Senin, 06 Januari 2014

Muhammad Abduh


             a.      Biografi
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide Jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh, meskipun dalam beberapa hal di antara murid dan guru ini terdapat juga perbedaan.
Abduh dilahirkan pada 1849 M di sebuah desa pertanian di lembah Sungai Nil. Ayahnya, Abduh Hasan Khairullah, adalah seorang keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir. Adapun ibunya adalah seorang Arab yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga Ummar Ibn al-Khattab, khalifah kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Kedua keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa panda karena dibebani pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa waktu, orang tua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesuliran. Abduh sendiri lahir dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.
Pendidikan dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca dan menulis serta ilmu-ilmu keIslaman. Selanjutnya, ia belajar menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun, Abduh berhasil menghafal Al-Qur’an dengan sempurna. Selanjutnya, dalam usia lima belas tahun ia dikirim ayahnya ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar ilmu agama. Namun metode yang dikembangkan di sini sangat membosankan Abduh. Ia merasa ridak memperoleh apa-apa dari madrasah ini dan meninggalkan Thantha untuk pulang kampong. Setahun berikutnya, dalam usia enambelas tahun, Abduh dikawinkan orang tuanya. Namun demikian, ayahnya tetap mengharapkannya melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Thantha. Abduh tidak menolak kemauan ayahnya. Akan tetapi, ia tidak berangkat ke Thanta, karena sudah tidak semangat melihat cara belajar yang membosankannya. Akhirnya ia berangkat ke sebuah desa bernama Kanisa Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Disini ia bertemu dengan Syekh Darwisy, seorang penganut tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam. Syekh Darwisyah yang mengubah hidupnya dari seorang yang frustasi pada sekolah menjadi seorang yang haus ilmu. Salah satu keistimewaan yang diajarkan  Syekh Darwisy adalah ia mengajak Abduh untuk berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Ia mengajak Abduh untuk menelaah suatu kitab, lalu menguraikan apa maksudnya. Dengan cara ini, dahaga ilmu Abduh merasa terpuaskan, karena ia dapat menyampaikan hal-hal yang menjadi pemikirannya dan memperoleh jawaban yang diharapkannya. Abduh mengakui sendiri pengaruh Syekh Darwisy ini terhadap dirinya, sebagaimana diungkapkannya :
“Saya tidak mendapati adanya keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang harus dipilih, kecuali Syekh (maksudnya Syekh Darwisy) yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan literalisme menuju kebebasan keimanan yang sejati kepada Tuhan… beliau adalah kunci kebahagiaan saya… ia mengembalikan bagian dari diri saya yang pernah hilang dan membukakan kepada saya apa yang masih tersembunyi didalam diri saya.”
Setelah memperoleh “dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Thantha untuk meneruskan pelajaran. Tamat dari Thantha barulah ia masuk Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 1866. Ketika kuliah di al-Azhar, Sayyid Jamaluddin datang ke Mesir dalam perjalanannya menuju Istanbul kesempatan ini digunakan Abduh untuk berdiskusi dan menimbah ilmu pengetahuan dari tokoh pemersatu umat Islam ini pada pertemuan pertama ini Abduh sangat terkesan dengan kepribadian dan kedalaman pengetahuan Jamaluddin. Karena itu, ketika pada tahun 1871 Jamaluddin datang kembali ke Mesir, Abduh tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid setia Jamaluddin. Ia belajar filsafat pada Jamaluddin disamping mulai menulis karangan-karangan untuk surat kabar al-Ahram sebuah harian yang baru saja terbit waktu itu.
Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada tahun 1877. Selanjutnya, ia mengembangkan ilmunya dengan mengajar di Dar Al-‘Ulum, disamping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah karangan Ibn Khaldun dan History of Civilization in Europe yang sudah diterjemahkan oleh al-Thahthawi.
