Jumat, 29 Maret 2013

Istilah Hukum Adat


Istilah hukum adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab, “Huk’m” dan “Adah” (jamaknya, ahkam) yang artinya suruhan atau ketentuan. Di dalam Hukum Islam dikenal misalnya “Hukum Syari’ah” yang berisi adanya lima macam suruhan atau perintah yang disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu : Fardh (wajib), haram (larangan), mandub, atau sunnah (anjuran), makruh (celaan) dan jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Adah atau adat ini dalam bahasa Arab disebut dengan arti “kebiasaan” yang perilaku masyarakat  yang selalu terjadi. Jadi “Hukum Adat” itu adalah “Hukum Kebiasaan”.
Istilah hukum adat yang mengandung arti aturan kebiasaan ini sudah lama dikenal di Indonesia seperti di Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)  istilah hukum adat ini telah dipergunakan dalam kitab hukum yang diberi nama :Makuta Alam” kemudian di dalam kitab hukum “Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam” yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh Muhammad Kamaludin anak Kadhi Baginda Khatib Negeri Trussan atas perintah Sultan Alaiddin Johan Syah (1781-1895). Di dalam  mukadimah kitab hukum acara tersebut dikatakan bahwa dalam memeriksa perkara seorang hakim harus memperhatikan hukum Syara, Hukum Adat serta Adat dan Resam.[1]
Kemudian istilah ini dicatat oleh Christian Snouck Hurgronje, ketika ia melakukan penelitian di Aceh pada tahun 1891-1892 untuk kepentingan pemerintah penjajah Belanda, yang menerjemahkan ke dalam istilah bahasa Belanda “Adat-Recht”, untuk membedakan antara kebiasaan atau pendirian dengan adat yang memiliki sanksi hukum. Seperti diketahui, hasil penelitian Hurgronje ini menghasilkan sebuah buku yang kemudian diberi judul De Atjehers (Orang-orang Aceh) pada tahun 1894. Sejak itulah Hurgronje disebut sebagai orang yang pertama menggunakan istilah “Adat-Recht” yang kemudian diterjemahkan sebagai hukum adat. Istilah ini kemudian menjadi terkenal sejak digunakan oleh Cornelis van Vollenhoven dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda).

Sebelum diperkenalkan istilah “Adat-Recht” yang kemudian diterjemahkan menjadi “Hukum Adat” oleh Christian Snouck Hurgronje  dan Cornelis van Vollenhiven, berbagai istilah yang mencoba menjelaskan tentang hukum adat telah dipergunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda dibawah ini : [2]
1.      Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving/Ketentuan-ketentuan umum perundang-undangan) Pasal 11 digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volks Instelligen en Gebruiken” (Peraturan-peraturan keagamaan, lembaga-lembaga rakyat dan kebiasaan-kebiasaan).
2.      Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R. 1854, digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Instelligen, en Gebruiken” (peraturan-peraturan keagamaaan, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan).
3.      Dalal I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturan hukum Negara Belanda semacam Undang-Undang Dasar bagi pemerintah Hindia-Belanda) Pasal 128 ayat (24) – sebelumnya, Pasal 71 ayat (2) sub b. redaksi baru R.R. 1854 yang mengganti pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R. 1854 dipergunakan istilah “Instellingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari rakyat).
4.      Dalam I.S. Pasal 131 ayat (2), sub b. digunakan istilah “Met Hunne Godsdiensten en Gewoonten Samenhangen de Recht Regelen” (aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka).
5.      Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat (2), digunakan istilah “Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten” (Peraturan-peraturan keagamaan dan kebiasaan-kebiasaan lama/kuno). Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten ini oleh Ind. Stbl. 1929 nr jo nr 487 diganti dengan istilah “Adat-Recht”.
            Dengan demikian nyatalah disini bahwa untuk “Hukum Adat” ini sebelum diperkenalkannya istilah “Adat-Recht” dipergunakan berbagai istilah dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda dengan sebutan Undang-undang Agama, Lembaga Rakyat, Kebiasaan-kebiasaan, dan Lembaga Asli. Sedangkan istilah “Adat-Recht” sebagaimana dimaksudkan diatas baru dipergunakan secara resmi dalam Undang-undang pemerintah Belanda pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali digunakan dalam Undang-undang

Belanda mengenai Perguruan Tinggi di Negeri Belanda, Nederlands Stbl. 1920 nr. 105 dan dalam academisch statuut.[3]
            Sebenarnya, sebelum digunakan dalam peraturan perundang-undangan pemerintah belanda atau Hindia-Belanda, istilah “adat-recht” telah sering dipergunakan dalam beberapa literatur asing tentang Hukum Adat, yang ditulis para ahli asing pada permulaan abad ke-20. Hal ini terlihat dari tulisan I.A. Nederburg dalam bukunya berjudul Wet en Adat (1896), kemudian Th. W. Juynboll dalam bukunya Handleiding tit de Kennis can de Muhammedaansche Wet (1903) dan H.J. Scheuer dalam bukunya Het Personenrecht voor de Inlanders of Jaca en Madoera, Codificatieproeve (1904).[4]



