Selasa, 13 Mei 2014

Jinayah Dalam Konteks KeIndonesiaan

A.                Pengertian Fiqih  Jinayah

            Fiqih Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu Fiqih dan Jinayah. Pengertian Fiqih secara bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fiqih secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut :
            Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fiqih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
            Jinayah menurut bahasa adalah :
 ﺍﺴﻢ ﻠﻤﺎ ﻴﺨﻧﻴﻪ ﺍﻠﻣﺮ ﺀ ﻣﻦ ﺸﺮ ﻭ ﻤﺎ ﺍ  ﻜﺘﺴﺑﻪ       
            Nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan
Pengertian jinayah secara istilah fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah :
                ﻓﺎ ﻠﺨﻨﺎ ﻴﺔ ﺍﺴﻢ ﻠﻓﻌﻞ ﻣﺤﺭ ﻡ ﺸﺮ ﻋﺎ ﺴﻮ ﺍﺀ ﻮﻗﻊ ﺍﻠﻔﻌﻞ ﻋﻟﻰ ﻨﻔﺲ ﺃﻮ ﻏﻴﺮ ﺬﺍﻠﻚ
            Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, atau lainnya.
            Dalam konteks ini pengertian Jinayah sama dengan Jarimah. Pengertian Jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah sebagai berikut :
            Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
            Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fiqih jinayah itu adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
            Pengertian fiqih jinayah tersebut diatas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif. Musthafa Abdullah, S.H. dan Ruben Ahmad, S.H. mengemukakan bahwa hukum pidana adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan hukuman pidana. Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya.


B.     Sejarah dan Kedudukan Hukum Pidana Islam
            Hukum pidana Islam atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syariat Islam yang berlaku semenjak di utusnya Rasulullah SAW oleh karenanya, pada zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum public, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri, yang pada masa itu dirangkap oleh Rasulullah sendiri dan kemudian diganti oleh Khulafaur Rasyidin.
            Hukum pidana Islam merupakan hukum publik yang dilaksanakan oleh ulil amri dapat kita lihat dalam QS. Al-Maidah : 48, yang artinya :
            “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran,     membenarkan apa yang sebelumnya (yang kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya) dan       batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu maka putuskanlah perkara mereka menurut   apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan            meninggalkan kebenaran yang telah datang padamu.”
           
            Ayat ini menegaskan tentang adanya kewajiban untuk menerapkan dan melaksanakan hukum syariat Islam yang bersumber dari kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah yaitu Al-Qur’an. Kewajiban tersebut ditugaskan kepada Rasulullah dalam fungsi rangkapnya sebagai ulil amri. Dengan demikian hukum pidana Islam bukanlah hukum yang dilaksanakan oleh perorangan (individu), melainkan diatur dan dilaksanakan oleh ulil amri selaku wakil dari seluruh rakyat.
            Kewajiban ulil amri dalam melaksanakan hukum pidana Islam ini, juga dapat dilihat dalam hampir setiap ayat yang berkenaan dengan hukuman. Seperti hukuman pencurian (QS. Al-Ma’idah : 38), zina (QS. An-Nuur : 2), penuduhan zina (QS. An-Nuur : 4) dan lain-lain, selalu disampaikan dalam bentuk amar dan jamak. Ini berarti bahwa perintah tersebut bukan ditujukan kepada individu (perorangan), malainkan kepada pemerintah (ulil amri) selaku wakil dari seluruh masyaratkat.


C.    Sumber Hukum Pidana Islam
            Membicarakan sumber hukum pidana Islam bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran agama Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaatinya. Tujuan dimaksud akan diungkapkan : (1) sistematika dan hubungan sumber-sumber ajaran agama dan kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman dan kerangkan kegiatan umat Islam, (2) mempelajari areti dan fungsi petunjuk As-Sunnah sebagai sumber penjelasan autentik Al-Qur’an dan perannya sebagai petunjuk bagi kehidupan umat muslim, dan (3) membahas kedudukan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk melaksanakan ijtihad. Selain itu, diungkapkan peran ijtihad sebagai sumber pengembangan nilai ajaran Islam dan unsure-unsur Hukum Pidana Islam.
            Sistematika sumber ajaran Islam terdiri atas : (1) Al-Qur’an, (2) As-Sunnah, dan (3) Ar-Ra’yu. Sistematika dimaksud diraikan sebagai berikut.
1.      Al-Qur’an
            Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW. Diantara kandungan isinya ialah peraturan-peraturan hidup yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, hubungannya dengan perkembangan dirinya,hubungannya dengan sesama manusia dan hubungannya bersama alam dan makhluk lainnya. Al-Qur’an memuat ajaran Islam, diantaranya : (1) Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, Qhada dan Qhadar dan sebagainya. (2) prinsip-prinsip syariah mengenai ibadah khas (shalat, puasa, zakat dan haji) dan ibadah umum (perekonomian, pernikahan, pemerintahan, hukum pidana, hukum perdata dan lain sebagainya). (3) janji kepada orang yang berbuat baik dan ancaman kepada yang  berbuat jahat (dosa). (4) sejarah Nabi-Nabi yang terdahulu, masyarakat dan bangsa-bangsa terdahulu. (5) Ilmu pengetahuan mengenai ilmu ketauhidan, agama, hal-hal yang menyangkut manusia, masyarakat, dan yang berhubungan dengan alam.