Selain mengajar, Abduh juga terlibat aktif dalam gerakan politik. Ia membantu Jamaluddin dalam menentang penguasa, Khedewi Taufik. Akibatnya, Abduh dibuang keluar Kairo setelah sebelumnya pada tahun 1879 Jamaluddin di usir dari Mesir. Namun setahun kemudian, Abduh di izinkan kembali ke Kairo dan diangkat menjadi redaktur untuk surat kabar al-Waqa’i. Al-Mishira. Abduh tidak hanya membuat berita-berita perkembangan terkini Mesir, tetapi juga artikel-artikel tentang social, politik, pendidikan, hukum, kebudayaan dan agama. Dibawah kepemimpinan Abduh surat kabar ini sangat berpengaruh dalam bentuk opini public, terutama semangat nasionalisme Mesir dan penentangan terhadap penguasaan Mesir atas Inggris. Selain itu, penguasa Mesir ketika itu sudah sangat jauh dalam kebijakan yang sangat pro Inggris.
Kondisi demikian makin membangkitkan semangat nasionalisme Abduh dan menanamkan kebenciannya pada Inggris. Ia ikut mendukung gerakan pemberontakan kaum nasionalis Mesir di bawah kepemimpinan Urabi Pasha. Namun pemberontakan ini gagal dan akibatnya Abduh diasingkan dari Mesir pada 1882. Dalam keadaan demikian, Abduh memperoleh undangan dari Jamaluddin untuk bergabung bersamanya di Paris. Mereka menggerekkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa (tali yang Kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam, melepaskan mereka dari perpecahan dan cengkeraman bangsa-bangsa barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal yang menggerakkan umat Islam. Namun jurnal ini bertahan hanya delapan bulan dan organisasinya pun bubar. Abduh kemudian kembali ke Beirut dan menjadi guru di sebuah sekolah Muslim. Ia juga menyampaikan berbagai ceramah. Salah satu ceramahnya di Beirut yang dibukukan adalah Risalah al-Tawhid.
Pada tahun 1888, ia diizinkan pulang ke Mesir. Mengingat pengaruhnya yang luar biasa di kalanngan anak muda rogresif, ia tidak diizinkan mengajar. Ia diangkat menjadi hakim di pengadilan penduduk pribumi. Tahun 1895, ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Administratif Universitas al-Azhar. Lalu pada tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Besar Mesir. Di dua jabatan ini, ia banyak melakukan perubahan dan pembaruan. Untuk al-Azhar, ia memasukkan ilmu-ilmu modern pengetahuan umum dan filsafat, karena sebelumnya terdapat dualisme system pendidikan Mesir; pendidikan tradisionalisme madrasah yang menolak pelajaran-pelajaran umum dan pendidikan modern berbasis Barat yang tidak mengajarkan ilmu agama. Abduh berusaha menghapuskan dikotomi ini. Sementara untuk jabatan Mufti, Abduh mengusulkan berbagai perubahan system pengadilan agama di Mesir.
Abduh meninggal pada 11 Juli 1905. Jenazahnya diiringi oleh ribuan orang yang mencintainya. Bukan hanya orang muslim, orang-orang yahudi dan Nasrani pun ikut berbondong-bondong member pernghormatan terakhir pada tokoh penggerak pembaharu Islam ini.

b.      Pemikiran Politik
Seperti diketahui, pada masa Abduh dunia Islam mengalami penjajahan dan kolonialisasi oleh Negara-negara barat. Hampir tidak ada wilayah Islam yang terbebas dari penjajahan barat. Mesir merupakan Negara Abduh juga mengalami penjajahan dari Perancis dan Inggris. Karena itu, Abduh juga merasa terpanggil untuk menentang kehadiran kolonialisme Barat di negaranya dan di dunia Islam pada umumnya.
