A. Hak-hak Penguasaan Atas Tanah
Ketentuan-ketentuan hukum tanah
yang tertulis bersumber pada UUPA
dan peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai
sumber hukum utamanya, sedangkan ketentuan hukum tanah yang tidak tertulis
bersumber pada hukum adat tentang tanah dan yurisprudensi tentang tanah sebagai
sumber hukum pelengkapnya.
Objek hukum tanah adalah hak
penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum
Hak
penguasaan tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dari orang atau badan hokum
tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan yang
konkrit.
Hak
penguasaan tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan
orang atau badan hokum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.
Ketentuan –ketentuan dalam hak
penguasaan atas tanah, adalah sebagai beikut :
a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi
suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas
tanah tertentu;
b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan
hak-hak lain
c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada
pihak lain
d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya
e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya[1]
Sebelum kita memasuki mengenai uraian
tentang konsep penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu
tentang beberapa teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu:
1.
Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang
diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan
kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hokum.[2]Dalam
hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty
atau souverenitet).
2.
Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai
suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract
soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan
melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu[3].Dalam
hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu
juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang
mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada
semua bangsa yang dinamakan leges imperii.
Sejalan
dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas sumber
daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam
hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga
masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk
mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi
sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.
Keterkaitan
dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan
mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:
1.
Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan
alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
2.
Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di
atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara
langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3.
Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak
mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan
negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam
hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan
pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad.
Perkataan
‘’dikuasai’’ yang dipergunakan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-undang dasar itu.
Sebelum UUPA ada sementara orang yang menafsirkan perkataan ‘’dikuasai’’
sebagai ‘’dimiliki’’, tetapi UUPA dengan
tegas menyatakan bahwa perkataan tersebut bukan berarti dimiliki. Bahkan
pengertian domein Negara dihapuskan UUPA. ‘’Asas Domein’’ tidak dikenal dalam
hukum Agraria yang baru, demikian memori penjelasan angka II menegaskan bahwa
perkataan ‘’dikuasai’’ dalam pasal ini bukanlah berarti ‘’dimiliki’’ akan
tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi
kekuasaan dari bangsa Indonesia. Sebelumnya disebut sebagai badan penguasa pada
tingkat tertinggi untuk:[4]
a. mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa tersebut.
b. menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi dan
lain-lainnya itu (dengan perkataan lain, menentukan dan mengatur hak-hak yang
dapat dipunyai atas bumi dan lain-lainnya itu ).
c. Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. (segala sesuatu itu tentunya juga
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya). Penegasan mengenai arti
perkataan ‘’dikuasai’’ dinyatakan dalam pasal 2 ayat 2.
Apabila
kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W.
Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:
1. Hak penguasaan negara yang
dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai
pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas
sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk
pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.[5]
2. Hak penguasaan negara dalam Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya
alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar
pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama
dan kekeluargaan), strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan
oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan
efektifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas
ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan
itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui
pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak
atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan
mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi negara dan
menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public
utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai
negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat
dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana
kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.
Hak menguasai tanah oleh negara
bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara, sebagaimana tercermin dalam
ketentuan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan
tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara memiliki
legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun
penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.[6]
Hak bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi, diatur dalam pasal 1 ayat 1 sampai dengan 3, yang bunyinya sebagai
berikut:
1. Seluruh wilayah Indonesia adalah
kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa
Indonesia.
2. Seluruh buni, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Esa, adalah bumi, air dan ruang
angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
3. Hubungan hukum antara Bangsa
Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal 1 adalah
hubungan yang bersifat abadi.
Hak Bangsa adalah sebutan yang diberikan
oleh para Ilmuwan Hukum Tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret
dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat 2 dan 3 di atas.
UUPA sendiri tidak memberikan nama yang khusus. Hak ini merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam Hukum Tanah Nasional. Hak-hak
penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung
bersumber padanya. Hak Bangsa mengandung 2 unsur yakitu unsur kepercayaan dan
unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan
memimpin penguasaan dan penggunaan tanah-bersama yang dipunyainya. Hak
Bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam pengertian
yuridis. Maka dalam rangka Hak Bangsa ada Hak Milik perorangan atas tanah.
Tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan mempimpin penggunaan tanah
bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada Negara[7].
Tanah-bersama tersebut adalah
Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai
Bangsa Indonesia, Hak Bangsa Indonesia sebagai lembaga hukum dan sebagai
hubungan hukum konkret merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hak Bangsa
sebagai lembaga hukum tercipta pada saat diciptakannya hubungan hukum konkret
dengan tanah sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia.
