Selasa, 13 Maret 2018

Catatan 13 Maret 2018, Untuk Suamiku.



Tiga belas maret pertama aku menjadi bagian dari kehidupanmu, benar-benar bagian dari kehidupanmu yang disebelum tidur dan saat bangunmu kau temui, yang dalam keadaan segar usai mandi dan dandan serta dalam keadaan lusuh berantakan usai beraktifitaspun menyapamu, yang dalam setiap perputaran sisa waktu yang kau miliki adalah selalulah bersamaku. Tiga belas maretmu yang mungkin dahulu adalah tentang angan seorang dirimu yang melambung tinggi, kini harus kau libatkan aku dalam segala rancangan peta kehidupan yang kau sandarkan pada Sang Pemilik Segalamu.
Suamiku, usiamu telah memasuki angka yang tidak sedikit pengalaman telah kau lalui. Ribuan pelajaran tentang kehidupan telah kau ukir, beribu kerikil telah kau lewati, bahkan ratusan gunung ujian telah kau sanggupi, kini dalam kehidupan baru kita bersama dalam usiamu yang kian dewasa dalam hitungan, semoga amanah tentangku sanggup jua kau tunaikan dengan baik.
Suamiku, aku tidak pernah ingin menuntutmu menjadi seorang yang sempurna dimataku, aku hanya ingin kita terus melangkah untuk saling menyempurnakan. Bila dalam proses awal rumah tangga kita ini telah kau temui banyak kurangku, semogalah kau sanggupi untuk menerimaku dengan penerimaan yang sempurna tanpa sedikitpun keluh atas segalaku. Tidak akan pernah ada sempurna bila tiada syukur yang membalut segalanya.
Suamiku, hari ini ditanggal kelahiranmu tiada kado istimewa yang dapat ku persembahkan, bukan karena pelitku melainkan karena memang aku masihlah menjadi perempuan dalam rumahmu yang belum menghasilkan apapun untuk membelikanmu sesuatu yang kau ingini. Aku tahu kaupun tiada menginginkan benda untuk ku hadiahkan padamu, sebab dalam setiap hari yang kita lewati kau hanya selalu berucap tentang sehatku, tentang aku yang harus terus tersenyum.
Suamiku, akupun bukan seorang sempurna dalam bakti yang baru ku mulai padamu tapi kau tahu aku tidaklah sekalipun ingin melihat ada kecewa dalam tatapanmu, bantu aku dalam segala usahaku untuk terus patuh meski lalai menghantui.  Percayalah sayang, meski  banyak kurangku namun dalam kesungguhan dengan mengharap ridho Allah ku beri baktiku penuh seluruh padamu, bimbinglah aku selalu.
Selamat memasuki angka baru dalam hidupmu sayangku, tetaplah menjadi baik dan teruslah untuk lebih baik. Tetaplah mendidik dan melindungi. Mengayomi dan mengajak dalam kebaikan. Tetaplah menjadi seorang yang selalu membuatku merasa istimewa karena segala tingkahmu, meski dalam kesederhanaan.
Diawal rumah tangga ini, dihari bertambahnya angka dalam usiamu, semoga kau semakin baik, istiqomah. Dan semogalah kita segera diberi kepercayaan oleh-Nya untuk amanah selanjutnya, memiliki keceriaan-keceriaan mungil nan lucu. Aamiin.


I Love You So Much, Biy.

Jumat, 09 Maret 2018

Fenomena Hijrah di Media Sosial



Belakangan sedang menjadi trend akhwat mendadak berjilbab besar dan tidak sedikit yang bercadar, atau ada pula yang (mungkin sedang) belajar bercadar dimulai dari mengenakan masker kemanapun pergi dan beraktifitas. Tidak ada sedikitpun masalah sebenarnya tentang pilihan setiap orang dalam memilih jalan hijrahnya, hanya saja fenomena ini terlihat seperti sekedar mengikuti trend semata. Jilbab tidak lagi sebagai bagian dari memenuhi kewajiban hijab aurat, jilbab kini malah lebih tampak sebagai media eksistensi diri di sosial media.