Menurut Abduh, kehadiran bangsa-bangsa barat tidak hanya menguasai dunia Islam, tetapi juga mengembangkan system nilai mereka, seperti dalam bidang social, politik, budaya dan hukum, terhadap umat Islam. Dalam lapangan social politik, bangsa-bangsa barat berusaha memaksakan kehendak mereka. Di bidang pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan barat memisahkan antara pendidikan tradisionalis agama dan pendidikan modern barat. Banyak diantara pemuda Mesir yang terpengaruh pada model pendidikan barat dan akhirnya tercabut dari nilai-nilai social budaya mereka sendiri. Mereka lebih mengagungkan pola pemikiran dan kebuadayaan barat yang tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Demikian juga dalam bidang hukum, banyak hukum-hukum barat yang diadopsi oleh dunia Islam.
Kepada penguasa Muslim despotis, Abduh juga mengarahkan kecaman pedasnya dan memandang mereka sebagai antek-antek imperialis barat yang berkonpirasi menindas rakyat. Menurutnya, pemimpin Muslim menyandang gelar tinggi seperti sultan atau pangeran, hidup mewah dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintahan asing non-Muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin seperti ini menjarah kekayaan rakyat demi kesenangan pribadi dan tidak menegakkan keadilan. Pemimpin seperti ini, lanjut Abduh, menjadi penyebab pula bagi kehancuran akhlak di dalam masyarakat. Mereka menjadi pemimpin yang otoriter.
Kondisi ini diperparah pula oleh kebodohan para ahli fiqh. Mereka tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sehingga tidak mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Mereka menjadi alat justifikasi bagi penguasa untuk kepentingan-kepentingan penguasa itu sendiri. Para penguasa mendesak para ahli fiqh untuk mengeluarkan fatwah yang menguntungkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Kondisi ini menurut Abduh adalah karena umat Islam sudah terasuki oleh paham-paham keagamaan yang berasal dari luar Islam. Umat Islam sudak dijangkiti oleh paham jumud (beku, statis), sehingga tidak mau berpikir dinamis mencapai kemajuan. Menurut Abduh, paham ini dibawa oleh orang-orang non-Arab yang masuk Islam yang telah berhasil merampas kekuasaan politik tertinggi dalam umat Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam, paham-paham dan adat istiadat mereka ikut berpengaruh dikalangan umat Islam yang mereka kuasai. Mereka adalah orang-orang yang kurang mementingkan akal dan tidak menghargai ilmu pengetahuan. Demi kepentingan mereka sendiri, penguasa Turki mendorong penerimaan mutlak terhadap kekuasaan dan mengekang penggunaan nalar secara bebas. Pengetahuan adalah musuh mereka, karena pengetahuan akan membukakan mata rakyat terhadap buruknya perilaku para penguasa.
Supaya mereka dapat berkuasa lebih lama lagi, maka mengembangkan ajaran-pajaran yang membuat manusia statis. Mereka mengajarkan pemujaan yang berlebih kepada para wali dan syekh-syekh tarekat, taklid buta pada pada ulama, konsep tawakal yang salah dan paham fatalism. Akibatnya, akal pikiran menjadi tidak berjalan dan paham jumud semakin berkembang di dunia Islam. Kekacauan intelektual terjadi di kalangan kaum muslim di bawah perlindungan para penguasa yang bodoh. Islam disalahgunakan oleh para penguasanya.
Untuk mendobrak kebekuan berpikir ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya dan membersihkan segala macam bentuk bid’ah dan khurafat. Umat Islam harus berani membuka pintu ijtihad untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi. Mereka harus melakukan interpretasi ulang terhadap pendapat ulama masa lalu yang mungkin tidak sejalan dengan masa yang sekarang. Pendapat ulama tidaklah mutlak benar dan mengikat. Menurut Abduh, ajaran Islam terbagi dua, yaitu masalah ibadah yang tidak banyak memerlukan ijtihad dan masalah muamalah (social kemasyarakatan) yang menjadi lapangan ijtihad. Terhadap masalah yang kedua ini umat Islam tidak perlu mempertahankan pendapat ulama masa lalu, apabila tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Pintu ijtihad harus dibuka seluas-luasnya terhadap masalah ini dan taklid –yang menjadi sumber kemunduran umat islam –harus diperangi.