Hak Bangsa merupakan hubungan hukum yang
bersifat abadi. Dijaleaskan dalam Penjelasan Umum II, bahwa : selama rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air
dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun,
tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut. Maka juga tidak mungkin tanah-bersama, yang merupakan kekayaan
nasional tersebut dialihkan kepada pihak lain.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai
tanah oleh negara, terdapat pada pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang
menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi
wewenang kepada Negara untuk :
1. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
2. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa
Penguasaan tanah oleh negara dalam
konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggungjawab,
yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak
atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada
kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan
tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan
hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab[8]
Dinamika pembangungan nasional,
seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang
termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk
menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan sebagai kepentingan umum.
Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya
adalah beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh negara dalam
pengambilalihan tanah masyarakat.
B. Hak Menguasai atas Tanah oleh
Negara Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
Negara sebagai konsep yang berkaitan dengan kekuasaan
memiliki sejumlah tujuan hakiki sebagai pengembangan tujuan dari seluruh warga
negaranya. Oleh karena itu sangat wajar kalau hukum positif (UU) selalu
menempatkan suatu tujuan yang terdapat dalam hukum itu yang secara inklusif,
termasuk tujuan negara. Sebab berbicara mengenai tujuan hukum sama halnya
berbicara dengan tujuan negara. Hal ini dapat dilihat dalam Ketentuan-Ketentuan
Dasar Pokok Agraria, yang menempatkan hak menguasai negara atas tanah diatur
dalam pasal 2 ayat (1) UUPA No 5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa :
1.
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh, negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.
Hak menguasai negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa.
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa
c.
Menentuksn dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi air dan ruang angkasa.
3.
Wewenang yang bersumber pada hak yang menguasai dari negara tersebut pada pasal
2 ayat ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam
arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan pada masyarakat dan negara.
Hukum indonesia yang merdeka, adil, dan makmur.[9]
4.
Hak menguasai dari negara di atas, pelaksanaannya dapat di kuasai oleh
daerah-daerah swatantra, dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Menurut Winahyu Erwiningsih,[10]Hak
menguasai negara atas tanah berisi wewenang untuk mengatur, mengurus dan
menguasai perolehan dan penggunaan tanah. Timbulnya hak menguasai tanah berasal
dari perwujudan hak dan kewajiban masyarakat atas tanah dalam konteks kehidupan
bernegara didasarkan atas prinsip pola hubungan manusia dengan tanah yang
berisi hak dan kewajiban manusia terhadap dirinya dan masyarakatnya secara
seimbang untuk menciptakan kesejahteraan hidup secara adil dan merata.
Wewenang
Negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat
hukum adat dengan tanah terkait erat hubungan hukum antara tanah dengan negara.
Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk
memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya
tidak dilanggar oleh siapapun. Oleh Karena itu, sangat tidak tepat jika melihat
hubungan Negara dengan tanah terlepas dengan hubungan antara masyarakat hukum
adat dengan tanah ulayatnya dan hubungan antara perorangan dengan tanahnya.
Ketiga hubungan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain, dan merupakan hubungan yang bersifat “tritunggal”
Dengan
demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa, konsep negara menguasai atas tanah
adalah mengatur, mengurus, hubungan hukum antara Negara dan warga Negara.
Negara hanya mengatur pemilikan tanah (hak atas tanah) dengan mementingkan
kepentingan warga Negara artinya memelihara tanah, menjaga keseimbangan
sehingga manfaat tanah terpenuhi untuk kesejahteraan rakyat.
[1]Urip Santoso, hukum agrariah
& hak-hak atas tanah,( P.T
Kencana prenada media group;2005,jakarta) hal 73
[2] Notonagoro,
Politik Hukum dan Pembangunan Agraria,
Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 99.
[3]R.
Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum , PT Pembangunan,
Jakarta, 1958, hal. 176
[4] Gautama S. dengan Badawi Sukhar, Tafsiran
UU Pokok Agraria.(Bandung; Alumni. 1973)
[5]
Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam
berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, (Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS
FHUI,Jakarta, 2005), hal. 17.
[6] Ibid h. 18
[8] Aslan
Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, CV Mandar
Maju, Bandung, 2006, hal. 85
[9]
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta; Sinar Grafika,
2010)h.56
[10]
Winahyu Erwiningsih, Hak
Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta; Total Media 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar