Senin, 15 Juli 2013

Janji Kader

Dikala akhir Taruna Melati
Ada tanya yang menyentuh dalam hati
Sudah siapkah aku kini
Menjadi kader yang sejati


Telah banyak yang aku dapatkan
Tentang arti hidup dan perjuangan
Fiisabilillah di tegakkan
Lewat hati,kata,dan perbuatan


 
Ku mohon kekuatan Ya Allah
Agar dapat ku jalankan
Amanah ummat dan ikatan
Demi agama Islam


Kini tiba saat di wujudkan apa yang telah di berikan
Semoga Allah meridhoi niat hati yang tulus ini







 *Sebuah lagu yang luar biasa jika dihayati oleh para kader IPM*

Jumat, 29 Maret 2013

Istilah Hukum Adat


Istilah hukum adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab, “Huk’m” dan “Adah” (jamaknya, ahkam) yang artinya suruhan atau ketentuan. Di dalam Hukum Islam dikenal misalnya “Hukum Syari’ah” yang berisi adanya lima macam suruhan atau perintah yang disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu : Fardh (wajib), haram (larangan), mandub, atau sunnah (anjuran), makruh (celaan) dan jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Adah atau adat ini dalam bahasa Arab disebut dengan arti “kebiasaan” yang perilaku masyarakat  yang selalu terjadi. Jadi “Hukum Adat” itu adalah “Hukum Kebiasaan”.
Istilah hukum adat yang mengandung arti aturan kebiasaan ini sudah lama dikenal di Indonesia seperti di Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)  istilah hukum adat ini telah dipergunakan dalam kitab hukum yang diberi nama :Makuta Alam” kemudian di dalam kitab hukum “Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam” yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh Muhammad Kamaludin anak Kadhi Baginda Khatib Negeri Trussan atas perintah Sultan Alaiddin Johan Syah (1781-1895). Di dalam  mukadimah kitab hukum acara tersebut dikatakan bahwa dalam memeriksa perkara seorang hakim harus memperhatikan hukum Syara, Hukum Adat serta Adat dan Resam.[1]
Kemudian istilah ini dicatat oleh Christian Snouck Hurgronje, ketika ia melakukan penelitian di Aceh pada tahun 1891-1892 untuk kepentingan pemerintah penjajah Belanda, yang menerjemahkan ke dalam istilah bahasa Belanda “Adat-Recht”, untuk membedakan antara kebiasaan atau pendirian dengan adat yang memiliki sanksi hukum. Seperti diketahui, hasil penelitian Hurgronje ini menghasilkan sebuah buku yang kemudian diberi judul De Atjehers (Orang-orang Aceh) pada tahun 1894. Sejak itulah Hurgronje disebut sebagai orang yang pertama menggunakan istilah “Adat-Recht” yang kemudian diterjemahkan sebagai hukum adat. Istilah ini kemudian menjadi terkenal sejak digunakan oleh Cornelis van Vollenhoven dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda).

Sebelum diperkenalkan istilah “Adat-Recht” yang kemudian diterjemahkan menjadi “Hukum Adat” oleh Christian Snouck Hurgronje  dan Cornelis van Vollenhiven, berbagai istilah yang mencoba menjelaskan tentang hukum adat telah dipergunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda dibawah ini : [2]
1.      Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving/Ketentuan-ketentuan umum perundang-undangan) Pasal 11 digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volks Instelligen en Gebruiken” (Peraturan-peraturan keagamaan, lembaga-lembaga rakyat dan kebiasaan-kebiasaan).
2.      Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R. 1854, digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Instelligen, en Gebruiken” (peraturan-peraturan keagamaaan, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan).
3.      Dalal I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturan hukum Negara Belanda semacam Undang-Undang Dasar bagi pemerintah Hindia-Belanda) Pasal 128 ayat (24) – sebelumnya, Pasal 71 ayat (2) sub b. redaksi baru R.R. 1854 yang mengganti pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R. 1854 dipergunakan istilah “Instellingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari rakyat).
4.      Dalam I.S. Pasal 131 ayat (2), sub b. digunakan istilah “Met Hunne Godsdiensten en Gewoonten Samenhangen de Recht Regelen” (aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka).
5.      Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat (2), digunakan istilah “Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten” (Peraturan-peraturan keagamaan dan kebiasaan-kebiasaan lama/kuno). Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten ini oleh Ind. Stbl. 1929 nr jo nr 487 diganti dengan istilah “Adat-Recht”.
            Dengan demikian nyatalah disini bahwa untuk “Hukum Adat” ini sebelum diperkenalkannya istilah “Adat-Recht” dipergunakan berbagai istilah dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda dengan sebutan Undang-undang Agama, Lembaga Rakyat, Kebiasaan-kebiasaan, dan Lembaga Asli. Sedangkan istilah “Adat-Recht” sebagaimana dimaksudkan diatas baru dipergunakan secara resmi dalam Undang-undang pemerintah Belanda pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali digunakan dalam Undang-undang

Belanda mengenai Perguruan Tinggi di Negeri Belanda, Nederlands Stbl. 1920 nr. 105 dan dalam academisch statuut.[3]
            Sebenarnya, sebelum digunakan dalam peraturan perundang-undangan pemerintah belanda atau Hindia-Belanda, istilah “adat-recht” telah sering dipergunakan dalam beberapa literatur asing tentang Hukum Adat, yang ditulis para ahli asing pada permulaan abad ke-20. Hal ini terlihat dari tulisan I.A. Nederburg dalam bukunya berjudul Wet en Adat (1896), kemudian Th. W. Juynboll dalam bukunya Handleiding tit de Kennis can de Muhammedaansche Wet (1903) dan H.J. Scheuer dalam bukunya Het Personenrecht voor de Inlanders of Jaca en Madoera, Codificatieproeve (1904).[4]



___________________________________________________________________

[1]H. Hilman Hadikusuma, 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung 
[2]Imam Sudiyat, 1982. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberti, Yogyakarta, hl.1-2;
     Bushar Muhammad, 1984. Asas-assas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradja Paramita,Jakarta hl.9-10
 [3] Bushar Muhammad, Ibid.,hl.10
 [4] Ibid, hl. 10