Selain menggalakkan berpikir kritis dan pengembangan ijtihad, Abduh memandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintahan yang konstitusional. Untuk itu, Abduh menekankan perlunya lembaga perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Namun Abduh tidak sependapat dengan gurunya Jamaluddin yang menghendaki revolusi untuk pembentukan dewan perwakilan tersebut. Ia menginginkan cara-cara evolusioner untuk mewujudkannya, karena situasi dan kondisi masyarakat Mesr masih belum mendukung untuk itu. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan, menurut Abduh, adalah melakukan proses pencerdasan bagi masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai warga Negara. Proses realisasi gagasan pembentukan dewan perwakilan sebaiknya dilakukan secara bertahap. Setiaknya, diperlukan waktu sekitar lima belas tahun untuk melatih rakyat untuk mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka secara bertanggung jawab. Untuk ini, Abduh menyatakan bahwa umat Islam tidak salah bila menirut Barat, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pandangan Abduh ini terlihat moderat. Ia tidak serta-merta menolak barat, meskipun ia menganggap barat adalah penjajah dunia Islam. Nilai-nilai demokrasi yang menghendaki adanya control terhadap kekuasaan –dan diwujudkan di antaranya melalui lembaga perwakilan –dapat diterimanya. Namun demikian, Abduh sangat menolak umat Islam yang mencoba mencari system hukum yang tidak sejalan dengan tradisi budaya dan masyarakat. Dalam hal ini, Abduh menolak adopsi system hukum barat untuk umat Islam. Menurut Abduh, hukum yang akan dijalankan untuk masyarakat haruslah yang sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri. Hukum barat hanya sesuai dengan kepribadian dan identitas masyarakat barat yang sangat menjunjung tinggi semangat liberalism. Kalau ini diterapkan untuk masyarakat muslim, maka mereka akan kehilangan identitas sebagai masyarakat yang religious. Ini akan membuat masyarakat muslim mengalami keterpecahan. Dalam hal ini, Abduh mengkritik Muhammad Ali dan para pemimpin penggantinya di Mesir yang atas nama pembaruan, mencangkokkan hukum dan lembaga-lembaga hukum yang berasal dari barat untuk masyarakat Mesir. Hukum yang ditanamkan ditanah lain tidak akan berjalan dengan cara yang sama, bahkan akan membuat keadaan lebih buruk. Hukum-hukum baru yang diambil dari Eropa sama sekali tidak akan berfungsi sebagai hukum, sebab tidak seorangpun yang menghormati dan mematuhi hukum. Mesir sedang menjadi masyarakat yang paling buruk, masyarakat tanpa hukum.
Sejalan dengan pandangan Abduh tentang pembatasan kekuasaan kepala Negara, ia menolak adanya kekuasaan keagamaan. Baginya, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau suatu kelompok orang untuk menindak orang lain atas dasar mandate agama atau dari Tuhan. Islam tidak membenarkan campur tangan orang lain, sekalipun penguasa dalam urusan kehidupan keagamaan orang lain. Islam juga tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pendapat penafsirannya tentang agama kepada orang lain. Bagi Abduh, pemimpin Negara adalah penguasa sipil yang diangkan dan diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu. Karenanya, ABduh menolak paham  penguasa sebagai Zhill Allah fi al-ardh (baying-bayang Allah di muka bumi), sebagaimana pandangan pemikir Muslim Abad Klasid dan pertengahan.
Bagi Abduh, kepala Negara adalah pengusa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, bukan oleh Tuhan. Abduh menerima ide-ide barat tentang demokrasi yang menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya adalah milik rakyat dan penguasa hanya menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Karena itu, Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila ia bertindak despotic dan tidak adil, serta kesejahteraan rakyat menuntut hal ini.