___________________________________________________________________

[1]H. Hilman Hadikusuma, 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung 
[2]Imam Sudiyat, 1982. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberti, Yogyakarta, hl.1-2;
     Bushar Muhammad, 1984. Asas-assas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradja Paramita,Jakarta hl.9-10
 [3] Bushar Muhammad, Ibid.,hl.10
 [4] Ibid, hl. 10


Kamis, 28 Maret 2013

Tarian sang mentari

Pagi tlah menyapa
fajarpun meenyingsing diufuk timur
seolah memberi isyarat pada sang bumi untuk memulai nyanyiannya
membawa aku ke lamunan terindah tentang hidupku
burung-burungpun berkicau menyadarkanku dari lamunan bersama sang pagi
akupun beranjak dari tempatku berdiri, berlari menuju taman nan indah
menyambut tarian sang mentari pagi ini

Aku berlari dan terus berlari
tak ingin ku lewatkan sedetikpun bahagianya pagi ini
sang mentari terus menari
menari menuju puncak hari ini

Perlahan tarian sang mentari menghapus titik-titik mungil embun
kicau burung dan hembusan anginpun seperti alunan musik nan riang

Embun semakin mengering,
Burung terus menyanyi,
Angin terus berhembus,
menghantar tarian sang mentari

Rabu, 27 Maret 2013

Aku dan Cahaya

Aku duduk di tengah kesuraman, sewaktu-waktu aku bisa menari sesuka hatiku, sewaktu-waktu aku termangu seolah kenistaan dalam kesuraman menjadi kawanku.
Dan tiba-tiba aku melihat sebuah cahaya di depanku, cahaya yang ternyata di dalamnya terlihat banyak orang yang tenang menjalani hidup yang teratur di dalamnya, yang tampak jauh dari kesuraman apalagi kenistaan yang sering aku temui.
Aku kagum dengan cahaya yang tampak itu, akupun beranjak dari tempat duduk yang suram ini, perlahan mendekati cahaya itu.
Tanpa sedikitpun keraguan aku masuk ke dalam sumber cahaya itu, aku berdiri disana, menari dengan keceriaan bersama mereka, aku di ajari banyak hal di dalam cahaya itu, hingga kemudian datang sebuah keistimewaan mendekatiku, yang sebenarnya ingin ku tolak, tapi kata mereka yang telah lebih dulu menghuni tempat itu aku harus menerima hal itu karena itu adalah amanah yang telah datang padaku, dengan mengumpulkan segala keberanianku dan yakin akan Sang Pelindung, aku akhirnya memberanikan diri menempati tahta itu.
aku menemui banyak ujian ketika tahta itu ku pegang, aku di cerca, di maki hingga aku di anggap tidak lebih dari sampah bahkan seekor hewan dimata mereka yang entah tidak suka denganku atau tidak suka dengan orang-orang sebelum aku, orang-orang yang telah memiliki tahta di satu kotak tempat dimana aku berdiri dan menari. ya kami yang bernaung di keindahan cahaya ini, punya tempat masing-masing berupa kotak-kotak yang memiliki tahta yang sama di masing-masing kotak. dan kotak-kotak itu kemudian bernaung pada kotak besar di atas kami. aku menerima cercaan dan makian itu ketika aku bertahta di kotak besar itu, aku tidak tahu apa salahku. akupun tidak pernah meminta untuk di beri tahta di kotak besar ini, karena aku sadar aku hanya bagaikan sebutir debu yang teramat kecil di antara batu-batu besar.
Aku berusaha untuk tidak terpancing, aku tetap menjadi diriku berusaha bangkit dan menjalankan apa yang sudah menjadi tanggung jawabku, hingga cercaan dan makian itu letih menghujamku.
Semua mulai nyaman untukku, hingga akhirnya datang badai yang lebih besar menghujamku, aku coba untuk bertahan hingga tiba-tiba aku jatuh, aku jatuh karena fisikku yang melemah...
Aku butuh cukup banyak waktu untuk kembali, dan meski aku masih kondisi fisik yang lemah aku kembali berdiri, menari dengan perlahan, tapi tarian itu tidak lagi seindah dan selincah dulu. Kini tarian itu melemah, tidak ada gerakan indah seperti dulu, aku lemah. berdiri saja kadang aku bisa jatuh. Selama aku lemah sampai aku berusaha bangkit, ternyata banyak hal yang terjadi tanpa aku sadari, keadaanku dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Aku tidak bisa marah, aku hanya bisa berusaha untuk tetap tegas dan tidak lemah selemah fisikku. Hingga badaipun terus menghantam dan aku tetap berdiri tegak di atas keyakinan bahwa IA sedang menjagaku,... aku terus menari dan berlari menuju puncak yang ku cari dan perlahan aku beranjak meninggalkan cahaya itu dan mencari ketentraman tanpa kotak-kotak itu,,..