2.      Sunnah
            Sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Karena, hal-hal yang diungkapkan oleh Al-Qur’an yang bersifat umum atau memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad SAW menjelaskan melalui sunnah. Sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad SAW (Af’alu, Aqwalu, dan Taqriru).

3.      Ar-Ra’yu
            Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah yang bersifat umum. Hal itu dilakukan oleh ahli hukum Islam karena memerlukan penalaran manusia. Oleh karena itu, Ar-Ra’yu, mengandung beberapa pengertian diantaranya :
a.       Ijma’
Ijma’ adalah kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin pada masa atas sesuatu hukum sesudah masa Nabi Muhammad SAW.
b.      Ijtihad
Ijtihad adalah perincian ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan AL-Hadist yang bersifat umum. Orang yang melakukan perincian dimaksud disebut mujtahid. Mujtahid adalah orang yang memenuhi persyaratan melakukan perincian dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist yang bersifat umum.
c.       Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu perkara yang belumada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan hukum dimaksud didasari oleh adanya unsure-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut Illat.
d.      Istishan
Istishan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya. Pemgecualian yang dimaksud dilakukan karena ada dasar yang kuat. Sebagai contoh, wanita itu sejak dari kepalanya sampai kakinya aurat. Kemudian diberikan Allah dan Rasul keizinan kepada manusia melihat beberapa bagian badannya bila dianggap perlu.
e.       Maslahat mursalah
Maslahat mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun ketentuan khusus. Sebagai contoh mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan golongan.
f.       Sadduz zari’ah
Sadduz zari’ah ialah menghambat/menutup sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan. Sebagai contoh, melarang orang meminum seteguk minuman memabukkan (padahal seteguk itu tidak memabukkan) untuk menutup jalan kepada meminum yang banyak.
g.      Urf
Urf adalah kebiasaan yang sudah turun-temurun tetapi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh jual beli dengan jalan serah terima, tanpa mengucapkan ijab-qabul.



D.    Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam
            Jenis Hukuman yang menyangkut tindak pidana criminal dalam hukum pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukum yang pasti mengenai berat ringannya hukuman termasuk qishash dan diat yang tercantum di dalam al-Qur’an dan Hadist. Hal dimaksud disebut hudud, (b) ketentuan hukum yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut ta’zir. Hukum public dalam ajaran Islam adalah Jinayah yang memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Jarimah adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah Hudud adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumannya di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW, lain halnya dengan Jarimah Ta’zir. Jarimah Ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.


E.     Sejarah Hukum Pidana di Indonesia
Babak Hukum Pidana tertulis di Indonesia dapat dibagi atas :
a.       Zaman VOC
b.      Zaman Hindia Belanda
c.       Zaman Jepang
d.      Zaman Kemerdekaan

a)      Zaman VOC
            Disamping hukum adat pidana yang berlaku bagi penduduki asli di Indonesia oleh penguasa VOC mula-mula diberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana.
            Pada tahun 1642 Joan Maetsuycker bekas Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang diberi nama Statute van Batavia pada tahun 1650 himpunan itu disahkan oleh Heeren Zeventien.
            Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah :
1)      Hukum statute yang termuat di dalam : Statuten van Batavia.
2)      Hukum Belanda kuno.
3)      Asas-asas hukum Romawi.
            Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai pelengkap, jika statute tidak dapat menyelesaian masalah maka hukum Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (slaven recht).
            Statuta romawi berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya yang mempunyai batas utara : pulau-pulau Teluk Betawi, di Timur : sungai Citarum, di Selatan : samudera India, di Barat : sungai Cisadane.
            Ini merupakan teori saja, karena prakteknya orang pribumi tetap tunduk kepada hukum adatnya. Daerah lain tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya.
            Di daerah Cirebon berlaku papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.
            Pada tahun 1848 dibentuk lagi intermaire stavbepalingen.
            Barulah pada tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis.
            Mulai tanggal 10 februari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
1.      Het Wetboek van Strafrecht Voor Europeanen (Stbl. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing.
2.      Het Wetboek van strafrecht Inlands En Daarmede Gelickgeestelde (Stbl. 1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 Januari 1873.

