Sabtu, 30 Mei 2015

Hak Penguasaan atas Tanah


A. Hak-hak Penguasaan Atas Tanah
Ketentuan-ketentuan hukum  tanah  yang tertulis bersumber pada UUPA  dan peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai sumber hukum utamanya, sedangkan ketentuan hukum tanah yang tidak tertulis bersumber pada hukum adat tentang tanah dan yurisprudensi tentang tanah sebagai sumber hukum pelengkapnya.
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum
Hak penguasaan tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dari orang atau badan hokum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan yang konkrit.
Hak penguasaan tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hokum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.
            Ketentuan –ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai beikut :
a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu;
b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain
c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain
d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya
e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya[1]
Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu tentang beberapa teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu:
1. Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hokum.[2]Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet).
2. Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu[3].Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.
       Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.
       Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:
1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam. Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad.
Perkataan ‘’dikuasai’’ yang dipergunakan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-undang dasar itu. Sebelum UUPA ada sementara orang yang menafsirkan perkataan ‘’dikuasai’’ sebagai ‘’dimiliki’’, tetapi UUPA  dengan tegas menyatakan bahwa perkataan tersebut bukan berarti dimiliki. Bahkan pengertian domein Negara dihapuskan UUPA. ‘’Asas Domein’’ tidak dikenal dalam hukum Agraria yang baru, demikian memori penjelasan angka II menegaskan bahwa perkataan ‘’dikuasai’’ dalam pasal ini bukanlah berarti ‘’dimiliki’’ akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia. Sebelumnya disebut sebagai badan penguasa pada tingkat tertinggi untuk:[4]
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi dan lain-lainnya itu (dengan perkataan lain, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi dan lain-lainnya itu ).
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. (segala sesuatu itu tentunya juga termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya). Penegasan mengenai arti perkataan ‘’dikuasai’’ dinyatakan dalam pasal 2 ayat 2.
Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:
1. Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.[5]
2. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
       Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
       Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.
        Hak menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.[6]
       Hak bangsa  sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, diatur dalam pasal 1 ayat 1 sampai dengan 3, yang bunyinya sebagai berikut:
1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia.
2. Seluruh buni, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
3. Hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal 1 adalah hubungan yang bersifat abadi.
       Hak Bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para Ilmuwan Hukum Tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat 2 dan 3 di atas. UUPA sendiri tidak memberikan nama yang khusus. Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam Hukum Tanah Nasional. Hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung bersumber padanya. Hak Bangsa mengandung 2 unsur yakitu unsur kepercayaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan  memimpin penguasaan dan penggunaan tanah-bersama yang dipunyainya. Hak Bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam pengertian yuridis. Maka dalam rangka Hak Bangsa ada Hak Milik perorangan atas tanah. Tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan mempimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada Negara[7].
             Tanah-bersama tersebut adalah Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia, Hak Bangsa Indonesia sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkret merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hak Bangsa sebagai lembaga hukum tercipta pada saat diciptakannya hubungan hukum konkret dengan tanah sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia.
       Hak Bangsa merupakan hubungan hukum yang bersifat abadi. Dijaleaskan dalam Penjelasan Umum II, bahwa : selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Maka juga tidak mungkin tanah-bersama, yang merupakan kekayaan nasional tersebut dialihkan kepada pihak lain.
      Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk :
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
       Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggungjawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab[8]
       Dinamika pembangungan nasional, seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan sebagai kepentingan umum. Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat.


B. Hak Menguasai atas Tanah oleh Negara Pasal 33 ayat 3 UUD 1945

Negara sebagai konsep yang berkaitan dengan kekuasaan memiliki sejumlah tujuan hakiki sebagai pengembangan tujuan dari seluruh warga negaranya. Oleh karena itu sangat wajar kalau hukum positif (UU) selalu menempatkan suatu tujuan yang terdapat dalam hukum itu yang secara inklusif, termasuk tujuan negara. Sebab berbicara mengenai tujuan hukum sama halnya berbicara dengan tujuan negara. Hal ini dapat dilihat dalam Ketentuan-Ketentuan Dasar Pokok Agraria, yang menempatkan hak menguasai negara atas tanah diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUPA No 5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa :
1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh, negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa
c. Menentuksn dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi air dan ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak yang menguasai dari negara tersebut pada pasal 2 ayat ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan pada masyarakat dan negara. Hukum indonesia yang merdeka, adil, dan makmur.[9]
4. Hak menguasai dari negara di atas, pelaksanaannya dapat di kuasai oleh daerah-daerah swatantra, dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.




Menurut Winahyu Erwiningsih,[10]Hak menguasai negara atas tanah berisi wewenang untuk mengatur, mengurus dan menguasai perolehan dan penggunaan tanah. Timbulnya hak menguasai tanah berasal dari perwujudan hak dan kewajiban masyarakat atas tanah dalam konteks kehidupan bernegara didasarkan atas prinsip pola hubungan manusia dengan tanah yang berisi hak dan kewajiban manusia terhadap dirinya dan masyarakatnya secara seimbang untuk menciptakan kesejahteraan hidup secara adil dan merata.
Wewenang Negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat hubungan hukum antara tanah dengan negara. Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Oleh Karena itu, sangat tidak tepat jika melihat hubungan Negara dengan tanah terlepas dengan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya dan hubungan antara perorangan dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, dan merupakan hubungan yang bersifat “tritunggal”
Dengan demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa, konsep negara menguasai atas tanah adalah mengatur, mengurus, hubungan hukum antara Negara dan warga Negara. Negara hanya mengatur pemilikan tanah (hak atas tanah) dengan mementingkan kepentingan warga Negara artinya memelihara tanah, menjaga keseimbangan sehingga manfaat tanah terpenuhi untuk kesejahteraan rakyat.


[1]Urip Santoso, hukum agrariah & hak-hak atas tanah,( P.T  Kencana prenada media group;2005,jakarta) hal 73

[2] Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria,  Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 99.

[3]R. Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum , PT Pembangunan, Jakarta,  1958, hal. 176

[4] Gautama S. dengan Badawi Sukhar, Tafsiran UU Pokok Agraria.(Bandung; Alumni. 1973)
[5] Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, (Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI,Jakarta,  2005), hal. 17.

[6] Ibid h. 18
[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,( Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 257)

[8] Aslan Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 85

[9] Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010)h.56
[10] Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta; Total Media 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar