Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur
dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu,
“Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum”.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari
Negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga Negara
Indonesia maupun warna Negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan
badan hukum public.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai
oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Wewenang
Umum
Wewenang yang bersifat
umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan
tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2. Wewenang
Khusus
Wewenang yang bersifat
khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan
tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah
Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan
bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya,
wewenang pada Hak Guna Usaha adalah
menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian,
perikanan, peternakan, atau perkebunan.
B.
Pengertian
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
1.
Hak
Milik
Salah satu hak atas tanah yang
termasuk dalam kategori bersifat primer adalah Hak Milik. Sebab hak milik
merupakan hak primer yang paling utama, terkuat dan terpenuh, dibandingkan
dengan hak-hak primer lainnya, seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, atau hak-hak lainnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut :
“Hak milik adalah hak turut-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”
Yang dimaksud dengan “Hak Milik”
adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah
dengan mengingat fungsi social, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain. (Pasal 20 UUPA).
Menurut A.P. Parlindungan dalam
bukunya Komentar Atas Undang-Undang Pokok
Agraria, kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud untuk pembedakannya
dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya, yaitu
untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang,
hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh). Begitu pengtingnya hak milik,
pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik
atas tanah tersebut.
Hal ini dapat terlihat dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972 tentang
Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. Namun demikian, pada tahun 1993 pemerintah
mengganti Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut dengan Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Penglimpahan Kewenangan Pemberian
dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Dalam Pasal 3
Permendagri Nomor 3 Tahun 1993 dinyatakan bahwa : Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya member keputusan mengenai:
1.
Pemberian hak
milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha (dua hektar);
2.
Pemberian hak
milik atas tanah nonpertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (dua ribu
meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
3.
Pemberian Hak
Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program :
a.
Transmigrasi;
b.
Redistributor
tanah;
c.
Konsolidasi
tanah;
d.
Pendaftaran
tanah secara missal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara
sistematik maupun sporadic.
Pemberian hak milik atas tanah,
bukan saja diberikan kepada perseorangan, tetapi juga dapat diberikan kepada
badan-badan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan. Dalam memberikan
landasan hukum yang terkuat kepada badan-badan hukum untuk mendapat hak milik
atas tanah, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 1963 tentang Pengajuan
Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, terkuat kepada
badan-badan hukum yang disebut di bawah ini dapat mempunyai hak milik atas
tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal 2, 3, dan 4
peraturan ini :
a.
Bank-bank yang
didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara);
b.
Perkumpulan-perkumpulan
Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958
(LN 1958 No. 139);
c.
Badan-badan
keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar
Menteri Agama;
d.
Badan-badan
social, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri
kesejahteraan Sosial.
Sementara itu, untuk keperluan
bank-bank pemerintah dapat diberikan penguasaan hak atas tanah dalam benruk hak
milik. Pemberian hak milik tersebut sesuai Peraturan Menteri Agama Nomor 2
Tahun 1960, yaitu :
- I.M.A (S 1939-563);
- Indonesian
vereningengen (S 1939-570);
- B.I.N (LN. 1952-21);
- B.T.N. (LN. 1955-137);
- B.N.I (LN. 1955-5);
- Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan
Pembukaan Tanah (LN. 1959-60);
- Bank Umum Negara (LN. 1959-85);
- B.D.N. (LN. 1960-39);
- Bank Rakyat Indonesia (LN 1951-180 yo 160-41);
- Bank Pembangunan Indonesia (LN 1960-65).
Sementara untuk badan-badan keagamaan
agar mendapat pengakuan secara hukum atas kepemilikan atas tanah, maka hal itu
akan ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri, sekarang Kepala Badan
Nasional (BPN), setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Agama. Penunjukan
kepada badan-badan keagamaan tersebut telah diberikan sejak tahun 1969, sebagai
berikut :
1.
Gereja Protestan
di Indonesia bagian Barat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 22/DDA/69;
2.
Gereja Roma
Katolik berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi No.
1/DDAT/Agr/67;
3.
SK Mendagri
Nomor 14/DDA/1972 untuk persyarikatan Muhammadiyah;
4.