b)     Zaman Hindia-Belanda
            Sebagai diketahui dari tahun 1811 sampai tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas Koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda. Pemerintah Inggris diserahterimakan kepada komisaris Jenderal yang dikirim dari Belanda.
            Dengan regerings reglement 1815 dengan tambahan (subleoire instructie 23 September 1815) maka hukum dasar pemerintah koloni tercipta.
            Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan. Pada umumnya masih berlaku statuta Betawi yang baru, dan untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui dan perintah-perintah, begitu pula undang-undang dari pemerintah.
            Kepada Bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan, yaitu :
I.       Yang dipidana kerja rantai;
II.    Yang dipidana kerja paksa.
            Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah.
            Dalam prakteknya, pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara:
-          Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan;
-          Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang;
-           Kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang.
Dengan sendirinya semua peraturan terdahulu tidak berlaku lagi.
            KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut adalah salinan dari code penal yang berlaku dinegeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas dua buku, sedangkan code penal terdiri atas empat buku.
            KUHP yang berlaku bagi golongan Bumi Putra juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa,tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat dari KUHP Belanda 1886.
            Oleh karena itu, perlu pula ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.
            Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya crimineel wetboek voor koninglijk Holland 1809.
            Kitab Undang-undang 1809 memuat cirri modern di dalamnya menurut Vos, yaitu :
1.      Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana;
2.      Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja;
3.      Pengahapusan perampasan umum.
            Tetapi kodifikasi ini umurnya singkat, karena masuknya Perancis dengan Code Penalnya ke Negeri Belanda pada tahun 1811.
            System pidana di dalam Code Penal lain sekali jika disbanding dengan kodefikasi 1809. Diperkenalkan lagi perampasan umum dengan Gouv, Besluit 11 Desember 1813 diadakan beberapa perubahan misalnya tentang perampasan umum, tapi diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati dengan cara Prancis guillotine diganti dengan penggantungan menurut system Belanda kuno.
            Belanda terus mengadakan perubahan-perubahan, juga usaha menciptakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan-perubahan sebagian-sebagian. Pidana system sel yang berlaku dengan Undang-undang 28 Juni 1851 Stbl 68 diperluas dengan Undang-undang 29 Juni 1854 Stbl 102, pidana badan harus dihapus, jumlah pidana mati dikurangi, sejumlah kejahatan ringan (wanbedriff). Pidana terhadap percobaan diperingan disbanding dengan delik selesai. Kemudian, 17 september 1870 Stbl 162 pidana mati dihapus.
            Dengan KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia Negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875. Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan tersebut Twee de Kamer. Diperdebatkan di dalam Staten Generaal dengan Menteri Modderman yang sebelumnya adalah anggota Panitia Negara itu. Dan tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru, yang mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886.
            Jarak antara disahkan dan berlakunya KUHP Belanda selama 5 tahun karena dengan system pidana sel perlu dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru, di samping perlu diciptakan undang-undang baru seperti undang-undang kepenjaraan dan lain-lain.
            Setelah berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886 dipikikanlah oleh Pemerintah Belanda, bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaannya dengan Code Penal Prancis, perlu diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru Belanda tersebut.
            Berdasarkan asas konkordansi (corcondantie) menurut Pasal 75 Regerings Reglement, dan 131 Indische Staatsregeling, maka KUHP di Negeri Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda dengan penyusunan pada situasi dan kondisi setempat.
            Semula direncanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan golongan Bumiputera yang baru. Dengan Koninklijk Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP untuk golongan Eropa.
            Setelah selesai kedua rancangan tersebut. Menteri jajahan Belanda Mr Idenburg berpendapat bahwa sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia-Belanda, jadi berupa unifikasi.
            Sesuai dengan ide Menteri Edinburg tersebut maka dibenruklah komisi yang menyelesaikan tugasnya pada tahun 1913. Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1915 dan diundangkan pada September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan penduduk. Dengan Invoeringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari 1918 WvSI tersebut.
            Peralihan dari masa dualism, yaitu dua macam Wvs untuk dua golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formel daripada materiel. Ide unifikasi bukan hal yang baru. Statute Betawi 1642 dan ketentuan pidana materiel. Ide Unifikasi bukan hal yang baru. Statute Betawi 1642 dan ketentuan pidana intermair 1848 berlaku untuk semua golongan penduduk. Sebenarnya kedua WvS 1866 dan 1872 tersebut juga hampir sama, yang kedua merupakan salinan dari yang pertama kecuali system pidananya. Tetapi perbedaan antara kedua golongan penduduk, yaitu golongan Eropa dan Bumiputera –Timur Asing mewarnai juga perumusan-perumusan delik di dalam WvS tersebut, misalnya Pasal 284 (mukah = overspel) bagi laki-laki hanya berlaku bagi golongan Eropa (yang tunduk pada pasal BW.
c)      Zaman Pendudukan Jepang
            WvSI tetap brlaku pada zaman kependudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada undang-undang (Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.
            Pasal 3 Osamu Serei tersebut berbunyi :
            “Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-undang      dari      pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak   bertentangan dengan aturan-atuan pemerintah militer.”
            Jadi, hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan raja/ratu yang tidak berlaku lagi.
            Peraturan yang semacam dikeluarkan juga di luar pulau Jawa dan Madura.
            Dibandingkan dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini teratur di dalam Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.

d)     Zaman Kemerdekaan
            K1945 keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan :
            “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum         diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.”
            Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan suatu peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut peraturan Nomor 2 yang  berbunyi :
            “Untuk ketertiban masyarakat berdasarkan atas Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal II berhubung dengan pasal IV Kami presiden menetapkan peraturan sebagai berikut :”