Pandangan Abduh tentang hubungan Agama dan politik dituangkannya dalam program Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya. Dalam rumusan tersebut menyatakan bahwa Partai Nasional adalah partai politik, bukan partai Agama, yang anggotanya terdiri atas orang-orang dari berbagai kepercayaan dan mazhab, termasuk orang Kristen dan Yahudi, serta semua yang bercocoktanam di bumi Mesir dan berbicara bahasa Mesir, karena partai ini tidak melihat perbedaan keyakinan. Partai didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu bersaudara satu sama lain, dan bahwa hak-hak mereka dalam politik dan muka hukum itu sama.
Gagasan Abduh demikian dinilai sangat berani dan membuka jalan bagi pemikiran-pemikiran maju dan liberal dalam kontsrelasi pemikiran dan perkembangan politik di Mesir. Abduh telah merambah sesuatu yang selama ini dianggap sacral oleh sebagian masyarakat Islam, terutama di mesir. Dalam Agamurid dan pengukutnya seperti Sa’ad Zaghlul, Lutfi al-Sayid, dan Muhammad Husein Haykal.

Minggu, 05 Januari 2014

Jamaluddin al-Afghani


a.      Biografi
Sayyid Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang tokoh penting penggerak pembaruan dan kebangkitan Islam abad ke-19. Ia desenangi sekaligus dimusuhi oleh dunia Islam sendiri. Ia disenangi karena aktivitas dan gagasan politiknya menjadi inspirasi  bagi upaya pembebasan umat Islam dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Sebaliknya, ia dimusuhi karena menjadi batu sandungan bagi penguasa-penguasa dunia Islam yang orienter, korup dan despotis ketika itu. Jamaluddin dianggap membahayakan kekuasaan mereka.
Jamaluddin dilahirkan pada 1838M. ayahnya bernama Sayyid Syafdar, seorang penganut mazhab Hanafi. Konon Jamaluddin adalah keturunan Rasulullah. Silsilah keluarganya sampai kepada Nabi SAW melalui Husein ibn Ali ibn Abi Thalib, suami Fathimah putri Beliau. Terdapat perbedaan tentang daerah kelahirannya. Sebagian orang mengklaim bahwa ia adalah orang Iran, namun ia menyembunyikan ke-syi’ah-annya (taqiyah) di tengah-tengah penguasa dan masyarakat Muslim yang mayoritas menganut Sunni. Sebagian lain menyatakan bahwa ia adalah orang Afganistan, sebagaimana yang tercantum di belakang namanya. Jamaluddin adalah seorang pengikut sebuah tarekat sufi. Jamaluddin al-Afghani sangat zuhud dan tidak mau menikah. Ia merupakan anggota dewan keilmuan di Istanah (Turki).
Menurut L. Stoddard, Jamaluddin dilahirkan di Asadabad dekat Hamazan di Persia, namun ia berkebangsaan Afganistan, bukan Persia, seperti dinyatakan dalam namanya. Gelar “Sayyid” menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Rasulullah dan darahnya bercampur dengan darah Arab. Sementara orang Syi’ah mengklaim Jamaluddin berkebangsaan Iran (Persia). Muhammad Hasan I’Timaduddin, salah seorang pengikut Syi’ah seperti dikutip oleh Hamka, menegaskan Jamaluddin al-Afghani sebagai orang Iran, dilahirkan di Asadabad di wilayah Iran. Ia menolak pendapat tentang Jamaluddin berkebangsaan Afghanistan. Bahkan tokoh Syi’ah lainnya, Murtadha Mutahhari, tidak mau menggunakan “al-Afghani” dibelakang namanya. Ia menulis namanya dengan Sayyid Jamaluddin Asabadadi. Muthahhari pun lebih banyak menggunakan kata “Sayyid” dalam bukunya dan enggan menggunakan kata “al-Afghani”.
            Terlepas dari perbedaan asal usul ini, yang jelas Jamaluddin memegang peranan penting dalam pergerakan politik Islam modern. Ia dikenal luas di dunia Islam Sunni dan Syi’ah serta sangat berpengaruh terhadap dunia Islam, terutama karena perhatiannya yang serius terhadap kolonialisme bangsa-bangsa Barat dan absolutism penguasa-penguasa Muslim.