SK Mendagri
Nomor 3/DDA/1972 untuk gereja-geraja Protestan di Indonesia dan lain-lain.
Memperhatikan beberapa
ketentuan mengenai pemilikan hak atas tanah, terdapat gambaran bahwa hak milik
atas tanah merupakaan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan yang sangat
ketat. Perlindungan ketat dimaksud agar pemberian status agar pemberian status
hak kepada perorangan harus dilakukan dengan seleksi yang ketat, agar
betul-betul terjadi pemerataan atas status hak tersebut. Hal ini dimaksudkan
agar jangan sampai terjadi jurang pemisah antara pemilik tanah yang luas dengan
orang yang memiliki tanah yang sempit. Sebab hal ini berkaitan dengan
eksistensi seseorang untuk mendapatkan status sebagai orang miskin dan tidak
miskin. Konsep miskin dalam konteks hukum agrarian, konsep miskin lazim
ditujukan bagi orang yang tidak mempunyai tanah atau orang yang mengerjakan
tanah orang lain, atau yang paling popular disebut sebagai “petani gurem”.
Pemerintah menaruh
perhatian yang sangat serius terhadap pemilikan atas tanah tersebut sehingga
pemerintah tidak memperkenankan hak milik atas tanah itu beralih kepada orang
asing karena perkawinan. Hal ini sesuai dengan surat edaran dari Kepala
Direktorat Pendaftaran Tanah tanggal 2 November 1965 Nomor 7850 yang ditujukan
kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah Bukittinggi, dinyatakan bahwa juka
seorang wanita warga Negara Indonesia itu kawin dengan warga Negara Asing
terjadilah percampuran harta, sehingga berlakulah ketentuan Pasal 21 ayat (3)
UUPA, yaitu keharusan melepaskan haknya kepada warga Indonesia dalam tempo 1
tahun, oleh karena tanah itu diperlakukan sebagai dimiliki oleh orang asing
sebagai akibat tidak dapat lagi dibedakan mana yang bagian warna Negara
Indonesia dan orang asing, kecuali dapat dibuktikan bahwa : a). dia tidak
meninggalkan kewarganegaraanya, dan b.) dia telah kawin di luar pencampuran
harta, dan dibuktikan dengan suatu akta autentik (akta notaries) tentang adanya
syarat-syarat perkawinan tersebut.
2. Hak Guna Usaha
Yang
dimaksud dengan “Hak Guna Usaha”, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat
diperpanjang 25 tahun, guna peruasahaan pertanian, perikanan atau peternakan
yang luasnya paling sedikit 5 hektare dengan ketentuan bila luasnya 25 Ha atau
lebih, harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang
baik, dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan
hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. (Pasal
28 dan Pasal 33 UUPA)
Dalam
rangka pemberian hak atas tanah dalam Undang-Undan Pokok Agraria, selain hak
milik, maka Hak Guna Usaha merupakan
bentuk hak atas tanah dapat diberikan kepada pemegang hak. Sedang syarat
untuk dapat memiliki adalah :
a.
Warga Negara
Indonesia.
b.
Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (pasal 30 ayat
1 Undang-undang pokok Agraria).
Apabila orang atau
badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat
sebagai yang tersebut dalam ayat 1 tersebut di atas, dalam jangka waktu satu
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperolehhak guna usaha,
jika ia tidak memenuhi syarat (pasal 30 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria).
Dengan demikian,
pengertian pada ayat 2 dari pasal tersebut di atas, mengandung arti bahwa hak
guna usaha yang bersangkutan tidak dialihkan atau tidak dilepaskan dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh Undang-undang, maka hak tersebut menjadi hapus
karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak lain akan diindahkan menurut
menurut ketentuan yang ada.
Dalam kaitannya dengan
pasal 30 Undang-undang Pokok Agraria ini erat sekali hubungannya dengan
kewarganegaraan seesorang, oleh karena hak guna usaha ini hanya untuk warga
Indonesia atau badan hukum yang didirikan menutur peraturan perudang-undangan
yang berlaku di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia, jadi hanya badan
hukum yang dapat mempunyai hak guna usaha. Oleh karenanya tanah yang diatasnya
melekat hak guna usaha yang jatuh kepada bukan warga Negara atau badan hukum
Indonesia, maka jika tidak dialihkan dalam jangka saru tahun setelah tidak
dipenuhi syarat-syarat tentang pemilikan, maka haknya menjadi hapus.