Pasal 1
“Segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.”
Pasal 2
“Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.”
            Barulah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI.
            Ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana berlaku sekarang (mulai 1946) ialah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 maret 1942 dengan  pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
            Perubahan-perubahan yang diciptakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terhadap Wetboek van Strafrecht 8 Maret Tahun 1942 (saat mulai pendudukan Jepang) ialah :
1)      Pasal V yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai Negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
2)      Pasal VI mengubah dengan resmi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (saja) yang dapat disebut juga dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3)      Pasal VIII membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHP itu sebanyak 68 ketentuan.
4)      Diciptakan delik-delik baru yang dibuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI, tetapi kemudian dengan Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 Pasal XVI tersebut dicabut.

            Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetboek van Sharfrecht atau KUHP itu sampai kinipun masih di dalam bahasa Belanda, kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia.
            Jadi, apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum (hakim, jaksa, polisi dan pengacara) adalah terjemahan di dalam bahasa Indonesia, yang corak tagamnya tergantung pada selera penerjemah dan saat penerjemahan sama halnya dengan yang dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.
            Sebagai sejarah perlu diingat, bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai dengan 1949 kembali lagi ke Indonesia menduduki beberapa wilayah, dan bertambah luas sesudah  Aksi Militer I, terutama meliputi kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh Nusatenggara, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Irian Barat.
            Untuk wilayah-wilayah yang diduduki Belanda itu de Facto tidak diberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki oleh Belanda sesudah Aksi Militer I, ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (peraturan RI).
            Untuk daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda tersebut diberlakukan Wetboek van strafrecht voor Nederlandsch –Indie yang kemudian diubah namanya menjadi Wetboek van Strafrecht voor Indonesie berdasarkan Ordonasi tanggal 21 September 1948 Stbl 1948 Nomor 224, mulai berlaku 22 September 1948, dan semua kata-kata Nederlandsch –Indie di dalam WvS tersebut diganti dengan “Indonesie”. Begitu pula istilah Staatsblad van Nederlandsch Indie (Lembaga Negara Hindia Belanda) diganti menjadi Staatsblad van Indonesie.