Bila kita menjelajahi beberapa situs media sosial, terlebih facebook dan instagram, tidak sulit bagi kita untuk menemukan foto-foto akhwat berjilbab modis maupun jilbab besar bahkan bercadar bertebaran dimanapun, dengan berbagai caption mulai dari tentang jilbab dalam bahasa hijab, hijrah bahkan tidak sedikit tentang penantian terhadap jodoh. Berbagai gaya diri, gaya jilbab dan gaya bahasa dalam caption yang dipost ke berbagai media. (mungkin) niat hati adalah dakwah, memberi contoh bahwa seperti itulah seharusnya seorang muslimah berpakaian. Sadar atau tidak, apa yang dilakukan tersebut malah melemahkan posisi muslimah terkesan sedang mengeksploitasi diri+, wajah dalam balutan jilbab dinikmati oleh entah siapa diluar sana, ribuan mata memandang sesuka hati bahkan pasti tidak sedikit mata yang tidak halal melihatnya malah memutuskan untuk menyimpan bahkan mengoleksi foto-foto wajah cantik berbalut jilbab tersebut. Wajah cantik, dengan sedikit polesan make-up dihias rapi jilbab berbagai model dengan caption manis ala-ala shalihat masa kini, tidak sulit ditemukan dan tidak sedikit pula mengajak ribuan mata dan pikiran yang bukan mahromnya berimajinasi tentang paras cantiknya, tentang indahnya bersanding dengannya yang memiliki caption shalihat –yang entah dicoppy dari sudut google mana–, mengutip berbagai ayat yang kadang oleh mesin pencarian diinternet diacak sehingga berubah redaksi karena posisi huruf bertukar tempat, dengan sendirinya merubah makna  tanpa diperhatikan asal dicoppy lalu dipost dan terlihatlah indah. Ada pula yang sesukanya mengutip hadits, tanpa sekalipun ingin tahu status haditsnya, dengan percaya diri bahkan menyi’arkan hadits dhoif dan mungkin ada pula yang palsu tanpa mencari tahu sebelumnya. Ahhh, zaman now ada saja fenomena lucu tentang kehidupan dalam media.

Sekali lagi, tidak ada sedikitpun masalah tentang pilihan orang dalam hijrahnya menuju kehidupan yang lebih baik, mempersiapkan bekalnnya menuju akhirat, hanya saja perlu juga mempertimbangkan lebih berat timbangan menuju maslahatnya atau malah mudhoratnya. Sudahkah kita memikirkan tentang berapa pasang mata yang menikmati wajah cantik titipan Allah kepada kita? Berapa banyak pikiran yang melambung dalam imajinasinya tentang kita? Atau berapa banyak yang coba menerka wajah dibalik cadar yang diwakili mata indah (kadang bercelak) yang dipertontonkan lewat pose indah foto yang kita tebar dimedia sosial? Tidak ingin melarang siapapun mengekspresikan dirinya, sama sekali tidak ada maksud seperti itu, hanya saja hijrahlah karena Allah, bukan sebatas ingin memperbanyak koleksi foto, saingan followers diakun pribadi kita atau mengundang komentator baper disetiap postingan kita.

Benarlah, kita pasti memposisikan aktifitas dalam media sosial sebagai bagian dari aktifitas bermuamalah yang pada kaidah fiqhnya, hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya) atau tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari’atkan oleh Allah, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Allah. Namun, apa tidak sebaiknya kita melihat lebih jauh tentang berapa banyak kejahatan dalam media sosial yang tidak bisa dibendung meski dalam hati niatan kita adalah baik adanya? Ingatlah, terlebih kita kaum hawa yang apapun aktifitas kita akan mudah mengundang fitnah. Telah baik niat kita, namun Allah tetaplah akan menguji, telah baik niat dalam hati namun adakah jaminan setiap mata dan pikiran yang menujui adalah sebaik niat kita? Memang setiap niat, setiap perbuatan adalah akan dipertanggungjawabkan oleh masing-masing kita, namun tidak ada salahnya untuk mengurangi potensi untuk menjerumuskan pada hal yang tidak pernah diniatkan.

Tulisan ini tidak ada sedikitpun tujuan nyinyir terhadap shalihat cantik diluar sana yang sedang dalam hijrahnya, tulisan ini semata untuk menjadi benteng diri pribadi penulis saja. Dan tulisan ini bukan hanya untuk akhwat semata, ikhwanpun baiknya sama-sama bercermin. Kepada semua kita, mari memperbaiki jalan hijrah, mengurangi postingan yang mengundang syahwat atau nyinyiran kecil tentang indahnya hijrah dalam keteduhan. Semoga kita sekalian dihindarkan dari hijrah litrend ala media sosial dan bisa istiqomah dalam Hijrah Lillah.


Mohon maaf bila ada kata yang menggores hati, bila ada kalimat yang kurang sopan dan menyakiti. Salam pembelajar.

Wallahu a’lam bishawab.