Hak guna usaha dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (pasal 33 Undang-undang
Pokok Agraria). Maka dalam rangka jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan
atas tanah dengan Hak Guna Usaha ini, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
Nomor 11 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam
pemberian hak guna usaha kepada pengusaha-pengusaha swasta nasional, yang telah
diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1964 dan
sebagian telah dicabut dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertanian Nomor 2/Pert/OP/8/1969-8 Tahun 1969 sepanjang mengenai status
tanah dengan hak guna usaha, selama hak tanggungan yang dimaksudkan dalam
Undang-undang Pokok Agraria belum ada peraturannya, maka hak guna usaha yang
diberikan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11
Tahun 1962 dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotek atau
credietverband, menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan (pasal 11).
Dalam rangka pemberian
hak guna usaha ini, tanah-tanah yang dikecualikan adalah:
1. Dikecualikan
dari pemberian hak usaha baru, bagian-bagian tanah bekas areal
perusahaan-perusahaan besar yang :
a.
Sudah merupakan
perkampungan rakyat.
b.
Telah diusahakan
oleh rakyat secara menetap.
c.
Diperlukan oleh
pemerintah.
2. Apabila
di antara tanah-tanah tersebut di atas ada yang perlu dimasukkan kedalam areal
perusahaan kebun yang diberikan denga hak guna usaha, maka tentang hak guna
usaha tersebut penyelesaiannya harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
3. Hak Guna
Bangunan
Yang dimaksud dengan
“Hak Guna Bangunan” adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun
dan dapat diperpanjang dalam waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
(Pasal 35 bersambung pasal 39 UUPA)
Sebagai sifat-sifat dan
cirri-ciri hak guna bangunan dapat disebutkan antara lain :
a.
Sungguhpun tidak
sekuat hak milik, namun sebagaimana halnya dengan hak guna usaha, hak guna
bangunan tergolong hak-hak yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan dapat
dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu maka Hak Guna
Bangunan termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan (pasal 38 UUPA dan
pasal 10 PP No. 10 Tahun 1971);
b.
Hak Guna
Bangunan dapat beralih, artinya dapat diwaris oleh ahli waris yang mempunyai
hak (pasal 35 ayat 1);
c.
Sebagaimana
halnya dengan Hak guna usaha, maka hak guna bangunan jangka waktunya terbatas,
artinya pada suatu waktu pasti berakhir (pasal 35 ayat 1 dan 2);
d.
Hak guna
bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani tanggungan, hipotik atau
Credietverband (pasal 39).;
e.
Hak guna
bangunan dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu bisa dijual, ditukarkan
dengan benda lain, dehibahkan atau diberikan dengan wasiat (di “legat” kan).
Pasal 35 ayat 3)
f.
Hak guna
bangunan dapat juga dilepaskan oleh yang mempunyai hingga tanahnya menjadi
tanah Negara (pasal 40 huruf c).
4. Hak Pakai
Yang dimaksud
dengan “Hak Pakai” adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang
member wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian Pengelolaan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini:
Hak pakai ini dapat
diberikan:
1.
Selama jangka
waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2.
Dengan
cuma-cuma, dengan pembayaran atau jasa berupa apapun.
Pemberian Hak Pakai ini
tidak boleh disertakan syarat-syarat yang mengandung unsure-unsur pemerasan.
Dengan demikian, maka
sifat-sifat dari Hak Pakai :
1.
Hak Pakai atas
tanah bangunan maupun tanah pertanian.
2.
Dapat diberikan
oleh Pemerintah maupun oleh si pemilik tanah.
3.
Hak Pakai dapat
diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu.
4.
Hak Pakai dapat
diberikan dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa
apapun.
5.