F.     Hukum Pidana Islam
Kebutuhan dan desakan kearah tersebut telah menjadi kontroversi,di antaranya perumusan delik-delik dalam rancangan kuhp.kriminalisasi sejumlah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan pelangaran telah dikonstruksi dari hukum islam, seperti tindak pidana kesusilaan,santet,kumpul kebo,dan permukaan(zina).apabila nilai-nilai islam telah menyatu dengan hukum positif indonesia,persoalan yang lebih kompleks adalah upaya inplementasinya(lau enforcement) serta hukum beracara, penyidikan, dan pembuktiannya. Hal ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi umat islam khususnya cendekiawan hukum Islam.
1.      Apakah terjadi Islamisasi
Perdebatan mengenai “Islamisasi’ KUHP menjadi semakin meruncing yang berawal dari statement menkeh Yusril Ihza Mahendra yang menegaskan bahwa dalam merevisi KUHP, selain mengacu ke belanda, juga akan mengadopsi hukum adat,konvensi internasional dan hukum islam.ironisnya,yang kemudin lebih mencuat adalah adopsi hukum islam. RUU  KUHP dipandang sebagai islamisasi kuhp”menyusun kuhp baru dengan mengedepankan  agama tertentu sangat beresiko dalam masyarakat yang pluralis seperti indonesia,”tandas robertus robet,wkil di rektur yayasan lembaga bantuan hukum indonesia(ylbhi).
Tudingan islamisasi itu memang menguat apalagi melihat latar belakang sang menteri dan pembantunya. Yusril tidak lain adalah ketua umum partai bulan bintang, sebuah partai yang mengusung agenda pemberlakuan piagam jakarta. Sementara dibawahnya ada prof. Abdul gani abdullah, dirjen yang mengurusi pembuatan peundang-undangan. Prof. Gani tidak lain adalah guru besar dari komunitas institut agama islam negeri/iain(sekarang uin).namun, argumen ini dengan mudah dipatahkan.sebab, draf ruu kuhp sudah selesai disusun pada1992, jauh sebelum yusril dan abdull gani menjabat.
2.delik kesusilaan
 Terdapat sejumlahpasal yang selama ini dianggap merujuk kepada konsep hukum islam. Pengaruh islam paling jelas terlihat pada pasal-pasal kesusilaan, khususnya perzinaan. Draf ruu memperkenalkan istilah baru bernuansa islami,yaitu pasal permukaan (overspel, adultry).konsep tersebut ternyata menimbulkan reaksi berbagai kalangan khususnya kelompok yang tidak menginginkan terjadinya     ‘dewesternisasi”hukum pidana menuju kearah kriminalisasi yang bernuasa islami.
Berikut pernyatan menteri kehakiman dan ham memberikan penjelasa:
“kami mengganti definisi perzinaan dari hukum belanda ke hukum islam,”aku yusril terus terang. Hasilnya?semula pasal kesusilaan hanya sembilan belas (281-289), kini di ruu terdapat tiga puluh pasal (411-441).pasal-pasal kesusilaan dirancang oleh dua anggota tim,prof. Muladi dan prof. Barda nawawi arief.”
Dengan demikian, telah terjadi penambahan sebanyak sebelas pasal dalam  delik kesusilaan. Sedangkan andi hamzah berpendapat lain bahwa jepang dan hampir seluruh eropa telah mencabut delik permukahan dari kuhp mereka karena dipandang sebagai victimlesscrime,maka di indonesia justru diperluas. Selain memperluas makna permukahandan zina, ancaman pidananya pun dinaikkan dari maksimum  9 bulan menjadi lima tahun penjara. Dengan konsep kuhp lama (yang sekarang berlaku), delikzina hanya bisa dikenakan kepada mereka yang salah satunya sudah menikah. Kuhp tidak menjerat perzinaan yang dilakukan oleh pasangan muda mudi atas dasar suka sama suka. Namun kini, dengan masuknya pasal baru, pasangan muda mudi tadi bisa dipidana. Ini merupakan adopsi pandangan islam mengenai zina. Tim penyusun memasukan aturan ini, sebagaimana diakui prof. Muladi, melihat dampak banyaknya muda mudi yang hamil diluar nikah.
Perumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 420 ruu tegas menyebut”laki-laki dan perumpuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana penjara paling lama stu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.tetapi berlaku tidak akan dituntut kecuali ada pengaduan dari anggota keluarga hingga derajat ketiga, kepala adat atau kepala desa setempat.
Pengaruh Islam tampaknya bukan hanya berkutat pada pasal susila, melainkan juga pembunuhan. Menurut  konsep KUHP sekarang, seorang pelaku pembunuhan berat praktis dihukum karena dianggap merugikan seluruh masyarakat. Namun, di Indonesia, kerugian lebih banyak dirasakan keluarga. Menurut konsep Islam, anggota keluarga korban pembunuhan punya andil menentukan hukuman kepada pelaku, atau justru memberikan maaf.
Konsep maaf (afwan) ini memang sejalan dengan konsep Al-Qur’an. “Hai Orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang yang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah ia mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah ia memberi diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula”
Ruu kuhp menganut dua sistem pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Diatur pada pasal 60, pidana pokok terdiri dari pidana penjara,pidana tutupan ,pengawasan,denda,dan kerja sosialse sedangkan pidana tambahan meliputi pencabutan hak tertentu,perampasan barang tertentu atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewjiban adat. Namun, patut  dicatat, bahwa ruu masih mengenal pidana mati (Pasal 61).
Tentu saja, konsep kuhp mengenai pemidanaan berbeda dengan hukum islam. Dalam pidana islam,demikian topo santoso dalam bukunya menggagas hukum pidana islam,hukuman tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan dan perbaikan.sebagai perbandingan barangkali menarik untuk melihat  jenis-jenis tindak pidana dan hukumanya menurut konsep Islam.
G.    Hukum Pidana Positif di Indonesia  
           Apabila orang membicarakan tentang hukum pidana yang  kini berlaku  di indonesia, maka yang terbayang adalah kitab undang-undang  Hukum Pidana (KUHP) peninggalan penjajah Belanda.151 hal ini tidak benar sepenuhnya,sebab d samping KUHP tadi,hukum pidana indonesia juga terdapat pada beberapa Undang-undang pidana lain (seperti UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU tindak pidana ekonomi, dan sebagainya), dan pada ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalan berbagai undang-undang nonpidana (misalnya pada UU pendidikan, UU pemilu, UU parpol, UU kesehatan, UU pers, dan sebagainya).
     Hukum pidana yang di jelaskan di atas biasanya juga d sebut hukum pidana dalam arti sempit atau hukum pidana materiil.Apabila ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum pidana materiil itu di langgar, maka di perlukan hukum pidana formal yang d atur dalam kitab Undang-Undang  hukum acara pidana (KUHAP).152 sebagai undang-undang juga memuat sedikit ketentuan hukum acara pidana yang merupakan pengecualian dari yang di atur dalam KUHAP, misallnya yang terdapat dalam UU No.31 Tahun 1999.
            Di dalam KUHP diatur diatur batas-batas berlakunya aturan pidana; dasar penghapus, dan peringan pidana; penyertaan melakukan tindak pidana; serta gabungan tindak pidana, dan sebagainya. Pada intinya, tindak pidana dibedakan menjadi dua macam : kejahatan dan pelanggaran. Contoh dari kejahatan yang diatur dalam KUHP adalah kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan tentang sumpah palsu dan keterangan palsu, kejahatan terhadap kesusilaan, kejahatan penghinaan, kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan, pencurian, dan sebagainya. Sedangkan berbagai tindak pidana yang sifatnya kurang serius dimasukkan dalam jenis pelanggaran.
            Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga kini merupakan peninggalan penjajahan Belanda yang dilandasi oleh falsafah yang berbeda dengan falsafah yang dianut bangsa Indonesia, seperti mengutamakan kebebasan, menonjolkan hak-hak individu, dan kurang berhubungan dengan moralitas. Dalam soal kejahatan terhadap kesusilaan misalnya, KUHP tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan seperti ini : a) dilakukan suka sama suka dan keduanya belum menikah (Fornication) ; b) dilakukan suka sama suka oleh sesama sesama jenis kelamin (Homoseksual); c) dilakukan suka sama suka dan salah seorang atau keduanya sudah terikat perkawinan (Adulteri) tetapi tidak ada pengaduan dari istri ; atau suami pelaku; d) dilakukan dengan binatang (Destialiti); e) kumpul kebi dan lain-lain.
Perzinaan yang diancam hukuman oleh KUHP adalah perzinaan oleh dua orang yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan (adulteri) dan diadukan oleh istri atau suami pelaku zina. Hukumannya adalah maksimal 9 bulan penjara. Filosofi yang mendasari pengaturan semacam itu biasa tercermin dari ungkapan, “biarkan hukuman berhenti didepan kamar tidur”
Boleh jadi, akibat pengaturan delik susila yang sangat longar  itu dunia barat menghadapi peningkatan kebebasan seksual. Indonesia pun ternyata tidak luput dari pengaruhnya. Kebebasan seksual meningkat tajam. Terbukti dari berbagai survei dan kajian yang dilakukan diberbagai kota. Akibatnya, bagi masyarakat yang memegang teguh agama, moral dan susila, kebebasan sosial tadi tidak bisa diterima sehingga muncullah berbagai macam reaksi masyarakat yang kurang sistematis. Sementara itu, ancaman pidana yang dijatuhkan oleh para hakim disidang pengadilan sering kali tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, khususnya korban kejahatan dan keluarganya. Berbagai kejahatan dengan kekerasan seperti perampokan, pencurian, pembunuhan perkosaan, penganiayaan yang setiap hari terjadi didepan mata masyarakat, hanya diganjar hukuman ringan. Ditambah dengan faktor multi dimensi dan lemahnya penegakkan hukum, masyarakat yang terhimpit berbagai beban bangkit melakukan perlawanan secara masal terhadap berbagai macam kejahatan tadi dan akibatnya sering sangat fatal. Kita kerap menyaksikan bagaimana tindak pencurian ayampun diganjar masa dengan pembakaran hidup-hidup. Lebih tragis lagi ketimpangan sanksi begitu terlihat didepan mata kita. Betapa mudahnya petugas hukum menangkap dan mengadili para penjahat jalanan (street criminalis), tapi betapa sulit, lama, dan alotnya menangkap “penjahat elit” di negeri ini. Orang menyaksikan adanya Ekuality Before the Law dalam hukum kita. Inilah sekilas gambaran atau potret hukuman pidana positif yang kini ada di Indonesia.