            Sejak kecil, Jamaluddin telah menekuni berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, Hadis, tasawuf dan filsafat Islam. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Sejak remaja ia mulai menekuni filsafat dan ilmu eksakta menurut system pelajaran Eropa modern. Tentang filsafat ia belajar dari tokoh-tokoh ulama Syi’ah, seperti Syekh Murtadha Anshari,Mulla Husein al-Hamadi, Sayyid Ahmad Teherani dan Sayyid Habbubi.
            Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke India dan tinggal di sana selama setahun. Dari India ia bertolak ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia kembali ke Afganistan. Pulang dari Mekkah, saat berusia 22 tahun, ia sudah diangkat menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afganistan. Setelah Mohammad Khan meninggal dunia pada 1864, penggantinya Sir Ali Khan mengangkat Jamaluddin sebagai penasehatnya. Setelah itu, ia pun diangkat menjadi perdana menteri pada pemerintahan Muhammad Azham Khan. Namun ini tidak lama, karena Azham Khan akhirnya dijaruhkan oleh kelompok oposisi yang didukung Inggris, yang saat itu sudah mulai menancapkan kekuasaannya di negeri itu. Untuk menghindari pengaruh buruk yang mungkin akan menimpanya, Jamaluddin bertolak kembali ke India dan pergi haji lagi tahun 1869.

b.      Ide-ide Politik
Dari pengalaman melakukan kunjungan ke berbagai Negara Islam, Jamaluddin melihat kenyataan bahwa dunia Islam ketika itu didominasi oleh pemerintahan yang otokrasi dan absolute. Penguasa-penguasa di dunia Islam menjalankan kekuasaannya sebagaimana dikehendakinya saja, tanpa terikat pada konstitusi. Mereka juga tidak mau membuka diri melakukan musyawarah dalam pemerintahan. Karena itu, untuk membangun pemerintahan yang bersih dan kuat, yang pertama kali dibangun adalah masyarakatnya. Harus ada perubahan orientasi pemikiran dalam masyarakat, dari keterpukauan serta sikap menerima saja terhadap pemerintahan yang ada menuju upaya perubahan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam tersebut. Menurut Jamaluddin, seperti dikutip Ahmad Amin, pada hakikatnya kekuatan sebuah masyarakat akan bernilai bila timbul dari dalam diri mereka sendiri. Lembaga perwakilan rakyat bersifat netral dan bisa menentukan bentuk pemerintahan, apakah kerajaan, kesultanan atau pemerintahan yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing. Lembaga perwakilan tersebut sangat tergantung pada orang-orang yang akan mengisinya. Oleh sebab itu, pemikiran dan jiwa masyarakat harus terlebih dahulu dibangun dan dibenahi, barulah bisa dibicarakan bagaimana bentuk dan system pemerintahan.
Untuk usaha ini, Jamaluddin menekankan revolusi yang didasarkan pada kekuatan rakyat, sehingga tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai. Dalam pandangannya yang revolusioner ini, Jamaluddin selalu memprovokasi umat Islam di Negara di mana ia berkunjung agar menentang kesewenang-wenangan penguasa mereka. Rakyat harus merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi, yang berarti melalui pemberontakan, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Menurut Jamaluddin, kalau ada sejumlah hal yang harus direbut tanpa ditunggu sebagai hadiah, maka kebebasan dan kemerdekaan adalah dua hal diantaranya. Bahkan tidak jarang ia terlibat langsung dalam gerakan politik bawah tanah. Ketika berada di Mesir, ia juga menganjurkan pembentukan pemerintahan rakyat melalui partisipasi rakyat dalam pemerintahan konstitusional sejati. Ia menggemakan tentang keharusan pembentukan dewan perwakilan rakyat yang disusun sesuai dengan keinginan rakyat. Anggota-anggotanya harus berasal dari pilihan rakyat, bukan pilihan penguasa atau “pesanan” kekuatan asing. Dari pemikiran Jamaluddin ini Harun menyimpulkan bahwa Jamaluddin menghendaki bentuk pemerintahan republic yang di dalamnya terdapat kebebasan rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan kewajiban penguasa untuk tunduk pada konstitusi.