Hak Pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dapat izin Pejabat yang berwenang,
apabila penggunaan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau dimungkinkan
dalam perjanjian yang bersangkutan apabila mengenai tanah milik.
6.
Hak Pakai tidak
dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
7.
Pemberian Hak
Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung pemerasan.
C.
Hak
Atas Tanah Yang Bersifat Sementara
Ketentuan Umum. Hak-hak atas tanah yang
bersifat sementara disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA, yang
macam-macam haknya disebutkan dalam pasal 52 UUPA, yang meliputi Hak Gadai
(Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Menumpang, dan Hak
Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat
sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapuskan karena
mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA.
Kenyataannya sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan
adalah mengurangi sifat pemerasan
1.
Hak Gadai
Gadai
adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang
telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan,
tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau “penebusan”
tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Pasal
1151 KUH Perdata, Perjanjian Gadai harus dibuktikan dengan alat yang
diperkenankan untuk membuktikan perjanjian pokoknya.
2.
Hak Usaha Bagi
Hasil
Hak
usaha bagi hasil muncul karena adanya perjanjian bagi hasil antara pihak
pemilik tanah dengan penggarap dengan imbangan hasil yang telah disepakati.
Perjanjian bagi hasil menurut UU No. 2 Tahun 1960 adalah perjanjian yang
diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan hukum, yang disebut
penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik
tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, yang
hasilnya dibagi antara kedua belah pihak menurut imbanganan yang disetujui
sebelumnya.
3.
Hak Menumpang
Hak
menumpang adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk mendirikan dan
menempati rumah di atas tanah pekarangan orang lain (istilah menumpang = mager
sari). Hak menumpang ini sebenarnya termasuk hak pakai, tetapi pada hak
menumpang hubungan hukumnya lemah, mudah diputuskan oleh pemilik tanah
pekarangan, karena dalam hak menumpang ini tidak dikenal bayaran.
Subjek hak
menumpang : Warga Negara Indonesia.
Sifat
dan cirri-ciri : Hak yang sangat lemah; tidak ada pembayaran sewa;
sewaktu-waktu jika si pemilik tanah memerlukan tanahnya hak tersebut hapus,
turun-temurun; tidak dapat dialihkan; terjadinya hak menumpang; karena
perjanjian (izin dari pemilik tanah). Jangka waktu hak menumpang: tidak
tertentu, tergantung si pemilik tanah atau rumah.
Hapusnya
hak penumpang yang terkena pesangon, dicabut untuk kepentingan umum, tanahnya
musnah.
4.
Hak Sewa
Bangunan
Pengertian
hak sewa bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA yang menyatakan
bahwa “seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia
berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.”
Hak
sewa disediakan untuk bangunan-bangunan yang kiranya meliputi bangunan-bangunan
untuk perumahan, tempat penyimpanan barang, gedung-gedung-gedung pabrik dan
lain sebagainya. Hak sewa hanya boleh diadakan dari hak milik, di atas tanah
Negara tidak boleh didirikan hak sewa. (Pasal 20-27 UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria)
5.
Hak Sewa tanah
Pertanian
Hak
sewa tanah pertanian merupakan hak yang memberikan kewenangan untuk menguasai
dan mengusahakan tanah pertanian kepunyaan orang lain. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 10 UUPA maka hak sewa tanah pertanian bertentangan dengan prinsip bahwa
tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif sendiri oleh pemilik sehingga hak
sewa tanah pertanian memungkinkan terjadinya pemerasan terhadap orang atau
golongan lain khususnya yang tidak memiliki tanah pertanian.
Hak
sewa tanah pertanian termasuk dak atas tanah yang bersifat sementara, artinya
pada suatu waktu hak ini sebagai lembaga hukum tidak akan ada lagi. Bersifat
sementara karena dianggap tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional.
D.
Pembebanan
Hak Milik dan Hapusnya Hak Milik
- Pembebanan Hak Milik
Menurut pasal 25
UUPA, Hak Milik atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan. Yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (Pasal 1 angka 1 UU
No. 4 Tahun 1996).
Syarat
sah terjadinya Hak Tanggungan harus memenuhi 3 unsur yang bersifat kumulatif,
yaitu:
1.
