Istilah hukum adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab, “Huk’m” dan “Adah” (jamaknya, ahkam) yang artinya suruhan atau ketentuan. Di
dalam Hukum Islam dikenal misalnya “Hukum Syari’ah” yang berisi adanya lima
macam suruhan atau perintah yang disebut “al-ahkam
al-khamsah” yaitu : Fardh (wajib),
haram (larangan), mandub, atau sunnah (anjuran), makruh (celaan) dan jaiz,
mubah atau halal (kebolehan). Adah atau
adat ini dalam bahasa Arab disebut dengan arti “kebiasaan” yang perilaku
masyarakat yang selalu terjadi. Jadi “Hukum Adat” itu
adalah “Hukum Kebiasaan”.
Istilah hukum adat yang mengandung arti aturan kebiasaan ini
sudah lama dikenal di Indonesia seperti di Aceh Darussalam pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) istilah hukum adat ini telah dipergunakan
dalam kitab hukum yang diberi nama :Makuta
Alam” kemudian di dalam kitab hukum “Safinatul
Hukkam Fi Takhlisil Khassam” yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh Muhammad Kamaludin anak Kadhi Baginda Khatib Negeri
Trussan atas perintah Sultan Alaiddin
Johan Syah (1781-1895). Di dalam
mukadimah kitab hukum acara tersebut dikatakan bahwa dalam memeriksa
perkara seorang hakim harus memperhatikan hukum Syara, Hukum Adat serta Adat
dan Resam.[1]
Kemudian istilah ini dicatat oleh Christian Snouck Hurgronje, ketika ia melakukan penelitian di Aceh
pada tahun 1891-1892 untuk kepentingan pemerintah penjajah Belanda, yang
menerjemahkan ke dalam istilah bahasa Belanda “Adat-Recht”, untuk membedakan antara kebiasaan atau pendirian
dengan adat yang memiliki sanksi hukum. Seperti diketahui, hasil penelitian Hurgronje ini menghasilkan sebuah buku
yang kemudian diberi judul De Atjehers (Orang-orang Aceh) pada tahun 1894. Sejak
itulah Hurgronje disebut sebagai
orang yang pertama menggunakan istilah “Adat-Recht”
yang kemudian diterjemahkan sebagai hukum adat. Istilah ini kemudian menjadi
terkenal sejak digunakan oleh Cornelis
van Vollenhoven dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda).
Sebelum diperkenalkan istilah “Adat-Recht” yang kemudian diterjemahkan menjadi “Hukum Adat” oleh Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis
van Vollenhiven, berbagai istilah yang mencoba menjelaskan tentang hukum
adat telah dipergunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dapat ditemukan
dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda dibawah ini : [2]
1.
Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving/Ketentuan-ketentuan
umum perundang-undangan) Pasal 11 digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volks Instelligen en Gebruiken”
(Peraturan-peraturan keagamaan, lembaga-lembaga rakyat dan
kebiasaan-kebiasaan).
2.
Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 ayat
(3) redaksi lama R.R. 1854, digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Instelligen, en Gebruiken”
(peraturan-peraturan keagamaaan, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan).
3.
Dalal I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturan
hukum Negara Belanda semacam Undang-Undang Dasar bagi pemerintah
Hindia-Belanda) Pasal 128 ayat (24) – sebelumnya, Pasal 71 ayat (2) sub b.
redaksi baru R.R. 1854 yang mengganti pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R. 1854
dipergunakan istilah “Instellingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari rakyat).
4.
Dalam I.S. Pasal 131 ayat
(2), sub b. digunakan istilah “Met Hunne
Godsdiensten en Gewoonten Samenhangen de Recht Regelen” (aturan-aturan
hukum yang berhubungan dengan agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka).
5.
Dalam R.R. 1854 Pasal 78
ayat (2), digunakan istilah “Godsdienstige
Wetten en Oude Herkomsten” (Peraturan-peraturan keagamaan dan kebiasaan-kebiasaan
lama/kuno). Godsdienstige Wetten en Oude
Herkomsten ini oleh Ind. Stbl. 1929 nr jo nr 487 diganti dengan istilah “Adat-Recht”.
Dengan demikian nyatalah disini
bahwa untuk “Hukum Adat” ini sebelum diperkenalkannya istilah “Adat-Recht” dipergunakan berbagai
istilah dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda dengan
sebutan Undang-undang Agama, Lembaga Rakyat, Kebiasaan-kebiasaan, dan Lembaga
Asli. Sedangkan istilah “Adat-Recht”
sebagaimana dimaksudkan diatas baru dipergunakan secara resmi dalam
Undang-undang pemerintah Belanda pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali
digunakan dalam Undang-undang
Belanda
mengenai Perguruan Tinggi di Negeri Belanda, Nederlands Stbl. 1920 nr. 105 dan
dalam academisch statuut.
Sebenarnya, sebelum digunakan dalam peraturan perundang-undangan
pemerintah belanda atau Hindia-Belanda, istilah “adat-recht” telah sering dipergunakan dalam beberapa literatur
asing tentang Hukum Adat, yang ditulis para ahli asing pada permulaan abad
ke-20. Hal ini terlihat dari tulisan I.A.
Nederburg dalam bukunya berjudul Wet
en Adat (1896), kemudian Th. W. Juynboll
dalam bukunya Handleiding tit de
Kennis can de Muhammedaansche Wet (1903) dan H.J. Scheuer dalam bukunya Het
Personenrecht voor de Inlanders of Jaca en Madoera, Codificatieproeve (1904).
[1]H.
Hilman Hadikusuma, 1992. Pengantar Ilmu
Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung
[2]Imam Sudiyat, 1982. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberti,
Yogyakarta, hl.1-2;
Bushar Muhammad, 1984. Asas-assas
Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradja Paramita,Jakarta hl.9-10
[3]
Bushar Muhammad, Ibid.,hl.10
[4] Ibid, hl. 10