c.       Pan-Islamisme
Dalam kehidupannya, Jamaluddin menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu penguasa-penguasa Muslim yang korup yang hanya menjadi boneka dari imprealisme Barat dan penjajah Barat sendiri. Memang, ketika itu hamper tidak ada wilayah Islam yang tidak dikuasai oleh Barat. Inggris menguasai Mesir, demikian juga India setelah kehancuran dinasti Mughal. Inggris juga menjajah Afganistan. Selain itu, di Afrika, Perancis menjajah ALjazair dan wilayah-wilayah lain. Italia juga menguasai Libia. Sementara Asia Tenggara pun dikuasai oleh Inggris dan Belanda. Penguasa-penguasa Muslim, karena takut kehilangan kedudukan mereka, rela bekerja sama dengan imprealisme Barat. System khalifah yang mengikat seluruh umat Islam, secara perlahan mengalami kemerosotan dan berganti dengan ideology nasionalisme yang diadopsi dari Barat.
Melihat kenyataan demikian, Jamaluddin menekankan perlunya Dunia Islam bersatu padu melawan kekuatan asing dalam wadah Pan-Islamisme. Jamaluddin menilai bahwa sumber kelemahan dunia Islam adalah lemahnya solidaritas umat Islam. Barat tidak lebih kuat dari umat Islam bila saja mereka mau bersatu menghadapinya. Persatuan dan kesatuan umat Islam sudah lemah sekali. Antara satu pemimpin Negara Islam dengan yang lain kadang-kadang terjadi saling menjatuhkan. Diantara ulama juga sering tidak memiliki komunikasi. Karena itu, umat Islam harus bersatu dalam pan-Islamisme.
Dalam sebuah cerita simbolis, Jamaluddin menulis di majalah al-‘Urwah-nya tentang sebuah kuil di pinggiran sebuah kota. Kuil ini menjadi tempat berteduh dan menginap para musafir yang sedang dalam perjalanan. Namun setiap orang yang masuk ke dalamnya, pasti mati secara misterius. Berita kematian misterius ini menyebar kemana-mana, sehingga tidak ada orang yang mau singgah lagi kesana. Akhirnya ada seorang laki-laki yang masuk ke dalamnya dengan berani. Ia ditakut-takuti oleh bunyi-bunyian suara yang menyeramkan dari seluruh penjuru kuil. Tak mau kalah, si laki-laki tadi malah memekikkan suaranya lebih keras lagi. Tiba-tiba terjadilah ledakan besar kuil ini. Dinding-dinding kuil retak dan dari retak kuil ini akhirnya keluarlah berbagai harta perbendaharaan kuil yang begitu banyak.
Jamaluddin mengisyaratkan bahwa yang membunuh para musafir tidak lain adalah rasa takut mereka. Lalu mereka mencari perlindungan ke dalam kuil yang disimbolkan sebagai Inggris. Namun rasa takut yang tak beralasan itu menghantui mereka sehingga mematikan pikiran mereka sendiri untuk keluar dari rasa takut itu. Jamaluddin mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki yang berani membongkar misteri kuil tersebut dan menghancurkan termbok-temboknya.
Karena itu, Barat sebenarnya tidak lebih kuat. Umat Islam harus berani menghadapinya dengan memperkuat persatuan di dalam pan-Islamisme. Dibawah wadah ini, tidak berarti bahwa Negara-negara Islam meleburkan diri ke dalam saru pemerintahan imperium yang tunggal seperti khalifah. Pan-Islamisme lebih berbentuk solidaritas seluruh dunia Islam untuk merasakan senasib sepenanggungan, karena mereka adalah laksana satu tubuh yang sama-sama merasakan sakit dan senang. Dengan demikian, apa pun yang dihadapi oleh satu Negara Islam harus dipahami sebagai masalah seluruh dunia Islam dan mereka harus saling membahu menyelesaikan masalah tersebut.