H.    Penegakkan Syariat Islam
Bagi umat Islam, tidak ada pilihan lain selain meyakini bahwa menjalankan syari’at Islam merupakan bagian dari menjalani dien (Agama)nya secara kaffah. Kalau kini banyak terungkap keinginan untuk menegakkan syari’at Islam diberbagai tempat, kelahirannya bukan karena terlanda euforia demokrasi atau revormasi serta kebebasan. Hal itu lahir karena kesadaran umat Islam terdapat perbedaan hukum barat yang berasal dari akal pikiran manusia dengan syariat Islam yang bersumber dari dua rujukan hidup yang falid, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka, hukum Islam dipandang paling sesuai dengan rasa keadilan. Syari’at Islam dipandang paling bisa memenuhi lima kebutuhan dasar hidup manusi (maqashidusi syariah al-khamsa), yakni melindungi din (agama), jiwa, harta, akal dan keturunan.
Karena syariat Islam berfungsi melindungi kepentingan hidup paling mendasar tadi maka ia harus dilaksanakan. Melalui penegakkan syariat Islam inilah hukum pidana Islam lahir menjadi kenyataan dan dapat menunjukkan fungsinya. Persoalannya adalah bagaimana penegakkan syariat Islam dalam konteks kehidupan kita saat ini? Apapula implikasi penegakkan syariat Islam?
Seperti dikemukakan diatas, sebagian dari syariat Islam, khusunya yang terkait dengan segi-segi perdata, telah dijalankan di Negeri kita saat ini (sebagaimana juga di negeri-negeri muslim lainnya). Sedangkan untuk penegakkan hukum pidana Islam, masih banyak kendala yang menghadang. Kendala-kendala itu dapat berupa :
1.      Kendala kultural atau sosiologis, yakni adanya umat Islam yang masih belum bisa menerima;
2.      Kendala Fikrah (pemikiran), yaitu banyaknya pandangan negatif terhadap hukum pidana Islam dan kurang yakin dengan efektifitasnya;
3.      Kendala filofosis, berupa tuduhan bahwa hukum ini tidak adil bahkan kejam dan ketinggalan jaman serta bertentangan dengan cita-cita hukum Nasional;
4.      Kendala Yuridis yang tercermin dari belum adanya ketentuan hukum pidana yang bersumber dari syariat Islam;
5.      Kendala konsolidasi, yakni belum bertemunya para pendukung pemberlakuan syariat Islam (dari berbagai kalangan) yang masih saling menonjolkan dalil (argumen) dan metode penerapannya masing-masing;
6.      Kendala akademis, terlihat dari belum meluasnya pengajaran hukum pidana Islam di sekolah atau kampus-kampus;
7.      Kendala perumusan yang terlihat dari belum adanya upaya yang sistematis atau merumuskan yang sesuai syariat Islam sebagai persiapan mengganti hukum pidana baru;
8.      Kendala struktural yang terlihat dari belum adanya struktur hukum yang terdapat mendukung penerapan syariat Islam;
9.      Kendala ilmiah, tercermin dari kurang banyaknya literatur ilmiah yang mengulas Hukum Pidana Islam dan;
10.  Kendala politis, terlihat dari tidak cukupnya kekuatan politik untuk menggolakkan penegakkan syariat Islam melalui proses-proses-proses politik.