Adanya
perjanjian utang-piutang antara pemilik tanah sebagai debitor dengan pihak lain
(bank) sebagai kreditor, yang dapat dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta
di bawah tangan.
2.
Adanya Akta
Pemberian Hak Tanggungan sebagai perjanjian ikutan (tambahan). Adanya
penyerahan Hak Milik atas tanah sebagai jaminan utang dari debitor, harus
dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).
3.
Adanya
Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Akta
pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan Kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan
diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
Prosedur
pembebanan Hak Milik dengan Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 jo.
Pasal 44 PP No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 114 sampai dengan Pasal 119 Permen
Agraria/Kepala BPN No. 3 tahun 1997.
- Hapusnya Hak Milik
Pasal
27 UUPA menetapkan factor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah dan
tanahnya jatuh pada Negara, yaitu :
1.
Karena
pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2.
Karena
penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3.
Karena
diterlantarkan;
4.
Karena subjek
haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah;
5.
Karena peralihan
hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain tidak memenuhi
syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah.
Hak
Milik atas tanah juga dapat dihapus karena tanahnya musnah, misalnya karena
adanya bencana alam.
Adapun
syarat-syarat pencabutan Hak Milik atas tanah oleh pemerintah adalah sebagai
berikut :
1.
Tanah yang
bersangkutan benar-benar diperlukan untuk kepentingan umum;
2.
Pelaksanaan
Pencabutan Hak atas tanah;
3.
Ganti kerugian
pencabutan hak atas tanah.
E.
Kewajiban
dan Hak Pemegang Hak Guna Usaha
Pemegang Hak
Guna Usaha berkewajiban untuk :
a.
Membayar uang
pemasukan kepada Negara;
b.
Melaksanakan
usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan
dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
c.
Mengusaha
sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha
berdasarkan criteria yang diterapkan oleh instansi teknis;
d.
Membangun dan
memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan
areal Hak Guna Usaha;
e.
Memelihara
kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian
kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f.
Menyampaikan
laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai Hak Guna Usaha;
g.
Menyerahkan
kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Udaha kepada Negara sesudah Hak
Guna Usaha tersebut dihapus;
h.
Menyerahkan
sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pemegang Hak Guna Usaha
dilarang menyerahkan pengusahaan atas tanah Hak Guna Usaha kepada pihak lain,
kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 12).
Hak pemegang Hak Guna
Usaha, berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 Tahun 1996, pemegang hak Guna Usaha berhak
menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk
melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya
di atas tanah Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha dengan mengingat
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat
sekitarnya.
F.
Hapusnya
Hak Guna Usaha
Hak
Guna Usaha hapus karena :
a.
Berakhirnya
jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau
perpanjangan;
b.
Dibatalkannya
hak oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir (karena :
tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan putusan pengadilan yang
telah mempunyai ketentuan hukum tetap);
c.
Dilepaskan
secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum waktunya berakhir;
d.
Dicabut
berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1991;
e.
Diterlantarkan;
f.
Tanahnya musnah.
Dengan
hapusnya Hak Guna Usaha mengakibatkan tanah menjadi tanah Negara (Pasal 17).
G.
Pembebanan
Hak Guna Usaha
Sebagaimana dicantumkan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Buku IV Hak Atas Tanah Bab II Bagian
keenam, Pembebanan Hak Guna Usaha :
(1)
Hak Guna Usaha
dapat dijadikan jaminan uang dengan dibebani Hak Tanggungan
(2)
Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Muchsin, Imam Koewahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia, dalam perspektif
sejarah, Refika Aditama, Bandung, 2010
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas tanah, PT. Fajar Interpratama
Offset, Jakarta, 2009
Supriadi,
Hukum Agraria, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002
Sudaryo
Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit
Alumni, Bandung, 1995
Samun
Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2011
Kelompok KARISMA Publishing, Seri Hukum
dan Perundang-undangan, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, SL Media, Tangerang
I
Wayan Suandra, Hukum Pertanahan
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1994
C.S.T. Kansil, Christine S. T. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria,
Undang-undang No.5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2002