Jamaluddin sangat tidak sepakat dengan pandangan bahwa umat Islam harus melakukan kerja sama dengan penjajah, sebagaimana digagas Ahmad Khan dari India. Tokoh ini adalah seorang propogandis peradaban Barat (Inggris) dan melarang umat Islam melawan Inggris. Ahmad Khan mengembangkan pandangan bahwa Al_Qur’an adalah satu-satunya bagian yang penting dalam Islam dan syariah bukanlah hal yang pokok dari agama, dan aturan moral serta hukum harus didasarkan pada alam. Pandangan ini dinamakan dengan Naisyariyah (berasal dari nature, yang berarti alam). Terhadap ajaran ini, Jamaluddin melakukan kritik pedasnya dengan menyatakan bahwa penyebaran doktrin ini merupakan scenario Inggris untuk memperlemah iman dan memecah kesatuan umat Islam. Jamaluddin menulis buku ar-Radd ‘ala al-Dahriyyin (penolakan terhadap kaum Naturalis).
Untuk mencapai cita-cita ini, Jamaluddin menawarkan langkah-langkah seperti kembali kepada pemahaman keIslaman yang benar dan menghilangkan taklid, bid’ah khurafat, menyucikan hati dengan mengembangkan al-akhlaq al-karimah (budi pekerti yang luhur), dan mengembangkan musyawarah dengan berbagai kelompok.dalam masyarakat.
Dari aktivitas dan gagasan politik Jamaluddin, sangat tepat kiranya kalau dikatakan bahwa Jamaluddin adalah orang yang pertama dalam era modern Islam yang menyadari bahaya penetrasi Barat dan perpecahan dunia Islam. Jamaluddin tidak hanya bicara teoretis, tetapi juga berusaha mencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam. Gerakan dan gagasan-gagasannya member ilham bagi Negara-negara Islam untuk bangkit dari keterpurukan mereka karena penjajahan Barat dan merebut kembali kemerdekaan mereka.
Dalam konteks kontemporer sekarang, gagasan-gagasan Jamaluddin sangat penting dikembangkan dalam rangka menghadapi percaturan global. Umat Islam tidak akan bisa maju tanpa persatuan dan kesatuan. Tanpa memiliki komitmen persatuan, mereka akan sulit berkompetisi menghadapi kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa barat. Kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki hanya akan menjadi sasaran empuk para kapitalis modern untuk dikuras dan dieksploitasi demi kepentingan Negara-negara maju. Dengan dalih liberalisasi, globalisasi dan ekonomi pasar, pasar bebas dan segala dalih lainnya, kekuatan-kekuatan pemodal raksasa dari Barat akan dengan mudah menanamkan modalnya di Negara-negara Muslim yang kaya sumber daya alamnya. Akhirnya, yang terjadi adalah penjajahan model baru bangsa-bangsa barat terhadap dunia Islam, yaitu eksploitasi sumber daya alam bangsa-bangsa Muslim oleh barat. Kalau pada zaman Jamaluddin di akhir abad ke – 19 dan awal abad ke – 20 barat menjajah dunia Islam secara territorial, sekarang barat tidak perlu melakukan hal demikian. Mereka cukup menciptakan ketergantungan dunia Islam terhadap barat, mengendalikan pemerintahan di Negara-negara Muslim lalu memperoleh konsesi-konsesi.
Pada abad lalu, Jamaluddin dengan lantang sudah menggemakan bahayanya colonialisme dan imprealisme gaya modern seperti ini. Dengan segenap kemampuannya, Jamaluddin tidak pernah lelah mengingatkan bahaya tersebut. Sampai sekarang apa yang didengungkan oleh Jamaluddin masih terasa relevansi dan semangatnya.