Kendala-kendala diatas seyogyanya menjadi perhatian bersama semua komponen yang berjuang untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini. Tentu perlu diingat bahwa penegakkan hukuman pidana Islam disini harus sinkron dan terkait dengan penegakkan syariat Islam secara luas.

I.       Kendala bagi penerapan syariat Islam di Indonesia
Mengamati pergumulan di media masa, kita mendapati gambaran atau cermin keberatan terhadap penegakkan syariat Islam yang berasal dari kalangan umat Islam sendiri. Di media masa pernah dikemukakan sinisme berikut : “tapi mengapa kita masih selalu memperbincangkan Islam? Tidakkah kita sadar bahwa kita hidup dalam komunitas yang majemuk baik secara etnis, budaya, dan agama?” pada bagian lain tertulis pula : “apalagi legislasi syariat Islam belum tentu menjamin terciptanya keadilan hukum di masyarakat.” Tulisan di atas ditutup dengan pertanyaan : “masih relefankah penerapan syariat Islam di Indonesia? Sekali lagi quo vadis syariat Islam?”
Tulisan senada banyak tersebar di masyarakat sejak dulu hingga detik ini. Masih banyak keraguan atas penerapan syariat Islam di lingkungan majemuk. Padahal, syariat Islam pernah diterapkan untuk waktu yang lama di daerah yang sangat luas dengan kultur, bahasa, dan agama yang berbeda-beda sejak masa Nabi SAW, para sahabat, tabi’in, hingga khalifah Turki Utsmani bahkan hingga kini di beberapa negara. Tetapi bagaimanapun juga, inilah salah satu kendala yang harus dijawab para pendukung penerapan syariat Islam.
Kendala kedua adalah belum paduannya umat Islam untuk menegakkan syariat Islam. Para pendukung syariat Islam itu begitu marah bila syariat Islam dilecehkan, tapi tidak pandai menggalang perlawanan guna mewujudkan harapannya itu. Umat Islam belum mampu menggalang sinergi yang besar untuk memperjuangkan syariat Islam. Lebih memperhatikan lagi, diantara para pendukung penerapan syariat Islam, acap kali menonjolkan metodenya masing-masing dalam mencapai cita-cita itu. Pada saat yang sama, menyerang pemikiran dan usaha umat Islam lain.
Satu kelompok mengklaim bahwa satu-satunya metode yang valid adalah dengan mewujudkan lebih dulu suatu “Negara Islam”. Pihak lain menjadikan agenda penegakkan “Kekhalifahan Islam” sebagai satu-satunya solusi untuk penegakkan syariat. Satu pihak lain mementingkan perjuangan secara politis dan mengkritik perjuangan kultural dengan membina pemahaman masyrakat. Sementara itu, ada pula pihak yang begitu gigih memperjuangkan tegaknya syariat Islam to the point’ secara langsung dengan cara memberantas setiap bentuk kemaksiatan dihadapannya dan kurang memperdulikan perjuangan secara yuridis konstitusional. Jadi, tantangan besar umat Islam adalah menggalang satu sinergi besar yang sistematis, konstruktif, serta dibekali hujjah/reasoning  untuk melakukan perjuangan dalam kaitan penerapan syariat Islam.

