Insani, Jakarta, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar