a.
Biografi
Nama lengkap Rasyid Ridha ialah Muhammad
Rasyid ibn Ali Ridha ibn Muhammad Syams al-Din al-Qalmuby. Ia dilahirkan di
Desa Qalamun, tidak jauh dari Tripoli, daerah Syria (Syam) pada tanggal 27
Jumadil Ula 1282 H (1865 M). menurut suatu keterangan, silsilah keturunan
nasabnya masih bersambung kepada cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husein Ibn Ali
ibn Abi Thalib. Oleh karena itulah, Muhammad Rasyid Ridha memakai gelar
al-Sayyid di depan namanya.
Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah tradisional di
al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Pada tahun
1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah
Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain
al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di
Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa turki dan Perancis,
dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern.
Rasyid Ridha
meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Namun
hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang
menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh
ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa. Ia
berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu
tidak terwujud. Sewaktu Muhammad ‘Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia
mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid utama
al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang diperolehnya dari al-Syaikh
Hussain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan
Muhammad ‘Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Beberapa bulan
kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, al-Manar. Di dalam nomor
pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar
sama dengan tujuan al-Urwah
al-Wutsqa, antara lain, mengadakan pembaruan dalam bidang agama,
sosial dan ekonomi, memberantas takhayyul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam
tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat
Islam, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf,
meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik
negara-negara Barat.
Rasyid Ridha melihat
perlunya diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan
ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya,
Muhammad ‘Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, ‘Abduh
akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar.
Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan
gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk
karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk
diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian,
akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar. Muhammad ‘Abduh sempat
memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An-Nisa (Jilid III dari
Tafsir al-Manar) dan
yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha
menulis dan memuat karya-karya yang menentang pemerintahan absolut kerajaan
Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan
Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia
tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di
bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke
kapal di Suez.
b. Ide-ide Pembaruan Rasyid Ridha
1. Bid’ah dan Faham
Fatalisme: Penyebab Kemunduran Umat Islam
Hampir tidak jauh berbeda pemikiran Rasyid Ridha mengenai
pembaruannya dengan para gurunya, yaitu Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin
al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak menganut
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam tentang ajaran-ajaran
agama mengalami kesalahan dan perbuatan-perbuatan mereka dianggap telah
menyeleweng dari ajaran Islam yang hakiki. Ke dalam tubuh Islam telah banyak
masuk bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat.
Menurut Rasyid Ridha, di
antara bid’ah-bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran
kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang
dikehendakinya. Bid’ah lain yang ditentang keras oleh Rasyid Ridha ialah ajaran
syekh-syekh tarekat tentang tidak pentignya hidup duniawi, tentang tawakkal,
dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syekh dan wali.
Umat, demikian menurut
Rasyid Ridha, harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni
dari segala bid’ah. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadat
dan sederhana dalam muamalatnya. Yang meruwetkan ajaran Islam, adalah justeru
sunah-sunah yang ditambahkan hingga mengkaburkan antara wajib dan sunnah. Dalam
soal muamalah, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan,
pemerintahan syura. Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini
diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqh mengenai hidup
kemasyarakatan, tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum
itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zamannya.
Terhadap sikap fanatik di zamannya ia menganjurkan supaya toleransi
bermazhab dihidupkan. Dalam hal-hal fundamental-lah yang perlu dipertahankan,
yaitu persatuan umat. Selanjutnya ia menganjurkan pembaruan dalam bidang hukum
dan penyatuan mazhab hukum.
Sebagaimana disebutkan di
atas, Rasyid Ridla mengakui terdapat faham fatalisme di kalangan umat Islam.
Menurutnya, bahwa salah satu dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran
umat Islam ialah faham fatalisme (‘aqidah al-jabr) itu. Selanjutnya
salah satu sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah faham
dinamis yang terdapat di kalangan mereka. Islam sebenarnya mengandung ajaran dinamis.
Orang Islam disuruh bersikap aktif. Dinamis dan sikap aktif itu terkandung
dalam kata jihad; jihad dalam arti berusaha keras, dan sedia memberi
pengorbanan, harta bahkan juga jiwa. Faham jihad inilah yang menyebabkan
umat Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.
2. Pembaruan Rasyid Ridha dalam Masalah Ijtihad
Sebagaimana Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla sangat menghargai akal
manusia, walaupun penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang
diberikan gurunya. Akal dapat dipakai dalam menafsirkan ajaran-ajaran mengenai
hidup kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah. Ijtihad dalam soal ibadah
tidak lagi diperlukan. Ijtihad (fungsi eksplorasi akal) dapat dipergunakan
terhadap ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap
persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara langsung dalam al-Qur’an dan
hadits. Di sinilah, menurut Rasyid Ridla, terletak dinamika Islam.
Lebih jauh, mengenai ijtihad, Rasyid Ridla berkata:
“Tidak ada ishlah
(pembaruan) kecuali dengan dakwah; tidak ada dakwah kecuali dengan hujjah
(argumentasi yang dapat diterima secara rasional); dan tidak ada hujjah dalam
hal mengikut secara buta (taqlid). Yang mesti ada adalah tertutupnya pintu
taqlid buta, dan terbukanya pintu bagi faham rasional yang argumentatif adalah
awal dari setiap upaya ishlah. Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal
yang tidak disertai ilmu dan pemahaman.”
Mengenai ilmu pengetahuan, menurut Rasyid Ridla, peradaban Barat
modern didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat
Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Barat maju, demikian menurut
Rasyid Ridla, karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan
umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat
modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah
dimiliki umat Islam.
3. Pan-Islamisme
Sebagaimana al-Afghani,
Rasyid Ridla juga melihat perlunya dihidupkan kesatuan umat Islam. Menurutnya,
salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di
kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud oleh beliau bukanlah kesatuan yang
didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas
dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu ia tidak setuju dengan gerakan
nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan gerakan nasionalisme
Turki yang dipelopori Turki Muda. Ia menganggap bahwa faham nasionalisme bertentangan
dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam. Persaudaraan dalam islam tidak
kenal pada perbedaan bangsa dan bahasa, bahkan tidak kenal perbedaan tanah air.
Rasyid Ridla tidak
memberikan format yang jelas bagi bentuk kesatuan yang dimaksud. Ia hanya
menawarkan kekhalifahan yang sekaligus mengemban fungsi sebagai kepala negara.
Khalifah, menurutnya, karena mempunyai kekuasaan legislatif maka harus
mempunyai sifat mujtahid. Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama
merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah rakyat.
Untuk mewujudkan kesatuan
umat itu, ia pada mulanya meletakkan harapan pada kerajaan Utsmani, tetapi
harapan itu hilang setelah Mustafa Kamal berkuasa di Istambul dan kemudian
menghapuskan sistem pemerintahan kekhalifahan. Selanjutnya ia meletakkan
harapan pada kerajaan Saudi Arabia setelah raja Abd Al-Aziz dapat merebut
kekuasaan di Semenanjung Arabia.