J.      Hukum Islam dan Pemeluknya di Indonesia
Huku km yang berlaku di Indonesia di dominasi oleh system hukum yang merupakan warisan colonial Belanda yang menganut system Civil Law. Selain itu, eksistensi hukum adat masih memiliki nuansa yang signifikan, khususnya di beberapa daerah di Indonesia yang mempunyai stage of development berbeda-beda antar wilayah yang satu dengan yang lainnya.
            Komposisi antara element system hukum tersebut di Indonesia sangat tampak dalam kurikulum fakultas hukum di seluruh Indonesia. Tidak dapat dipungkiri system hukum warisan colonial menempati posisi yang dominan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Substansi hukum Islam dan hukum adat tidak lebih sebagai mata kuliah komplementer. Dengan kata lain, realitas hukum dan realitas empiris komunitas yang diaturnya terdapat kesenjangan yang serius. Bahkan pemuka-pemuka di Indonesia banyak yang mempelajari dan mendalami Islam atau pengetahuan lainnya dari Negara non-Muslim, seperti Amerika, Eropa, termasuk di Belanda yang telah menjajah kita. Bahkan tidak mungkin, proses brain washing dan culture adjustment dialami para pemuka, pemimpin umat Islam dengan mindset Barat.
            Penyebaran Islam di Indonesia telah mendapat respons dan tempat tersendiri, khususnya sebagai suatu spirit untuk membebaskan diri dari kolonialisme barat. Namun demikian, system hukum relative Islam tidak membumi dan melembaga sebagaimana halnya system hukum Barat. Hal ini tidak saja dialami oleh Indonesia, tetapi hampir seluruh Negara yang memiliki system hukum adat, Islam atau non-Barat lainnya secara pelan tetapi pasti akan termarjinalisasikan oleh hukum sekuler Barat.
            Dengan demikian, umat Islam berhukum pada system hukum non-Islam serta mengambil sikap yang bervariasi terhadap system hukum positif di Indonesia :
1.      Umat Islam berhukum pada system Hukum Barat (BW, KUHP, KUHAP dan hukum positif lainnya di luar itu);
2.      Umat Islam berhukum pada system hukum Islam (selektif);
3.      Umat Islam berhukum pada sebagian hukum Islam dan sebagian hukum Barat serta hukum adat.

K.    Benturan Antarsistem Hukum
            Setiap muslim memahami betul bahwa agama mengatur segala aspek kehidupan dan tidak ada dikotomi antar wilayah politik, agama, dan social, sehingga Islam juga sekaligus merupakan norma hukum, nirma bermasyarakat, dan bernegara. Dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia, sangat dimungkinkan coalition of norm ata berbenturan norma sebagai berikut :
1.      Kontraksi antara hukum Islam dengan hukum positif;
2.      Konntraksi antara hukum Islam dengan adat atau urf;
3.      Kontraksi antara hukum positif dengan hukum adat.
            Sebagai contoh, terjadinya kontraksi antara hukum Islam dengan hukum positif bahwa seseorang yang (terikat pernikahan), melakukan zina, menurut syariat Islam harus dirajam atau dilempar dengan batu sampai mati dan apabila pelaku zina belum terikat pernikahan dihukum dengan dicambuk seratus kali. Penerapan sanksi hukum tersebut tidak bisa dibenarkan menurut hukum positif. Pasal penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain bisa dikenakan pada si eksekutor. Contoh lain adalah perbedaan konstruksi hukum mengenai zina antaa konsep Islam dengan KUHP sebagai hukum positif terdapat perbedaan, yakni zina menurut Islam tidak mensyaratkan terikat oleh perkawinan sedangkan HUHP sebaliknya, yakni salah satu pelaku atau kedua-duanya terikat perkawinan. Demikian pula halnya dengan delik adat, hak-hak komunal, menunjukkan adanya suatu revitalisasi dan reaktualisasi hukum komunal, hak ulayat sejalan dengan semangat era otonomi daerah.
            Apabila kita merujuk pada Al-Urf/Al-Adat/Al-Ta’ammul, sebagai salah satu metode dalam penetapan hukum, persoalan adat di Indonesia cukup menarik untuk dikaji. Apabila semua system hukum adat dapat diadopsi menjadi hukum syara, jawabannya adalah bahwa : Adat dapat dijadikan hukum untuk mendapatkan sesuatu hukum syara atau kaidah lain. Adat ini sesungguhnya bersandarkan kepada segala perbuatan yang dipraktikkan pada umumnya baik berupa perbuatan maupun perkataan. Sikap Islam terhadap adat, adalah jelas bahwa adat kebiasaan yang benar (al adat al shahihah) yang dapat diadopsi ke dalam hukum Islam.


DAFTAR PUSTAKA
         Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad Dar Al Kuwaitiyah, cetakan VIII, 1968
         Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al KitabAl ‘Araby, Bairut,
Abu Al Hasan Ali Ibnu Muhammad, Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Mustafa Al Baby Al Halaby, Mesir, Cetakan III, 1973           Abdullah, S.H. dan Ruben Ahmad, S.H., Inti
               Sari Hukum Pidana, Galia Indonesia, Jakarta,1983
         H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Sinar
                        Grafika, Jakarta 2006
         Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
          E. Utrecht, Hukum Pidana I, 1958
          Soepomo Djokosutomo I, 1950
         Han Bing Siong, An Outline of The Kecent History of Indonesian Criminal Law, 1961
http:hukumonline.com,islamisasi ruu kuhp bukan mau menerapkan hukum
islam[25/11/03].
Ahmad Fawaid Sjadzili, Quo Vadis Legislasi Syariat Islam?” Koran Tempo, 16
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan
Agenda, Gemani Insani, Jakarta, 2003